Bapak Pendidikan RI Sukses Bentuk Karakter Siswa Tanpa Barak Militer

5 hours ago 4

Jakarta, CNBC Indonesia - Membentuk karakter dan moral siswa ke arah lebih baik bisa dilakukan dengan banyak cara. Indonesia tak pernah kehabisan cerita soal pembelajaran karakter. Termasuk seperti yang dilakukan oleh Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara. Dia sukses membentuk karakter siswa tanpa cara-cara militeristik.

Bagaimana caranya?

Gagasan Ki Hajar Dewantara terkait pembentukan karakter siswa terlihat pada pendirian Taman Siswa tanggal 22 Juli 1922. Pembentukan Taman Siswa didasari oleh rasa keprihatinan Ki Hajar Dewantara atas sistem pendidikan masa kolonial.

Sejak 1901 pemerintah kolonial Belanda melakukan politik balas budi yang salah satu poinnya adalah perluasan akses pendidikan. Mengutip riset Fakhriansyah berjudul "Akses Pendidikan Bagi Pribumi Pada Periode Etis" (2019), pemerintah kolonial membuka beragam sekolah dari sekolah rendah hingga perguruan tinggi.

Sayang, kebijakan pemerintah hanya omong kosong.

Praktiknya, tak semua masyarakat pribumi bisa bersekolah. Hanya pribumi dari kelompok bangsawan saja yang bisa bersekolah. Sekalipun bisa bersekolah, ruang geraknya dibatasi. Atas dasar ini, Ki Hajar Dewantara membentuk Taman Siswa supaya seluruh anak-anak pribumi bisa bersekolah.

Akademisi Jepang Kenji Tsuchiya yang lama meneliti Taman Siswa menyebut pendirian Taman Siswa bukan hanya sebagai wadah bagi anak pribumi, tetapi juga sarana pembentukan karakter baru berasaskan nasionalisme.

Sebab selama ini anak-anak terpapar karakter kolonial yang tak bisa dicapai untuk mencapai kemerdekaan. Karakter kolonial yang dimaksud adalah menjadikan pendidikan hanya sebagai mesin penghasil ijazah yang memungkinkan anak-anak menjadi buruh dan akan memperbesar kesenjangan sosial.

"Pendidikan yang selama ini diterima orang Indonesia dari Barat hanya menguntungkan kaum sana (Belanda). [...] Pendidikan tidak membantu mengembangkan badan dan pikiran, tapi semata-mata memberikan surat diploma yang memungkinkan mereka menjadi buruh," ungkap Kenji Tsuchiya dalam Demokrasi & Kepemimpinan: Kebangkitan Gerakan Taman Siswa (1992).

Ki Hajar Dewantara menyelenggarakan Taman Siswa dengan menjunjung tinggi budaya bangsa. Materi yang diajarkan meliputi bahasa, berhitung, sejarah, olahraga, dan yang paling penting adalah kesenian. Bentuk kesenian yang diajarkan mencakup kerajinan tangan, menari, dan menembang atau bernyanyi.

Dalam memoar Ki Hadjar Dewantara (1981) disebutkan, bahwa kesenian dianggap penting karena mampu memperhalus moral anak-anak. Melalui seni, anak-anak diajarkan nilai-nilai seperti kesabaran, kedisiplinan, sopan santun, serta kebaikan kepada sesama.

Setiap minggu, di salah satu hari pembelajaran, anak-anak dikumpulkan di pendopo untuk belajar menari. Para guru tari biasanya berasal dari Keraton Yogyakarta. Selain itu, siswa juga diajarkan membuat kerajinan tangan dan menembang. Ini semua dilakukan dengan memasukkan unsur nasihat-nasihat yang mudah diingat siswa.

Dari sini, pendidikan karakter bisa diserap siswa. Pendekatan ini sangat berbeda dengan sekolah-sekolah Belanda saat itu yang menjadikan pendidikan sekadar mesin pencetak ijazah.

Pada akhirnya, Taman Siswa terbukti mampu membentuk karakter anak dan menjadi salah satu sekolah populer yang menghasilkan alumni-alumni hebat. Dari awalnya di Yogyakarta, Taman Siswa berkembang ke berbagai daerah hingga Jakarta. Lalu, sekolah-sekolah lain menjadikannya sebagai inspirasi. 

Sayangnya, pendekatan pembentukan karakter ala Taman Siswa mulai luntur seiring perubahan zaman. Titik baliknya terjadi pada masa pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942.

Sejak saat itu, sistem pendidikan Indonesia mulai mengenal rutinitas seperti upacara bendera setiap Senin pagi, penggunaan seragam sekolah, hingga baris-berbaris, yang semuanya khas militer alias jauh dari nilai-nilai asli Taman Siswa. Sayangnya, kebiasaan ini masih bertahan hingga sekarang. 


(mfa/mfa)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Lirik Prospek Bisnis Produk Perawatan Rambut Lokal Go Global

Read Entire Article
Photo View |