"TKDN Fleksibel" Bukan Strategi Atasi Tarif Dagang Trump

6 hours ago 5

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) merupakan besaran kandungan dari komponen berbagai produksi di dalam negeri. Kebijakan TKDN telah lama menjadi instrumen pemerintah dalam mendorong penggunaan produk dan jasa dalam negeri.

Kewajiban TKDN atas belanja pemerintah pertama kali muncul dengan diterbitkannya UU Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian diikuti terbitnya Perpres Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Sepanjang implementasinya, TKDN cukup berhasil untuk mencapai tujuan yang direncanakan.

Salah satu alat ukur keberhasilan dari pelaksanaan TKDN ini, yaitu terjaganya surplus perdagangan Indonesia selama 59 bulan berturut-turut sejak bulan Mei 2020. Besarnya potensi pasar dalam negeri dan kebutuhan untuk meningkatkan nilai tambah industri dalam negeri, menjadikan sertifikasi TKDN sangat penting dari perspektif strategis.

Melalui sertifikasi ini, pemerintah mendorong penggunaan bahan lokal dan menjamin standar kualitas produk memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk mendukung kemandirian ekonomi dengan mempercepat penggunaan produk dalam negeri.

Kebijakan TKDN yang awalnya bertujuan untuk meningkatkan industri dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada barang import menjadi perhatian khusus bagi negara mitra dagang karena menciptakan hambatan pasar untuk masuk ke Indonesia serta berpotensi untuk menghambat investasi. Amerika Serikat secara spesifik juga mengkritik persyaratan kandungan lokal (TKDN) Indonesia, menggambarkannya sebagai hambatan perdagangan non-tarif.

Selain itu, American Chamber of Commerce in Indonesia (AmCham), yang merupakan organisasi profesional yang mewakili perusahaan AS yang beroperasi di Indonesia menyebutkan bahwa TKDN adalah 'sebuah kesalahan' untuk investasi. TKDN dikritik karena dikhawatirkan dapat meningkatkan beban biaya produksi dan menghambat pertumbuhan bisnis daripada mendukung pengembangan industri lokal.

Kebijakan ekonomi Indonesia yang dianggap tidak menguntungkan bagi bisnis AS inilah yang menjadi salah satu faktor pemicu dalam pengenaan tarif sebesar 32% atas impor dari Indonesia yang dibebankan oleh AS. Meskipun Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 Tahun 2025 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah terbit tak lama setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan tarif resiprokal, namun kebijakan ini diklaim oleh Menteri Perindustrian bukanlah kebijakan yang diambil karena desakan pihak tertentu.

Aturan ini dibuat sebagai hasil dari evaluasi menyeluruh terhadap implementasi TKDN saat ini. Perpres yang ditetapkan pada tanggal 30 April 2025 ini bertujuan agar
kebijakan lebih adaptif, transparan, dan memberikan manfaat optimal bagi pelaku industri dalam negeri.

Pada peraturan sebelumnya, kewajiban penggunaan produk dalam negeri dilakukan jika terdapat peserta yang menawarkan barang/jasa dengan nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) ditambah nilai Bobot Manfaat Perusahaan (BMP) paling rendah 40% (empat puluh persen).

Sedangkan, pada Perpres Nomor 46 Tahun 2025 membagi kewajiban penggunaan Produk Dalam Negeri menjadi beberapa urutan prioritas sebagai berikut:

Pertama, jika ada produk yang penjumlahan skor TKDN dan BMP (Bobot Manfaat Perusahaan) lebih dari 40%, maka yang bisa dibeli pemerintah melalui PBJ adalah produk yang ber-TKDN di atas 25%.

Kedua, jika tidak ada produk yang penjumlahan skor TKDN dan BMP di atas 40%, tapi ada produk yang memiliki skor TKDN di atas 25%, maka produk yang memiliki skor TKDN di atas 25% bisa dibeli pemerintah melalui PBJ Pemerintah.

Ketiga, jika tidak ada produk yang ber-TKDN di atas 25%, maka pemerintah bisa membeli produk yang ber-TKDN lebih rendah dari 25%.

