The Fed Dilema: Diam Saja Atau Pangkas Bunga Seperti Perang Dagang 1.0

1 day ago 5

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang dagang yang disulut Presiden Amerika Serikat (AS) membuat bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) bimbang. The Fed kini harus memilih antara menjaga inflasi atau mendongkrak pertumbuhan ekonomi.

Chairman The Fed, Jerome Powell, mengatakan The Fed kini dihadapkan pada dilemma dalam menentukan kebijakan ke depan karena dampak perang dagang akan mempengaruhi laju inflasi hingga pertumbuhan ekonomi,

Berbicara dalam acara Economic Outlook di Economic Club of Chicago, Chicago, Rabu waktu AS (16/4/2025), Powell mengatakan perang dagang membuat The Fed terjebak dalam dilema antara mengendalikan inflasi dan mendukung pertumbuhan ekonomi.

"Jika itu terjadi, kami akan mempertimbangkan sejauh mana ekonomi sudah menjauh dari targetnya. (Sejauh mana) jangka waktu yang berbeda dari kesenjangan tersebut diperkirakan bisa tertutup," ujar Powell dikutip dari CNBC International.

owell tidak memberikan indikasi mengenai arah suku bunga. Dia menegaskan The Fed akan menunggu dampak lebih lanjut sebelum melakukan perubahan kebijakan,

"Untuk saat ini, kami berada dalam posisi yang baik untuk menunggu kejelasan lebih lanjut sebelum mempertimbangkan penyesuaian terhadap kebijakan kami." Ujarnya.

Dengan ketidakpastian yang tinggi terkait dampak tarif yang diterapkan oleh Presiden Trump, Powell mengatakan The Fed memperkirakan perang dagang akan membuat laju inflasi lebih tinggi dan menekan pertumbuhan. Namun, dia mengatakan masih belum jelas dimana The Fed harus memfokuskan perhatiannya.

"Kami mungkin akan berada dalam skenario yang menantang di mana tujuan ganda kami bertentangan satu sama lain," kata Powell.

The Fed Pernah Menghadapi Perang Dagang 2018

Untuk diketahui perang dagang AS-China dimulai pada Juli 2018 di bawah pemerintahan Presiden AS saat itu, Donald Trump, yang pada akhirnya menyebabkan penerapan tarif terhadap sekitar US$550 miliar barang asal China dan US$185 miliar barang asal AS.

Sebuah kesepakatan dagang fase pertama antara kedua negara ditandatangani pada Januari 2020, meskipun hubungan kedua pihak belum menunjukkan perbaikan yang signifikan di bawah pemerintahan Presiden AS Joe Biden.

Perjalanan Perang Dagang AS-China 2018 Hingga 2020

Pada 6 Juli 2018, AS memberlakukan tarif sebesar 25% terhadap sekitar US$34 miliar impor dari China, termasuk mobil, hard disk, dan suku cadang pesawat. Sebagai balasan, China memberlakukan tarif 25% terhadap 545 jenis barang asal AS senilai US$34 miliar, termasuk produk pertanian, mobil, dan produk perikanan.

Ketegangan meningkat pada 23 Agustus 2018 saat putaran tarif kedua diberlakukan. AS mengenakan tarif tambahan terhadap impor China senilai US$16 miliar, yang dibalas oleh China dengan tindakan serupa. Puncaknya terjadi pada 24 September 2018 ketika AS memberlakukan tarif 10% terhadap barang China senilai US$200 miliar, yang kemudian dibalas China dengan tarif terhadap barang AS senilai US$60 miliar. Ini menandai eskalasi besar dalam konflik dagang kedua negara.

Pada 1 Desember 2018, Presiden Trump dan Presiden Xi Jinping menyepakati gencatan senjata selama 90 hari dalam pertemuan G20 di Argentina guna membuka kembali jalur negosiasi.

Namun, ketegangan kembali memuncak pada Mei 2019 ketika AS menaikkan tarif terhadap US$200 miliar barang China dari 10% menjadi 25% setelah pembicaraan tidak mencapai hasil. China menanggapi dengan meningkatkan tarif terhadap barang-barang AS senilai US$60 miliar.

Sebuah titik terang muncul pada Januari 2020 ketika kedua negara menandatangani kesepakatan dagang fase pertama. Dalam perjanjian tersebut, China berjanji untuk membeli lebih banyak produk AS, termasuk barang pertanian dan energi. Namun, dalam implementasinya, China hanya memenuhi sekitar 60% dari komitmen pembelian tersebut dalam dua tahun pertama.

Meskipun pemerintahan Joe Biden telah menggantikan Trump, sebagian besar tarif dari era Trump masih tetap diberlakukan. Hubungan dagang antara AS dan China tetap tegang, dan tidak ada kemajuan signifikan dalam penyelesaian konflik perdagangan tersebut hingga saat ini.

Kebijakan The Fed di Trump 1.0

Dikutip dari Reuters, selama masa kepresidenannya, Donald Trump sering melontarkan kritik tajam terhadap Federal Reserve (The Fed) dan ketuanya, Jerome Powell, dengan menyebut mereka sebagai "boneheads" dan bahkan "musuh" Amerika Serikat.

Trump secara terbuka menekan The Fed untuk menurunkan suku bunga hingga nol atau negatif, serta mendorong pembelian obligasi secara agresif demi mendukung klaimnya tentang kekuatan ekonomi AS.

Kendati menghadapi tekanan politik yang intens, The Fed tetap mempertahankan independensinya dalam menetapkan kebijakan moneter.

Periode Kebijakan suku bunga Posisi September 2018 Naik 25 bps 2,00-2,25 Desember 2018 Naik 25 bps 2,25-2,50 Agustus 2019 Menurunkan 25 bps 2,00-2,25 September 2019 Menurunkan 25 bps 1,75-2,00 Oktober 2019 Menurunkan 25 bps 1,50-1,75

Pada 2018, The Fed menaikkan suku bunga empat kali sebagai respons terhadap pertumbuhan ekonomi yang kuat, meskipun mendapat kritik dari Trump. Namun, ketika perang dagang dan kebijakan tarif Trump mulai memperlambat ekonomi pada akhir 2018, The Fed mengubah arah kebijakannya dengan menurunkan suku bunga pada 2019 untuk menjaga kelangsungan pemulihan ekonomi.
Seperti diketahui, ekonomi AS melandai ke 2,3% pada 2019, dari 2,9% pada 2018 sebagai dampak perang dagang.

Trump juga berusaha memengaruhi komposisi dewan The Fed dengan mengusulkan calon-calon yang kontroversial, seperti Herman Cain dan Judy Shelton. Namun, sebagian besar upaya ini tidak berhasil karena penolakan dari Senat atau karena calon tersebut mengundurkan diri.

Dalam hal menghadapi tekanan politik yang signifikan, The Fed berhasil mempertahankan reputasinya dan independensinya dalam menetapkan kebijakan moneter selama era Trump.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)

Read Entire Article
Photo View |