Energi dan Lingkungan: Menuju Transisi yang Berkeadilan

4 hours ago 3

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Keberlanjutan energi bukan hanya tentang mengurangi emisi, tetapi juga tentang menciptakan keseimbangan antara ketahanan ekonomi, inovasi teknologi, dan tanggung jawab lingkungan.

Indonesia, dengan bauran energi saat ini masih didominasi oleh batubara (38%), minyak (31%), dan gas (19%), menghadapi tantangan besar dalam mencapai Net Zero Emissions 2060.

Agar transisi ini berjalan efektif, diperlukan pendekatan yang lebih sistematis dalam kebijakan karbon, pengelolaan emisi, serta transformasi ekonomi hijau.

Kebijakan Karbon: Strategi Menuju Efisiensi dan Transparansi
Pajak karbon telah diterapkan di beberapa negara sebagai mekanisme untuk mengendalikan emisi. Indonesia sendiri menetapkan tarif Rp 30/kg CO2, jauh lebih rendah dibandingkan standar global, seperti Uni Eropa yang mencapai Rp 1.000/kg CO2 [KESDM, 2024]. Namun, penerapan pajak karbon masih menghadapi beberapa tantangan:

1. Struktur Pajak yang Masih Lemah
Kebijakan saat ini belum cukup untuk menciptakan insentif bagi industri agar beralih ke energi bersih. Subsidi energi fosil masih Rp 350 triliun/tahun, sementara insentif energi hijau kurang dari Rp 50 triliun [Sumber: PLN RUPTL 2024].

2. Minimnya Perdagangan Karbon
Pasar karbon domestik masih kecil, dengan transaksi sekitar Rp 70 miliar/tahun, padahal potensi Indonesia mencapai Rp 200 triliun jika pasar karbon dioptimalkan [Sumber: KESDM 2024].

3. Kesadaran Industri dan Regulasi yang Terfragmentasi
Banyak sektor masih belum memiliki roadmap untuk transisi energi, sehingga efektivitas pajak karbon belum optimal. Tanpa regulasi yang lebih kuat, pajak karbon hanya akan menjadi kebijakan administratif tanpa dampak nyata terhadap pengurangan emisi.

Dibutuhkan harmonisasi kebijakan agar pajak karbon benar-benar mendorong industri menuju energi lebih bersih.

B. Net Zero Emissions: Perlu Strategi yang Holistik
Net zero bukan berarti menghentikan energi berbasis karbon, tetapi memastikan jumlah karbon yang dilepaskan seimbang dengan jumlah karbon yang diserap. Strategi ini mencakup tiga pendekatan utama: pengurangan emisi dan peningkatan carbon absorption, serta mitigasi dan adaptasi

1. Reduksi Emisi: Teknologi dan Efisiensi
Indonesia baru merancang tiga proyek pilot CCS, sedangkan China dan AS telah mengoperasikan lebih dari 50 fasilitas CCS [Sumber: IEA 2024]. Peningkatan efisiensi energi di sektor industri, elektrifikasi transportasi, dan pengurangan pemborosan energi menjadi faktor penting dalam menekan emisi.

2. Solusi Berbasis Alam: Reforestasi dan Konservasi
Indonesia memiliki 93 juta hektare hutan tropis yang dapat menyerap lebih dari 1,8 miliar ton CO2 per tahun. Namun, deforestasi mencapai ±300 ribu hektar per tahun, yang mengurangi kapasitas serapan karbon [Sumber: KLHK 2024].

Investasi dalam penghutanan kembali, restorasi lahan gambut, dan pengelolaan ekosistem pesisir harus menjadi bagian integral dalam strategi net zero emissions.

3. Mitigation and Adaptation
Selain mitigasi emisi, Indonesia juga perlu berfokus pada adaptasi terhadap perubahan iklim. Ini mencakup pengelolaan sumber daya air, perlindungan ekosistem pesisir, serta investasi dalam infrastruktur hijau untuk meningkatkan ketahanan terhadap dampak iklim ekstrem.

