Penuh Makna, Ini Alasan Kardinal Memakai Jubah Merah Saat Konklaf

5 hours ago 3

Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam setiap konklaf, prosesi yang menandai pemilihan Paus baru, para kardinal Gereja Katolik mengenakan jubah merah mencolok yang telah menjadi simbol kuat dalam sejarah dan spiritualitas Katolik. Namun, di balik tampilan liturgis tersebut, tersembunyi makna yang lebih dalam daripada sekadar tradisi visual.

Jubah merah yang dikenakan para kardinal selama konklaf bukan hanya seragam resmi, melainkan lambang pengabdian total, kesediaan berkorban, dan keberanian moral.

Warna merah dalam tradisi Katolik telah lama dikaitkan dengan darah para martir, mereka yang rela kehilangan nyawa demi mempertahankan iman. Jubah kardinal identik dengan warna kirmizi (merah) yang menandakan kesiapan untuk bertindak dengan keberanian, bahkan untuk menumpahkan darah, untuk peningkatan iman Kristen, untuk kedamaian dan ketenangan umat Allah dan untuk kebebasan dan pertumbuhan Gereja Roma

Secara lebih spesifik, pakaian liturgis yang biasa dipakai para kardinal selama konklaf mencakup:

  1. Cassock merah (soutane) yang merupakan jubah panjang warna merah dengan kancing dan pinggiran berwarna merah tua.
  2. Mozzetta merah sebuah mantel pendek yang dikenakan di atas cassock (terutama untuk upacara liturgis).
  3. Zucchetto merah berupa kopiah kecil yang dikenakan di kepala.
  4. Biretta merah yang berbentuk topi liturgis bersudut tiga (kadang tidak digunakan saat pemungutan suara).
  5. Stola yang merupakan semacam selempang/selendang yang digunakan pada bahu untuk upacara tertentu seperti Misa sebelum konklaf.

"Merah adalah warna yang mengingatkan bahwa setiap kardinal harus siap menumpahkan darahnya demi Gereja," demikian dijelaskan dalam berbagai dokumen liturgis Vatikan. Tradisi ini berasal dari abad ke-13, ketika Paus Innocentius IV secara resmi menetapkan pemakaian jubah merah sebagai bagian dari identitas seorang kardinal.

Dalam konteks konklaf, saat para kardinal dikurung di dalam Kapel Sistina untuk memilih Paus baru, jubah merah berfungsi sebagai pengingat visual akan beratnya tanggung jawab yang mereka emban. Proses pemilihan itu sendiri bersifat rahasia, sakral, dan sangat dijaga keutuhannya, karena hasilnya menentukan arah Gereja Katolik sedunia.

Orang-orang mengunjungi Kapel Sistina pada hari pembukaan kembali setelah ditutup selama berminggu-minggu, seiring pelonggaran pembatasan terkait penyakit virus korona (COVID-19), di Vatikan, 3 Mei 2021. (REUTERS/Remo Casilli)Foto: Orang-orang mengunjungi Kapel Sistina pada hari pembukaan kembali setelah ditutup selama berminggu-minggu, seiring pelonggaran pembatasan terkait penyakit virus korona (COVID-19), di Vatikan, 3 Mei 2021. (REUTERS/Remo Casilli)
Orang-orang mengunjungi Kapel Sistina pada hari pembukaan kembali setelah ditutup selama berminggu-minggu, seiring pelonggaran pembatasan terkait penyakit virus korona (COVID-19), di Vatikan, 3 Mei 2021. (REUTERS/Remo Casilli)

Selain pengorbanan, warna merah juga menandakan kehormatan tinggi yang melekat pada jabatan kardinal yang dikenal sebagai "Pangeran Gereja."

Namun dalam banyak pernyataan dari Paus dan Vatikan, kehormatan ini tidak dimaksudkan sebagai gelar kekuasaan, melainkan sebagai bentuk pelayanan yang paling dalam kepada umat.

Selama Misa pembukaan konklaf, para kardinal juga memohon bimbingan Roh Kudus untuk membuat keputusan yang bukan berdasarkan kepentingan pribadi atau geopolitik, melainkan berdasarkan kehendak ilahi. Dalam momen itulah, simbol-simbol seperti jubah merah menjadi bagian penting dari pengalaman spiritual kolektif.

Dengan demikian, jubah merah dalam konklaf bukan sekadar lambang status atau protokol liturgis. Ia adalah tanda kesetiaan, keberanian, dan tanggung jawab moral seorang kardinal juga nilai-nilai yang menjadi fondasi dalam menentukan pemimpin rohani bagi lebih dari satu miliar umat Katolik di seluruh dunia.

CNBC Indonesia Research
[email protected]

Read Entire Article
Photo View |