Huru-Hara di Jantung Dolar: Bank Paling Sakti Sedunia Terpecah Belah

2 hours ago 3

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) menampilkan wajah yang berbeda tahun ini: penuh konflik internal, tekanan dari Gedung Putih, kegamangan bersikap hingga kerancuan dalam berkomunikasi.

Kondisi ini tentu menciptakan ketidakpastian global mengingat The Fed dianggap sebagai bank paling "sakti" di dunia karena menjadi pengendali dolar dan berperan besar dalam kebijakan ekonomi negara adi daya. 

Amerika Serikat dan tentu saja dunia mengawali 2025 dengan tantangan yang sudah sangat jelas di depan mata yakni terpilihnya Donald Trump sebagai presiden.

Dengan cepat Trump yang memimpin AS mulai 20 Januari mengubah kebijakan AS dan dunia. The Fed sebagai institusi paling berpengaruh di sektor moneter tentu saja ikut terdampak.

Terpilihnya Trump nyatanya tidak hanya berimbas pada kebijakan terkait ekonomi tetapi juga "rumah tangga" The Fed. Berkali-kali Trump melancarkan serangan ke Chairman The Fed Jerome Powell bahkan mengancam memecatnya.

The Fed mengawali tahun ini dengan menahan suku bunga di akhir Januari 2025. Kebijakan ini bertolak belakang dengan pemangkasan agresif sebesar 100 bps di pertemuan September-Desember 2024.

The Fed mempertahankan suku bunga hingga lima pertemuan berikutnya atau Juli 2025. Saat itu, dunia tengah berteriak keras terhadap kebijakan gila Trump yakni tarif dagang.

Dunia juga sudah berharap banyak jika The Fed akan memangkas suku bunga secepatnya sebagai bantuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi global yang terancam melambat karena Trump.

Namun, The Fed tetap bergeming. Bank sentral yang berdiri sejak 1913 ini bukannya tidak mendengarkan harapan dunia. The Fed sendiri tengah dipusingkan oleh persoalan besar di AS.

Laju Tenaga Kerja dan Inflasi Membuat The Fed Bimbang

Dalam setahun terakhir, The Fed menghadapi benturan antara dua mandat yang diberikan Kongres yakni mencapai lapangan kerja maksimum dan stabilitas harga.

Tahun ini mereka menghadapi sebuah situasi yang belum pernah terjadi sejak era stagflasi pada 1970-an. Dinamika ini memicu perpecahan di internal The Fed yang juga jarang terlihat dalam beberapa tahun terakhir, tercermin dari perbedaan pendapat (dissent) yang datang dari arah berlawanan terkait kebijakan suku bunga.

Pasar tenaga kerja AS memburuk dengan cepat tetapi di sisi lain inflasi sangat bandel dan sulit ditaklukkan.

Kondisi itu membuat perekonomian AS menghadapi dua masalah yang terjadi secara bersamaan dan sangat rumit untuk diselesaikan The Fed. Shutdown pemerintah AS yang menjadi rekor terpanjang dalam sejarah yakni 45 hari dari 1 Oktober juga membuat The Fed semakin sulit menentukan kebijakan. Shutdown membuat data ekonomi AS menjadi tidak relevan karena rilis tertunda.

Alat kebijakan terpenting The Fed yakni suku bunga hanya bisa membantu menstimulasi pasar tenaga kerja atau mengendalikan harga, tidak keduanya dalam sekaligus.

Mendorong pertumbuhan lapangan kerja dapat meningkatkan inflasi, dan menjaga inflasi tetap rendah dapat melemahkan pasar tenaga kerja. Itulah sebabnya Powell menyebut situasi ekonomi saat ini sebagai sesuatu yang "menantang."

"Anda hanya punya satu alat. Anda tidak bisa melakukan dua hal sekaligus." Ujar Powell dalam konferensi pers usai menggelar rapat Federal Open Committee (FOMC) pada 10 Desember lalu, dikutip dari CNN International.

Laporan pekerjaan terbaru menunjukkan penambahan lapangan kerja lebih lambat dibandingkan periode sebelumnya, hanya sekitar 64.000 pekerjaan baru di November. Tingkat pengangguran meningkat menjadi sekitar 4,6% pada November 2025 yang merupakan level tertinggi sejak 2021.

Sepanjang 2025, perusahaan-perusahaan di AS mengumumkan lebih dari 1,17 juta PHK, level tertinggi sejak pandemi.

Di sisi lain, inflasi AS membandel dan mencapai 2,7-3% (year on year/YoY) dari Juni-November 2025.

The Fed Pecah
Rumitnya persoalan inflasi dan tenaga kerja ini ikut mendorog terbelahnya suara The Fed.  

Perdebatan arah kebijakan moneter Amerika Serikat semakin mengemuka sepanjang 2025.

Perbedaan ini tidak selalu muncul dalam bentuk konflik terbuka, tetapi tercermin dari nada komunikasi, dissent dalam rapat FOMC, hingga sinyal kebijakan yang kerap membingungkan pasar.

Suara anggota FOMC terbelah dalam pengambilan Oktober dan Desember. Pada Desember, misalnya, hasil pemungutan suara 9-3. Beberapa anggota mendukung pemangkasan suku bunga untuk mencegah pelemahan lebih lanjut di pasar tenaga kerja, sementara yang lain menilai pelonggaran kebijakan telah cukup dan berisiko memperburuk inflasi.

Keputusan Desember adalah pertama kalinya sejak 2019 terdapat dissenting votes sebanyak ini..

Ketua The Fed Jerome Powell berulang kali mengatakan bahwa dissent bukanlah kesalahan, tetapi bagian dari proses penentuan suku bunga, dan ia menyambut adanya keragaman pandangan.

Powell dikenal sangat berhati-hati. Sebaliknya, sebagian pejabat The Fed yang lebih dovish mendorong pemangkasan lebih cepat. Powell takut bertindak terlalu cepat, sementara yang lain takut terlalu lambat.

Read Entire Article
Photo View |