Perkuat Industri Perbankan, OJK Siapkan Roadmap Hingga 2030

3 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus berupaya mendorong perkembangan industri perbankan nasional. Salah satunya lewat penetapan blueprint transformasi digital perbankan.

Kepala Departemen Pengaturan dan Pengembangan Perbankan OJK, Indah Tiramadhini menuturkan, dalam menetapkan kebijakan dan pengaturan, OJK melakukan perubahan pendekatan dari extreme rule based atau bergantung sepenuhnya pada aturan menjadi principle based atau kebijakan berdasarkan prinsip umum.

Melalui pendekatan principle based, OJK ingin membuka ruang yang lebih fleksibel kepada para industri perbankan untuk berinovasi.

Namun, inovasi yang dilakukan para pelaku usaha perbankan harus dibarengi dengan prinsip kehati-hatian. Jadi, tetap ada batas-batas tertentu yang harus dipatuhi setiap pelaku usaha perbankan.

"Nah, untuk teknologi digital ini ya di dalam perbankan kita tahu masif ya. Kami telah menerbitkan roadmap. Roadmap pengembangan perbankan Indonesia tahun 2020 sampai dengan 2025," ujar dia dalam Fintech Forum, Senin (15/9/2025).

Mengingat peta jalan pengembangan industri perbankan Indonesia periode 2020-2025 sudah mendekati batas akhir, maka OJK akan memperbaruinya untuk lima tahun mendatang. Dari peta jalan ini terdapat salah satu pilar mengenai akselerasi teknologi informasi layanan keuangan digital.

"Kita pun telah menerbitkan kebijakan POJK Nomor 11 Tahun 2022 tentang penyelenggaraan teknologi informasi. Disitu itu lengkap mengenai manajemen risiko IT, mengenai tata kelola IT, kemudian mengenai arsitektur dari penggunaan IT termasuk menekankan keamanan-keamanan siber," jelasnya.

Selain itu, OJK juga telah menerbitkan Surat Edaran OJK Nomor 29 Tahun 2022 tentang Ketahanan dan Keamanan Siber. Dalam surat edaran tersebut, OJK mengatur secara lengkap bagaimana manajemen risiko, pengukuran risiko, serta langkah-langkah perbankan dalam melakukan penilaian terhadap tingkat maturitas keamanan sibernya.

"Kemudian juga diwajibkan untuk melakukan simulasi serangan maupun penetration test. Jadi di sini, ini merupakan SEOJK memang kalau misalkan sanksi ya, tadi disebutkan sanksi itu adalah melekat ke POJK-nya, SEOJK panduan, tapi kan kita melihat kalau tidak melakukan hal-hal sebagaimana di SEOJK tersebut, tentunya yang rugi adalah bank itu sendiri," tutur dia.

Indah melanjutkan, pada dasarnya bank bekerja dengan landasan kepercayaan masyarakat dalam menjalankan fungsi intermediasi. Apabila terjadi serangan siber dan tidak bisa ditanggulangi dengan baik, maka kepercayaan masyarakat terhadap bank akan menurun.

"Begitu menurun bisa menarik data, pindah, pindah menyimpan dananya ke bank lain. Nah ini kalau terjadi seperti ini tentunya akan membuat kegaduhan lah di dalam masyarakat, yang nanti mungkin kalau misalkan ukuran bank itu kecil, tapi kan bank sekarang kan kecil atau besar, pengaruhnya bisa saja menjadi besar di masyarakat," kata dia.

Pada akhirnya, kondisi tersebut akan mengganggu stabilitas perbankan, apalagi jika bank tersebut memiliki skala usaha yang besar dengan nasabah yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Jadi, kesadaran terhadap keamanan siber bagi perbankan bukan hanya karena ada unsur kepatuhan saja, melainkan juga ada urgensi tertentu.

Indah pun menegaskan, saat ini sejumlah perbankan nasional sudah cukup patuh dengan peraturan yang ada. Maka dari itu, OJK berharap perbankan juga bisa terus beradaptasi mengingat ketentuan yang dibuat OJK mengacu pada pendekatan principle based.


(dpu/dpu)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Di Tengah Perang Dagang AS, Begini Hasil Stress Test Perbankan RI

Read Entire Article
Photo View |