Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Efek Indonesia (BEI) sudah mulai melonggarkan kebijakan yang dinilai bisa pro terhadap iklim investasi di pasar modal Tanah Air.
Kebijakan pro-market ini yaitu akan segera membuka kembali kode broker, domisili data transaksi lokal dan asing.
Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI, Irvan Susandy menyampaikan pihaknya sedang menyiapkan sistem untuk implementasi kebijakan tersebut.
"Iya, sedang kami siapkan sistemnya, ya," ujar Irvan saat dihubungi CNBC Indonesia, Selasa (6/5/2025).
Ia menjelaskan bahwa data kode broker dan domisili tersebut nantinya bakal ditampilkan pada saat sesi istirahat, usai berakhirnya sesi I perdagangan.
Mengingatkan saja, wacana penerapan kebijakan ini muncul sebagai tanggapan atas masukan dari pelaku pasar yang disampaikan dalam pertemuan bersama BEI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 3 Maret 2025.
Sebagai informasi, BEI resmi telah menghapus kode broker saat transaksi saham berlangsung pada 6 Desember 2021 lalu. Waktu itu, BEI menilai keputusan investasi berdasarkan hal-hal itu kurang tepat karena hanya berdasarkan perilaku atau kecenderungan mengikuti arus tertentu (herding behaviour), bukan dari pertimbangan fundamental.
Sebagai pengingat juga, di BEI saat ini ada 92 kode broker yang bisa kita cermati :
Walaupun begitu, kita harus memahami bahwa sebagai retail kita merupakan ikan teri di lautan luas. Meskipun di bilang herding behaviour, memahami bahwa kita hanya lah sebagian kecil dari lautan yang hanya bisa mengikuti paus alias big fund.
Jadi, dengan pelonggaran kebijakan itu tentu akan memberikan keuntungan, terutama bagi investor retail. Kita bisa lebih mencermati setelah sesi I siapa pihak yang banyak membeli atau menjual, sehingga strategi investasi atau trading akan lebih matang.
Selain itu, dengan dibuka nya kode broker, transaksi asing, dan kode domisili diharapkan bisa memacu likuiditas.
Sebagaimana kita tahu, sejak IHSG mencapai All Time High (ATH) likuiditas secara bulanan sempat turun drastis hingga 44% sampai Februari 2025. Secara harian, nilai transaksi juga sering sepi di bawah Rp10 triliun.
Baru pada akhir-akhir likuiditas sudah mulai pulih karena ada efek dividen dan musim laporan keuangan. Namun, kembali lagi persoalan likuiditas yang mengetat ini perlu diperhatikan agar pasar saham RI memiliki daya tarik yang lebih bagi pelaku pasar.
Karena sampai saat ini, kita juga memiliki regulasi minimal free float sebesar 7,5% bagi suatu saham yang listing di bursa dan ada lebih dari 20% saham di BEI yang terjebak di papan pemantauan khusus (FCA).
Karena itu pilihan saham likuid jadi terbatas. Setidaknya, dengan kelonggaran kebijakan ini akan memberi ruang bagi likuiditas terpacu lagi, meski begitu diperlukan provider likuiditas dari institusi-instusi dan asing, bukan hanya dari retail.
Berdasarkan data Bloomberg, dari enam saham big caps RI yakni saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Telkom Indonesia Tbk (TLLKM) dan PT Astra International Tbk (ASII) di sini kami melihat selama 10 tahun terakhir partisipasi retail di pasar modal meningkat sampai dua kali lipat.
Tapi yang terjadi malah sebaliknya dari partisipasi institusi dan asing. Terlihat dari grafik, pastisipasi institusi cenderung flatl, sementara asing terus turun.
Foto: Bloomberg
Partisipasi Investor Retail, Institusi, dan Asing selama 10 tahun di IHSG
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.(tsn/tsn)