Monetisasi Kejahatan, dari Judi Online hingga Money Laundering

7 hours ago 2

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Kali ini, saya harus berkata jujur bahwa kriminalitas di negara kita sudah semakin 'akut' dan 'kronis', bahwa 'orkestrasi' oleh penjahat kerah putih (white collar crime) telah merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.

Dalam beberapa dekade terakhir, kita menyaksikan pergeseran signifikan wujud dan pelaku kejahatan. Penjahat kerah putih (white collar crime) yang dulu identik dengan koruptor, mafia peradilan, oknum aparat penegak hukum, premanisme, kini merambah ke dimensi baru yang lebih berbahaya, yaitu judi online.

Kejahatan ini kini mencakup fenomena judi online, sebuah 'hidden gem' yang seolah menjanjikan keuntungan besar, tetapi pada kenyataannya adalah 'hidden criminality' yang lebih banyak merusak fondasi moral dan sosial masyarakat. Ironisnya, posisi masyarakat bukan lagi hanya korban, namun menjadi pelaku dalam judi online.

Bicara tentang judi online sekarang ini, bukan lagi hanya keterlibatan orang dewasa saja, namun anak di bawah umur juga telah terkontaminasi judi online. Bayangkan, generasi bangsa yang katanya akan menjadi aktor kemajuan bangsa ini, nyatanya sedang terjebak dan dijebak dalam tipu daya kenikmatan judi online.

Berdasarkan data demografi, pemain judi online usia di bawah 10 tahun mencapai 2 persen dari total keseluruhan yaitu 80.000 anak, sementara sebaran pemain antara usia antara 10 tahun hingga dengan 20 tahun sebanyak 11 persen atau kurang lebih 440.000 orang.

Kemudian usia 21 hingga dengan 30 tahun 13 persen atau 520.000 orang. Usia 30 tahun hingga 50 tahun sebesar 40 persen atau 1.640.000 orang dan usia di atas 50 tahun sebanyak 34 persen dengan jumlah 1.350.000 orang. (PPATK, 2024)

Judi online menjadi salah satu contoh nyata bagaimana finansialisasi kriminalitas berkembang pesat dalam masyarakat modern. Dalam sistem kapitalis yang semakin mengutamakan keuntungan, banyak orang tergoda oleh janji-janji kemudahan dan hasil cepat, tanpa menyadari bahwa yang mereka hadapi bukan hanya perjudian biasa, melainkan sebuah bentuk kejahatan terorganisir yang bisa menghancurkan kehidupan individu, keluarga, dan bahkan negara.

Terjebak
Kalau kita melihat kembali laporan Sustainable Development Report yang disampaikan pemerintah selalu diorkestrasi, "bahwa ada peningkatan", "ada kemajuan", "ada perubahan signifikan", bahkan tidak jarang melontarkan argumen ada "ada lonjakan besar".

Namun pertanyaannya, apakah capaian-capaian itu mewakili kenyataan kondisi masyarakat kita sekarang? Mengapa capaian yang dipampangkan hanya yang di atas kertas saja? Tidakkah melihat begitu 'mirisnya' kondisi masyarakat kita sekarang?

Belum lagi, seremonisaslisasi dari angka-angka statistik yang dirilis Badan Pusat Statistika (BPS) terkait persentase penduduk miskin di Indonesia pada September 2024 sebesar 8,57 persen, menurun 0,46 persen poin dibanding Maret 2024 dan menurun 0,79 persen poin dibanding Maret 2023, dan ini dianggap sebagai sebuah "capaian besar".

Kalau berbicara tentang kemiskinan, seringkali kita terjebak dalam angka-angka statistik yang seolah memberikan gambaran yang lebih sederhana. Namun kenyataannya, kemiskinan struktural jauh lebih kompleks dan tidak bisa diselesaikan hanya dengan memberi angka indikator tertentu. Saya berani mengatakan bahwa jika kemiskinan struktural ini diberikan level, maka levelnya sudah berada pada level kronis.

Kemiskinan struktural bukan hanya soal tidak cukupnya penghasilan, melainkan juga soal sistem yang tidak berpihak pada masyarakat yang paling rentan. Ketidakadilan dalam distribusi kekayaan, akses terbatas terhadap pendidikan berkualitas, serta ketidaksetaraan kesempatan dalam memperoleh pekerjaan yang layak, semuanya berkontribusi pada penciptaan siklus kemiskinan yang tak terputus.

Masyarakat yang terperangkap dalam kemiskinan struktural ini, pada akhirnya, terjerumus dalam kebijakan yang salah dan akhirnya mencari jalan pintas seperti judi online untuk bertahan hidup.

Mereka merasa bahwa sistem yang ada tidak memberikan mereka kesempatan untuk maju, dan judi online seolah menjadi satu-satunya cara untuk mengubah nasib dalam waktu singkat. Padahal, di baliknya, mereka justru memperburuk keadaan ekonomi mereka, melibatkan diri menjadi pelaku tindak pidana, hingga memperbesar masalah yang sudah ada.

