Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Setiap kali hasil survei PISA diumumkan, publik kembali gelisah. Skor literasi, numerasi, dan sains Indonesia berada di papan bawah, sementara rata-rata IQ nasional pun kerap dijadikan alasan ketertinggalan. Seolah-olah masa depan generasi kita sudah diputuskan lewat angka ujian.
Namun kenyataan di ruang kelas justru berbeda. Mahasiswa yang sama sekali tidak memiliki latar belakang matematika maupun pemrograman ternyata mampu membangun aplikasi nyata dengan pendekatan no-code agentic AI.
Mereka tidak perlu menulis ribuan baris kode, cukup menghubungkan layanan sederhana seperti Google Sheets, Canva, Zapier, dan model AI terbuka. Hasilnya? Solusi nyata yang bisa langsung dipakai oleh dunia usaha dan masyarakat.
Contohnya Ghina. Dengan bekal nol pemrograman, ia berhasil membangun chatbot wisata kota. Chatbot ini bisa menjawab pertanyaan turis lokal maupun mancanegara: mulai dari rekomendasi kuliner khas, rute transportasi, hingga jam buka tempat wisata. Aplikasi yang awalnya hanya latihan kelas ini berkembang menjadi prototipe yang berpotensi dipakai dinas pariwisata.
Egi memilih jalur berbeda. Ia membuat otomatisasi unggahan media sosial untuk sebuah kafe kecil di kampungnya. Dengan menghubungkan jadwal konten di Google Sheets ke Canva dan Instagram, sistem yang ia rancang mampu menghasilkan unggahan visual dengan caption otomatis setiap hari. Bagi pemilik kafe, ini berarti promosi konsisten tanpa tenaga tambahan. Bagi Egi, ini adalah portofolio nyata yang bisa langsung ia pamerkan di LinkedIn.
Ratu justru tertarik pada data. Ia menghubungkan catatan penjualan toko online sederhana ke sebuah sistem analitik berbasis AI. Hasilnya, setiap minggu pemilik toko menerima laporan otomatis berupa grafik penjualan dan insight singkat tentang produk terlaris. Ratu tidak sekadar belajar teori, tetapi membuktikan bahwa AI bisa membantu UMKM mengambil keputusan lebih cepat.
Kisah-kisah ini menunjukkan satu hal penting: anak-anak kita bisa unggul tanpa harus menunggu skor PISA naik. Pendidikan tinggi tidak harus selalu memulai dengan kalkulus atau teori algoritma. Dengan AI no-code, mahasiswa bisa merasakan keberhasilan sejak dini.
Rasa "aku bisa" ini menumbuhkan motivasi sekaligus melahirkan karya yang berdampak sosial-ekonomi. Apa yang dilakukan Ghina, Egi, dan Ratu hanyalah permulaan. Bayangkan bila setiap mahasiswa diberi ruang serupa.
Kampus tidak lagi menjadi pabrik ijazah, tetapi laboratorium peradaban tempat generasi muda menciptakan solusi untuk masyarakat nyata. Karena itu, sudah saatnya strategi pendidikan tidak berhenti di angka PISA.
Kita perlu memberi ruang agar mahasiswa membuktikan diri lewat karya nyata, bukan sekadar skor ujian. AI no-code memberi jalan pintas: dari keterbatasan menuju kekuatan, dari rasa tidak mampu menjadi percaya diri, dari kelas menuju kontribusi nyata.
PISA boleh rendah, IQ boleh rata-rata, tetapi dengan kurikulum fleksibel dan pemanfaatan teknologi cerdas, mahasiswa Indonesia bisa menjadi generasi pencipta. Pertanyaannya: beranikah kita menata ulang arah pendidikan tinggi agar lebih kontekstual, lebih adaptif, dan lebih percaya pada potensi anak-anak kita sendiri?