Jakarta, CNBC Indonesia - Sebanyak lima anggota DPR telah di-nonaktifkan oleh pimpinan masing-masing partai politik pascakerusuhan yang terjadi sepanjang pekan lalu. Mereka adalah Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach (Partai Nasional Demokrat), Eko Patrio dan Uya Kuya (Partai Amanat Nasional) serta Adies Kadir (Partai Golongan Karya).
Lantas apa makna dari status nonaktif tersebut?
Managing Partner Themis Indonesia Feri Amsari, mengatakan terminologi nonaktif tidak ada dalam Undang-Undang MD3. Dalam aturan itu hanya ada terminologi diberhentikan karena alasan meninggal atapun mengundurkan diri.
"Bahasa nonaktif tidak dikenal. Artinya tidak mungkin mereka dibebaskan dari tugas-tugasnya dan dilakukan penggantian antarwaktu," katanya kepada CNBC Indonesia, Senin (1/9/2025).
Sehingga, karena statusnya belum diberhentikan, maka hak dan kewajiban seperti gaji hingga fasilitas pendukung sebagai anggota dewan masih didapatkan.
"Oleh karena itu, karena mereka masih tetap anggota dewan, maka hak dan kewajiban masih didapatkan," ujar Feri.
Namun, menurut dosen hukum tata negara di Universitas Andalas ini, hal tersebut perlu dilihat sebagai upaya partai untuk meredam situasi. Meskipun tidak memberikan kepastian hukum kepada anggota DPR maupun masyarakat.
"Yang menunggu apa tindakan partai orang-orang yang katakanlah memiliki masalah hukum," tuturnya.
Memicu Publik Marah
Lebih lanjut, menurut Feri, tindakan dinonaktifkan ini berpotensi membuat publik semakin geram. Partai politik seharusnya memberikan sanksi tegas kepada anggotanya yang bermasalah.
"Tentu tindakan partai ini berpotensial membuat publik akan semakin geram, kalau sesungguhnya langkah ini hanya untuk sekedar menghentikan kemarahan aksi publik. Tapi tidak kemudian tidak memberikan sanksi kepada anggotanya yang bermasalah," kata Feri.
"Jadi suatu tentu partai akan dipertanyakan dan bukan tidak mungkin itu akan menambah ketegangan yang semestinya tidak terjadi," sambungnya.
(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Danantara Jadi Mitra DPR Komisi VI dan XI