Pragmatis
Sebagai contoh, di beberapa media sosial, saya memperhatikan secara jelas bahwa promosi judi online secara gamblang masih terus terjadi. Promosi tersebut juga dibarengi dengan tindak pidana lainnya yaitu tindak pidana pornografi hingga eksploitasi anak. Dalam pengamatan saya, tidak sedikit yang terlibat adalah anak di bawah umur berperan mengiklankan, agar menarik perhatian masyarakat terlibat dalam judi online.

Artinya, platform sosial yang selama ini dianggap memberikan hiburan bagi masyarakat, ternyata semakin ke sini, menjadi sarang embrio-embrio kriminalitas. Akhirnya, masyarakat tidak lagi berpikir jernih untuk mencari uang, namun menempuh jalan pragmatisme dengan mengandalkan aktivitas-aktivitas ilegal.

Maka, patut kita bertanya pada pemerintah kita: setelah kemarin pemecatan pegawai Komdigi yang terlibat dalam judi online, apakah pemerintah sudah punya strategi pemberantasan judi online yang nyata? Apakah rantai judi online ini hanya ini berhenti pada mereka yang telah dipecat? atau justru masih ada "bos dari para penjahat kerah putih" di balik layar yang berperan mengorkestrasi judi online subur di negeri kita?

Pencucian Uang
Belakangan ini, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan data terbaru jumlah perputaran uang dari judi online pada 2025 mencapai Rp 1.200 triliun. Aliran ini lebih besar dari tahun 2024 yaitu mencapai Rp981 triliun.

Yang paling menyedihkannya, dari total keseluruhan pemain judi online, bahwa terdapat sekitar 97.000 anggota TNI/Polri terlibat dalam aktivitas judi online. Angka ini menambah daftar panjang keprihatinan terkait fenomena judi online yang semakin marak di Indonesia, melibatkan berbagai lapisan masyarakat, dari masyarakat hingga aparatur negara.

Judi online sangat erat kaitannya dengan pencucian uang. Pasal 2 ayat (1) huruf t UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) jelas menyebutkan salah satu tindak pidana asal pencucian uang adalah perjudian. Semakin ke sini, hasil judi online yang merupakan sumber illegal diolah seolah-olah menjadi uang yang halal.

Praktik adalah dilakukan dengan cara menempatkan uang yang diperoleh secara ilegal melalui serangkaian transaksi finansial yang rumit dan kompleks dengan tujuan menyulitkan aparat penegak hukum untuk mengusut asal-usul sumber dana tersebut.

Dalam banyak kasus, kita melihat fenomena yang cukup mencolok di media sosial, seperti orang-orang yang 'flexing' kekayaan tanpa jelas asal-usulnya, hingga usaha/bisnis yang tiba-tiba berkembang pesat dan beromset besar tanpa dasar yang jelas. Semua ini mengindikasikan bahwa banyak di antaranya yang melakukan aktivitas yang patut dicurigai sebagai bagian dari pencucian uang.

Paradoks
Fenomena ini menciptakan sebuah paradoks sosial. Di satu sisi, kita melihat masyarakat yang berjuang untuk hidup dengan cara yang halal, meskipun mereka mengalami kesulitan ekonomi yang sangat nyata.

Sementara itu, di sisi lain, para pelaku pencucian uang dengan segala kemewahan yang mereka pamerkan, memperlihatkan kepada publik bahwa kekayaan bisa diraih dengan cara yang tidak jelas dan meragukan. Akhirnya, paradigma ini mendorong masyarakat untuk terjebak dalam pragmatisme, di mana uang dan kekayaan menjadi tujuan utama, meskipun didapatkan melalui jalan pintas yang haram.

Selain aparat penegak hukum yang "setengah hati" memberantas judi online hingga pencucian uang, PPATK juga masih terhambat dengan lemahnya kewenangan dan kelembagaan. Seharusnya PPATK tidak hanya berfungsi sebagai lembaga analisis dan pelapor, tetapi juga memiliki kemampuan operasional dalam proses penegakan hukum.

Judi online yang berujung dengan aktivitas pencucian uang bukan hanya kejahatan finansial biasa. Ia adalah ancaman nyata yang merusak keadilan sosial, memperparah ketimpangan, dan semakin menumpulkan hukum.

Keberlanjutan finansialisasi kriminalitas ini tidak bisa dianggap enteng. Ini adalah gejala yang sangat serius, yang tidak hanya merusak ekonomi, tetapi juga tatanan sosial dan moral bangsa. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran kolektif dan tindakan tegas dari seluruh elemen masyarakat dan aparat penegak hukum untuk menangani persoalan ini.

Dalam menghadapi tantangan ini, kita harus bertanya pada diri kita sendiri: apakah kita akan membiarkan kemiskinan struktural dan finansialisasi kriminalitas ini terus berkembang, atau kita akan bersatu untuk mencari solusi yang lebih berkelanjutan?

Sebagai masyarakat, kita harus sadar bahwa kita tidak hanya sebagai korban, tetapi juga sebagai agen perubahan yang dapat membentuk masa depan yang lebih baik. Jangan biarkan judi online merusak kehidupan kita lebih jauh lagi.


(miq/miq)

Read Entire Article
Photo View |