Jakarta, CNBC Indonesia- Kulat Pelawan, yang dijuluki "truffle Indonesia", mulai mencuri perhatian chef dan foodies. Harganya bisa menyentuh Rp4 juta per kilogram kering selevel jamur eksotis impor padahal tumbuh liar hanya di pohon pelawan Bangka Belitung
Jamur ini bukan jenis yang bisa dengan mudah dibudidayakan seperti merang atau kuping. Ia memerlukan simbiosis ektomikoriza dengan pohon pelawan (Tristaniopsis merguensis), pohon endemik Bangka Belitung yang menjadi "induk" kehidupannya.
Warga lokal percaya, jamur ini hanya muncul pada musim kemarau panjang yang diakhiri hujan deras disertai petir-fenomena alam yang dianggap sebagai pemicu munculnya miselium. Meski terdengar mistis, pola kemunculan musiman ini sudah diamati bertahun-tahun dan menjadikannya komoditas langka yang hanya bisa dipanen pada waktu tertentu.
Selain eksotis, kulat pelawan ternyata kaya nutrisi.Penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) pada keluarga Boletus sp. yang memiliki kemiripan dengan kulat pelawan menemukan kandungan protein hingga 15,5%, karbohidrat 75,8%, dan serat pangan 11,7% pada bobot keringnya.
Kandungan mineral seperti kalium, fosfor, kalsium, zat besi, hingga zinc juga mendominasi, ditambah total fenolik yang cukup tinggi yakni 4,77mg GAE/g, menjadikannya berpotensi sebagai pangan fungsional. Kandungan bioaktifnya seperti flavonoid dan saponin bahkan mulai diteliti lebih lanjut sebagai agen imunomodulator dan antibakteri alami.
Kandungan gizi ini membuka peluang pengembangan produk kesehatan berbasis jamur lokal. Namun, tantangan terbesar justru ada pada budidaya. Sejauh ini, riset molekuler memang sudah berhasil mengidentifikasi primer genetik Heimiporus sp., tapi proses inokulasi dan rekayasa lingkungan tumbuhnya masih jauh dari sempurna. Artinya, kulat pelawan tetap menjadi jamur liar yang sulit dijinakkan, mirip dengan truffle Eropa yang juga bergantung pada akar pohon tertentu.
Karena kelangkaan dan proses panennya yang tidak menentu, harga kulat pelawan kering bisa menembus Rp4 juta per kilogram, bahkan melonjak lebih tinggi di luar musim panen. Sementara versi segarnya relatif "lebih terjangkau" di kisaran Rp1-2 juta per kilogram, meski tetap jauh di atas harga jamur konsumsi biasa.
Permintaan dari restoran premium di Jakarta hingga Singapura kian meningkatkan nilai ekonominya, dan warga Bangka menjadikannya sumber penghasilan musiman yang sangat menguntungkan.
Proses pengolahannya membutuhkan kesabaran luar biasa. Jamur yang baru dipetik harus melalui proses pembersihan selama 12-15 jam untuk menghilangkan pasir dan kotoran yang menempel pada pori-porinya.
Setelah itu, jamur dikeringkan secara tradisional hingga berbulan-bulan untuk mempertahankan rasa dan aroma khasnya. Saat dimasak, ia menghadirkan sensasi tekstur yang unik, perpaduan antara kenyalnya jamur kuping dan lembutnya jamur merang, membuatnya jadi bahan gulai yang paling dicari di dapur tradisional Bangka.
Ke depan, kulat pelawan memiliki potensi besar sebagai komoditas pangan fungsional Indonesia. Namun, riset lanjutan soal budidaya, pengolahan pascapanen, hingga sertifikasi keamanan pangan masih menjadi pekerjaan rumah.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)