Jakarta, CNBC Indonesia - Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia per Februari 2025 mencapai US$427,2 miliar atau sekitar Rp7.176 triliun (US$1=Rp 16.800), turun dibandingkan posisi Januari 2025 yang tercatat sebesar US$427,9 miliar. Penurunan ini disebabkan menurunnya ULN pemerintah maupun sektor swasta.
"Posisi ULN Februari 2025 juga dipengaruhi oleh faktor penguatan mata uang dolar AS terhadap mayoritas mata uang global, termasuk Rupiah," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Ramdan Denny Prakoso, melalui keterangan tertulis, Kamis (17/4/2025).
Untuk ULN pemerintah, nilainya turun dari sebesar US$ 204,8 miliar, menjadi US$ 204,7 miliar pada Februari 2025. Catatan penurunan ULN pemerintah itu disebabkan perpindahan penempatan dana investor asing atau non residen dari surat utang pemerintah, yakni surat berharga negara (SBN) domestik ke instrumen investasi lain.
Sementara jika dilihat dari kreditornya, kreditor utang dengan porsi terbesar yakni Singapura. Posisi kedua ditempati oleh Amerika Serikat (AS) yang masing-masing sebesar US$55,45 miliar dan US$27,68 miliar.
Posisi ULN Indonesia mayoritas peminjamnya yakni pemerintah dan bank sentral sebesar US$232,35 miliar atau sebesar 54,39%. Sedangkan sisanya yakni 45,61% atau US$194,82 miliar merupakan peminjam dari pihak swasta yang terdiri dari lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank.
Jika melihat porsi kreditor ULN Indonesia per Februari 2025, didominasi oleh Singapura yakni sebesar 12,98% dengan jumlah US$55,46 miliar (Rp931,63 triliun).
Penurunan ULN ini tidak hanya terjadi dari kreditor Singapura, melainkan juga tercermin dari kreditor AS lainnya, seperti AS, maupun China. Namun berbeda halnya dengan kreditor Jepang dan Hongkong yang justru memberikan utang yang lebih tinggi dibandingkan Januari 2025.
AS & China Kurangi Kasih Utang ke RI
Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China memiliki dampak signifikan terhadap posisi Indonesia sebagai penerima kreditur dari kedua negara tersebut.
Ketegangan perdagangan antara AS dan China menciptakan ketidakpastian ekonomi global, yang menyebabkan penurunan investasi langsung dari kedua negara ke Indonesia. Investor cenderung lebih berhati-hati dalam menanamkan modal mereka di tengah ketidakpastian ini.
Selain itu, penurunan investasi langsung dari Amerika Serikat (AS) dan China ke Indonesia sebagai dampak perang dagang memiliki beberapa dimensi yang menarik untuk diperhatikan lebih jauh, seperti:
1. Perubahan Aliran Investasi
Banyak perusahaan multinasional yang sebelumnya berinvestasi di China mulai mencari alternatif lokasi produksi untuk menghindari tarif tinggi yang diberlakukan oleh AS. Meskipun ini membuka peluang bagi Indonesia, persaingan dengan negara-negara lain seperti Vietnam dan Thailand menjadi tantangan tersendiri. Indonesia perlu meningkatkan daya saingnya untuk menarik investasi ini.
2. Dampak pada Sektor Strategis
Penurunan investasi langsung berdampak pada sektor-sektor strategis di Indonesia, seperti manufaktur, infrastruktur, dan teknologi. Sektor-sektor ini biasanya menjadi target utama investasi asing, tetapi ketegangan perdagangan membuat investor lebih memilih untuk menahan modal mereka atau mengalihkan investasi ke negara-negara dengan risiko lebih rendah.
3. Peluang Diversifikasi
Kendati ada penurunan investasi dari AS dan China, Indonesia memiliki peluang untuk mendiversifikasi sumber investasi. Negara-negara lain, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Uni Eropa, dapat menjadi mitra investasi baru. Pemerintah Indonesia dapat memanfaatkan situasi ini dengan menawarkan insentif investasi dan memperbaiki iklim bisnis.
4. Langkah Strategis Pemerintah
Untuk mengatasi dampak ini, pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah-langkah strategis, seperti mempercepat reformasi regulasi, meningkatkan infrastruktur, dan memberikan insentif fiskal kepada investor asing. Langkah-langkah ini dapat membantu menarik kembali investasi langsung yang hilang akibat perang dagang.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)