Keempat, jika tidak ada produk yang bersertifikat TKDN, maka pemerintah bisa membeli PDN yang terdata dalam Sistem Informasi Industri Nasional (SIINAS).

Peran TKDN dalam Belanja Pemerintah
Penerapan TKDN dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan upaya dalam meningkatkan P3DN (Penggunaan Produk Dalam Negeri). Hal ini sesuai yang diamanatkan pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri dan Produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dalam rangka Menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia pada Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.

Salah satu bentuk implementasi dari inpres tersebut adalah mewajibkan instansi pemerintah/ satuan kerja untuk memaksimalkan penggunaan hasil produksi dalam negeri dalam kegiatan pengadaan barang/jasa yang dibiayai oleh APBN/APBD. Dalam implementasinya terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi/monitoring.

1. TAHAP PERENCANAAN
Satuan kerja diwajibkan melakukan Input Rencana Pengadaan B/J pada SIRUP, mengecek barang ber-TKDN dan mencantumkan syarat TKDN pada KAK.

2. TAHAP PELAKSANAAN
Satuan kerja diwajibkan terlebih dahulu merekam beberapa informasi pada aplikasi SAKTI terkait dengan TKDN, yaitu Informasi Persentase TKDN, Informasi Cluster TKDN (TKDN/Produk Dalam Negeri (PDN)/Impor), dan Klasifikasi Baku Komoditas Indonesia (KBKI). Tentunya apabila ketiga informasi ini tidak dilakukan penginputan oleh satuan kerja, maka satuan kerja tersebut tidak bisa melakukan realisasi anggaran.

3. TAHAP EVALUASI/ MONITORING
Pada tahapan ini dilakukan proses pengumpulan informasi tentang pencapaian Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dalam pengadaan barang dan jasa di seluruh satuan kerja. Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mendapatkan gambaran lengkap tentang kemajuan implementasi P3DN, dan melakukan pemetaan area maupun
sektor mana yang perlu ditingkatkan, serta melakukan pengawasan kepatuhan atas implementasi P3DN.

Sebagai salah satu alat ukur yang diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat dalam pengambilan keputusan dalam rangka menunjang program P3DN, pemerintah menggunakan informasi TKD dan Klaster P3DN. Adapun Informasi TKDN diperoleh melalui tahapan verifikasi sampai dengan proses sertifikasi TKDN oleh pihak berwenang melakukan penerbitan sertifikat TKDN.

Dengan demikian, barang/jasa yang telah memiliki Sertifikat TKDN akan memperoleh preferensi dari panitia lelang sehingga diharapkan menjadi stimulus dalam peningkatan produksi dalam negeri.

PENUTUP
Dengan kebijakan TKDN, Indonesia diharapkan bertransformasi bukan hanya menjadi negara konsumen namun menjadi negara produsen yang unggul. Kebijakan ini bertujuan agar Industri lokal dapat berkembang, menciptakan lebih banyak lapangan kerja, dan mengurangi ketergantungan pada impor.

Meskipun demikian, pada pelaksanaannya kebijakan ini menimbulkan perdebatan khususnya dari negara mitra dagang dikarenakan alih-alih menarik investasi masuk, justru dapat mengusir investasi. Sementara dari dalam negeri, penolakan berasal dari pihak yang khawatir apabila penerapan TKDN akan menghambat inovasi dikarenakan perusahaan lebih berkonsentrasi pada penggunaan komponen dalam negeri dan mengesampingkan inovasi.

Permasalahan harga produk ber-TKDN juga harus menjadi perhatian, apabila biaya produksi dalam negeri masih belum efisien namun pemerintah tetap memaksakan kebijakan ini, akan berakibat konsumen tidak dapat mengakses produk dengan kualitas terbaik dengan harga yang kompetitif.

Terbitnya aturan terbaru, yaitu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 Tahun 2025 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah merupakan upaya pemerintah untuk menciptakan jalan tengah yang menguntungkan kedua belah pihak yang berarti melindungi industri dalam negeri sekaligus mendorong investasi asing. Pemerintah juga dituntut adaptif dan agile sesuai dengan kondisi yang terjadi selama kebijakan ini dilaksanakan.


(miq/miq)

Read Entire Article
Photo View |