Menanti Gebrakan Prabowo Dorong Harta Karun Baru Pengganti BBM Bensin

5 hours ago 5

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah tengah bersiap menjalankan program pencampuran Bahan Bakar Nabati (BBN) bioetanol ke dalam BBM jenis bensin sebesar 5% (E5). Langkah tersebut dilakukan guna tujuan menekan impor bahan bakar fosil.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi memprediksi bahwa program ini akan mulai berjalan antara tahun 2025 atau 2026. Adapun, regulasi mandatori bioetanol nantinya akan tertuang di dalam Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM.

"Dari sini kita akan mengeluarkan keputusan Menteri. Jadi keputusan Menteri akan terpisah untuk memandatorikan," kata Eniya dalam acara Coffee Morning CNBC Indonesia, dikutip Senin (19/5/2025).

Namun demikian, ia mengakui bahwa pengembangan bioetanol selama ini mengalami sejumlah hambatan. Salah satunya yakni pungutan bea cukai sekalipun penggunaannya untuk campuran bahan bakar.

Menurut Eniya, meski Peraturan Menteri Keuangan (PMK) telah menetapkan bahwa cukai hanya dikenakan pada minuman beralkohol, namun persoalan muncul pada klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia (KBLI) yang masih berbelit-belit.

"Ini kalau dari PMK sendiri, peraturan Kementerian keuangan itu sudah mengeluarkan, hanya menetapkan cukai itu di minuman saja. Jadi kalau untuk bahan bakar tidak. Tetapi ada sedikit KBLI yang berbelit. Jadi nanti harus di clear kan di nomor KBLI nya," katanya.

Senada, CEO Pertamina New and Renewable Energy (PNRE), John Anis menilai bahwa bioetanol untuk bahan bakar seharusnya tidak disamakan dengan alkohol untuk konsumsi. Terlebih, selain untuk mengurangi impor, pemanfaatannya ditujukan menekan emisi karbon.

"Ini kan untuk mobil, untuk kendaraan, jadi seharusnya sih sudah pasti penurunan emisi juga, seharusnya lebih straightforward ya bahwa ini dengan administrasi singkat itu bisa segera diberikan exception karena per titik juga," kata dia.

Menurut dia, dengan dihapuskannya pungutan cukai untuk etanol yang digunakan sebagai bahan bakar akan sangat membantu. Namun ia juga menyarankan agar pihaknya juga mendapat dukungan lain seperti penghapusan PPN untuk bioetanol.

"Pastinya akan membantu tapi kami juga berharap yang lain misalnya PPN, PPN pro, PPN hasil nanti blending-nya juga bisa di-accepted kemudian juga nanti pada saat pembangunan pabrik kan maksimum jadi peralatan-peralatan yang nanti akan diimport, kita berharap juga data keringanan untuk dia masuk. itu sangat membantu, termasuk juga tax holiday atau tax incentive," katanya.

Di samping itu, John menilai perlunya kebijakan khusus seperti Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) untuk industri bioetanol. Sama halnya yang sudah diterapkan di industri batu bara dan sawit.

Wakil Ketua Komisi XII DPR RI Sugeng Suparwoto mengamini diperlukannya dukungan Pemerintah agar proyek pengembangan bioetanol dapat berjalan. Salah satunya melalui penetapan DMO dan DPO.

"Maka sebagaimana juga di batubara untuk keperluan listrik saya kira untuk CPO dan juga tadi molase dan sebagainya untuk etanol saya kira harus ada kebijakan yang aktif. Satu DMO, dua DPO Domestic Price Obligation seperti di batubara, DMO-nya 25%, DPO-nya adalah 70 dolar per ton untuk gar tertinggi," kata dia.

Menurut Sugeng, pengembangan biofuel memiliki dua fungsi, yakni untuk menekan emisi serta sustainability atau keberlanjutan. Terlebih Indonesia mempunyai komitmen untuk mencapai net zero emission pada 2060.

Fungsi energi dari tanaman tersebut sangat bisa dipakai dalam menggantikan impor BBM untuk kendaraan maupun kebutuhan industri, sehingga bahan bakar menjadi lebih bersih.

"Memang sektor transportasi cukup menyumbang besar dan juga industri nah disinilah peran biodiesel biofuel itu yang sangat penting untuk menggantikan dan untuk mengurangi fossil fuel," kata Sugeng.

Sedangkan, Direktur Utama PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) atau Sugar Co, Subholding Komoditi Gula PTPN III (Persero) Holding Perkebunan menilai akses pendanaan bagi petani tebu menjadi salah satu kunci utama, agar pengembangan bioetanol di dalam negeri dapat berjalan lancar.

"Pertama kalinya adalah akses pendanaan. Akses pendanaan Kredit Usaha Rakyat (KUR) ini tentunya harus dipermudah, supaya petani kemudian bergairah untuk melakukan peremajaan ke mereka," kata dia.

Selain peremajaan, pemerintah juga perlu membenahi perihal varietas tebu yang digunakan oleh petani. Pasalnya, varietas yang banyak digunakan saat ini tidak ideal untuk mencapai produktivitas.

Ia pun optimistis apabila pemerintah dapat membereskan persoalan-persoalan tersebut, maka dalam 2-3 tahun ke depan, produktivitas tebu nasional bisa kembali ke masa kejayaan. Sehingga akan berdampak pada swasembada gula hingga swasembada energi melalui pengembangan bioetanol.


(pgr/pgr)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Bioetanol Bakal Gantikan Bensin, Tapi Cukai bikin pusing

Next Article Kurangi Impor Bensin, RI Budidaya Tanaman Ini di Jawa-Merauke

Read Entire Article
Photo View |