Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Di tengah upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional, guru merupakan pilar utama yang tak tergantikan. Mereka adalah arsitek masa depan yang membentuk karakter dan kompetensi generasi penerus bangsa.
Maka sudah semestinya negara memberi perhatian lebih pada kesejahteraan mereka, salah satunya melalui Tunjangan Profesi Guru (TPG).
TPG merupakan bentuk penghargaan atas profesionalisme guru yang telah menyelesaikan Pendidikan Profesi Guru (PPG) dan memiliki sertifikat pendidik. Sayangnya, selama bertahun-tahun, tunjangan ini seringkali menjadi sumber kekecewaan.
Prosedur yang panjang, keterlambatan pencairan, serta celah penyalahgunaan anggaran menjadi masalah klasik yang seolah tak berujung.
Kendala dalam Distribusi Tunjangan Profesi Guru
Sebelumnya, dana TPG untuk guru Aparatur Sipil Negara Daerah (ASND) disalurkan melalui pemerintah daerah, yakni masuk terlebih dahulu ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) sebelum akhirnya diteruskan ke rekening guru.
Prosedur ini bukan hanya tidak efisien, tetapi juga membuka peluang praktik yang merugikan guru-mulai dari keterlambatan lebih dari 14 hari kerja hingga dugaan penggunaan dana yang tidak semestinya.
Lebih menyedihkan lagi, di tengah perjuangan guru untuk mendapatkan sertifikat pendidik-yang tidak mudah dan tidak semua mendapat kesempatan karena kuota terbatas setiap tahunnya-proses pencairan TPG malah menjadi beban tambahan. Banyak guru bahkan tak sempat menikmati tunjangan ini hingga pensiun, meski telah mengabdi puluhan tahun.
Solusi Regulasi Distribusi Tunjangan Profesi Guru
Untungnya, pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48 Tahun 2023 mengambil langkah berani dengan mereformasi mekanisme penyaluran TPG. Kini, TPG disalurkan langsung ke rekening guru, tanpa melalui RKUD, dan dilakukan setiap bulan, bukan lagi triwulan.
Kebijakan tersebut adalah bentuk nyata keberpihakan negara kepada guru-tepat sasaran, lebih cepat, dan bebas dari potensi penyimpangan.
Langkah tersebut juga sejalan dengan prinsip good governance dalam pengelolaan keuangan negara, yakni transparansi, efisiensi, dan akuntabilitas. Reformasi ini juga merupakan implementasi nyata dari amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang menjamin hak guru profesional atas tunjangan sebesar satu kali gaji pokok per bulan.
Namun, reformasi ini tidak boleh berhenti pada aspek teknis semata. Pemerintah pusat dan daerah tetap harus meningkatkan kualitas pendataan dan sistem informasi kepegawaian.
Pengawasan harus diperkuat agar tidak ada lagi pungutan liar atau keterlambatan akibat kesalahan administratif. Selain itu, akses terhadap sertifikasi pendidik juga perlu diperluas dan dipermudah, agar lebih banyak guru bisa menikmati hak mereka secara adil.
Tunjangan profesi bukan sekadar nominal dalam slip gaji. Ia adalah wujud pengakuan negara atas pengabdian guru sebagai penjaga peradaban.
Sudah saatnya kita menempatkan guru di tempat yang layak-tidak hanya dalam lisan dan slogan, tetapi dalam kebijakan nyata yang menyentuh kesejahteraan mereka.
(miq/miq)