Ini "Jeroan" 3 Raksasa China di Balik Kereta Cepat Whoosh

2 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Kereta Cepat Jakarta-Bandung, atau yang akrab disapa 'Whoosh', telah menjadi ikon baru kebanggaan infrastruktur Indonesia. Namun, proyek ini tengah disorot tajam terkait utangnya yang menumpuk.

Sebagai Proyek Strategis Nasional, Whoosh tidak hanya memangkas waktu tempuh antara dua kota metropolitan, tetapi juga menjadi simbol modernisasi dan lompatan teknologi. Namun, bagi seorang investor, pertanyaan yang lebih dalam muncul "Siapakah sebenarnya kekuatan di balik proyek raksasa ini?"

Proyek ini dioperasikan oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), sebuah perusahaan patungan (joint venture) dengan struktur kepemilikan yang jelas yaitu 60% dikuasai oleh konsorsium BUMN Indonesia, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), yang terdiri dari PT KAI, PT WIKA, PTPN VIII, dan PT Jasa Marga. 40% sisanya dimiliki oleh konsorsium BUMN China, Beijing Yawan HSR Co. Ltd.

Di balik nama konsorsium tersebut, terdapat tiga pilar utama yang menjadi motor penggerak proyek dan tercatat sebagai perusahaan publik di bursa saham global: China Railway Group (CREC), CRRC Corp. (CRRC), dan China Railway Signal & Communication (CRSC).

Untuk memahami masa depan, risiko, dan peluang sesungguhnya dari proyek KCIC dan mega-proyek Belt and Road Initiative (BRI) lainnya, kita harus melihat lebih dalam ke "ruang mesin" ketiga perusahaan ini. Apakah mereka adalah mesin pertumbuhan yang solid atau hanya tampak besar dari luar?

Pembagian Peran di Proyek Strategis KCIC

Untuk memahami model bisnis mereka, kita perlu melihat pembagian kerja dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh):

  1. CREC (China Railway Group)
    Sebagai kontraktor utama rekayasa sipil, CREC bertanggung jawab atas semua pekerjaan fisik terberat: membangun jalur, jembatan layang, mengebor terowongan, dan mendirikan stasiun. Mereka adalah pembangun fisik dari A sampai Z untuk proyek garapan.
  2. CRRC (CRRC Corp.).
     Sebagai penyedia rolling stock, CRRC merancang dan memproduksi kereta cepat seri KCIC400AF yang kita kenal sebagai "Whoosh". Mereka adalah pemasok mesin utama proyek ini.
  3. CRSC (China Railway Signal & Communication) 
    Sebagai penyedia sistem kontrol dan persinyalan, CRSC menginstal "sistem saraf pusat" kereta cepat. Ini mencakup sistem kontrol CTCS-3, persinyalan, dan pusat kendali operasi yang memastikan kereta berjalan aman dalam kecepatan tinggi.

Menggali Lebih Dalam dari Sekadar Valuasi Murah

Valuasi PER dan PBV yang rendah seringkali menipu. Tiga metrik fundamental ini mengungkap kinerja asli dari Trio BUMN China ini:

  1. Return on Invested Capital (ROIC) mengukur efisiensi perusahaan dalam menghasilkan laba dari seluruh modalnya. Idealnya, ROIC harus lebih tinggi dari biaya modal (WACC). Jika tidak, perusahaan tersebut secara teknis sedang menghancurkan nilai (destroying value).

    ROIC CREC secara konsisten sangat rendah (sering di level 4-6%), seringkali di bawah atau hanya setara dengan WACC-nya. Artinya, dari setiap triliun rupiah yang diinvestasikan, nilai ekonomi yang diciptakan sangat minimal. Sementara CRRC dan CRSC memiliki ROIC yang lebih sehat karena berada di segmen manufaktur dan teknologi. Namun, angkanya tetap tidak spektakuler jika dibandingkan dengan raksasa teknologi global.

    Bottom Linenya adalah BRI memang menjamin pertumbuhan pendapatan, namun jika pendapatan itu dihasilkan dari proyek dengan ROIC rendah, maka ini adalah pertumbuhan semu yang tidak akan memperkaya pemegang saham.

  2. Cash Conversion Cycle. rasio yang panjang menunjukkan perusahaan sulit mengubah penjualan menjadi uang tunai. CREC memiliki siklus yang sangat panjang karena piutang usaha (accounts receivable) yang membengkak. Klien mereka (pemerintah daerah, negara berkembang) seringkali lambat membayar.

    Akibatnya, Laba Bersih di laporan keuangan terlihat besar, namun Arus Kas dari Operasi seringkali jauh lebih kecil. Namun kualitas arus kas yang buruk memaksa mereka terus bergantung pada utang baru untuk membiayai operasional. Investor harus lebih fokus pada Free Cash Flow ketimbang Laba Bersih.

  3. Revenue Quality. BRI mengukur dari mana pendapatan berasal dan seberapa menguntungkan sumber tersebut? Sebagian besar pendapatan ketiganya masih berasal dari pasar domestik China. Ini membuat mereka sangat rentan terhadap perubahan kebijakan belanja infrastruktur di Beijing.

    Di lain sisi, banyak proyek BRI di negara berkembang memiliki risiko politik dan ekonomi yang tinggi. Proyek-proyek ini sering dimenangkan dengan marjin yang tipis demi mencapai tujuan geopolitik China.

    Namun proyek BRI menjamin pipeline proyek yang tak terbatas, namun di saat yang sama datang dengan kualitas kredit yang lebih rendah dan marjin yang lebih tipis, yang berpotensi mengorbankan profitabilitas jangka panjang.

Apakah Trio Raksasa China ini Layak Diinvestasikan?

Jawabannya adalah jika Anda berinvestasi dengan keyakinan bahwa pemerintah China tidak akan membiarkan mereka gagal (Too Big to Fail). Mereka menawarkan yield dividen yang stabil (3-5%) dan berfungsi sebagai proxy untuk eksposur terhadap mega-proyek BRI dengan jaring pengaman negara. Namun jika memprioritaskan potensi kenaikan modal yang sudah diinvestasikan makan emiten ini kurang cocok.

Valuasi mereka murah karena fundamentalnya memang tidak dirancang untuk bertumbuh efisien. ROIC yang rendah, prioritas negara di atas pemegang saham, dan risiko geopolitik (sanksi AS) akan terus menekan potensi apresiasi harga saham secara signifikan.

(gls/gls)

Read Entire Article
Photo View |