Transisi Ekonomi Hijau: Perubahan yang Harus Realistis dan Adaptif
Mengalihkan ekonomi ke energi hijau bukan hanya tentang mengganti sumber daya energi, tetapi juga membangun ekosistem bisnis yang berkelanjutan. Tantangan utama dalam transisi ekonomi hijau mencakup:

1. Biaya Energi Bersih yang Masih Tinggi
Saat ini, biaya listrik batubara hanya Rp 500/kWh, sedangkan tenaga surya masih di Rp 1.200/kWh, sehingga insentif komprehensif diperlukan agar energi hijau lebih kompetitif [Sumber: PLN RUPTL 2024].

2. Minimnya Investasi dalam Infrastruktur Hijau
Indonesia membutuhkan investasi sekitar Rp 3.500 triliun hingga 2060, tetapi alokasi saat ini hanya Rp 150 triliun/tahun [Sumber: IEA 2024]. Tanpa kebijakan yang menarik bagi investor, pengembangan energi bersih bisa berjalan lebih lambat dibanding target.

3. Ketergantungan pada Industri Fosil
Industri berat masih bergantung pada energi fosil karena ketersediaan dan stabilitas pasokan. Produksi minyak dalam negeri hanya 700 ribu barel per hari (bph), sedangkan kebutuhan mencapai 1,5 juta bph, sehingga ketergantungan impor masih tinggi [Sumber: BPS 2024].

Selain transisi teknologi, ekonomi hijau juga harus tetap affordable/ terjangkau bagi masyarakat dan industri. Tanpa skema yang adil dan fleksibel, transisi energi bisa menyebabkan beban ekonomi yang tinggi bagi negara berkembang.

Peran Negara Maju: Sinergi, Bukan Ketergantungan
Negara maju memiliki keunggulan dalam teknologi, pendanaan, dan akses pasar, sehingga kolaborasi dengan mereka sangat penting. Namun, ini harus dilakukan dengan pendekatan yang saling menguntungkan:

1. Transfer Teknologi yang Realistis
Negara maju bisa membuka akses teknologi rendah karbon dengan skema yang fleksibel dan memungkinkan implementasi nyata di negara berkembang.

2. Pendanaan Hijau yang Berorientasi Jangka Panjang
Hibah dan investasi berbasis ESG harus lebih difokuskan pada proyek di negara berkembang, bukan hanya korporasi besar di negara maju.

3. Kemitraan dalam Perdagangan Energi Bersih
Indonesia, sebagai produsen nikel dan bauksit terbesar, dapat menjadi mitra utama dalam industri baterai dan kendaraan listrik jika perdagangan energi hijau lebih inklusif.

Dengan pendekatan yang lebih strategis, Indonesia tidak hanya bisa menjadi penerima manfaat transisi energi, tetapi juga pemimpin dalam kebijakan energi berkeadilan di ASEAN.

Kesimpulan: Transformasi Indonesia Menuju Masa Depan Energi
Transformasi energi bukan hanya tentang pergeseran teknologi, tetapi juga perubahan mentalitas, kebijakan, dan strategi ekonomi. Untuk memastikan transisi yang sukses, Indonesia harus:

• Memperkuat kebijakan karbon agar benar-benar mendorong industri beralih ke energi lebih bersih.
• Menyeimbangkan strategi net zero emissions dengan pendekatan teknologi dan solusi berbasis alam.
• Membangun transisi ekonomi hijau yang lebih inklusif, memastikan energi bersih tetap kompetitif dan terjangkau.
• Memanfaatkan sinergi global dengan negara maju tanpa menjadi ketergantungan.

Indonesia tidak boleh hanya menjadi penonton dalam transisi energi global, tetapi harus mengambil peran aktif sebagai pemimpin transformasi energi di ASEAN. Untuk Indonesia dan dunia yang lebih cerah.


(miq/miq)

Read Entire Article
Photo View |