Tanda Kiamat Sudah Dekat Makin Jelas Terlihat di Awan

4 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Keseimbangan iklim di Bumi makin kacau balau. Salah satu tanda Bumi makin dekat dengan "kiamat" perubahan iklim akibat pemanasan global tampak dari perubahan di awan.

Penelitian dari tim riset yang dipimpin oleh Steven Sherwood dari UNSW Sydney menunjukkan bahwa iklim Bumi makin "tidak seimbang."

Sherwood, dalam tulisan di The Conversation, menjelaskan bahwa perhitungan surplus-defisit panas adalah salah satu alternatif untuk memantau perubahan iklim selain perkembangan suhu rata-rata.

Cara perhitungan "keseimbangan energi" adalah lewat perhitungan berapa banyak "panas" yang memasuki dan keluar dari atmosfer. Riset Sherwood dan tim menemukan bahwa selisih antara panas yang masuk dan keluar dari Bumi dalam 20 tahun terakhir, makin lebar. 

Pada pertengahan 2000-an, ketimpangan energi rata-rata adalah 0,6 Watt per meter persegi. Dalam beberapa tahun terakhir, ketimpangan tersebut naik hingga 1,3 W/meter persegi. Artinya, akumulasi "panas" di permukaan Bumi sudah naik dua kali lipat.

Makhluk hidup di Bumi bergantung kepada energi yang keluar masuk Bumi ini. Hanya sebgian dari energi yang terpancar lewat panas Matahari dipantulkan lagi keluar. Sebagian energi "disimpan" oleh Bumi lewat "perangkap" gas rumah kaca.

Aktivitas ekonomi manusia lewat pembakaran karbon di dalam batu bara, minyak, dan gas membuat gas rumah kaca makin tebal. Akibatnya, panas yang terperangkap di Bumi makin lama makin banyak.

Sebagian kecil dari panas yang menumpuk ini membuat daratan makin hangat dan es mencair. Mayoritas dari energi panas tersebut, nyaris 90 persen, tersimpan di laut yang punya kapasitas penyimpanan jauh lebih besar.

Penelitian oleh tim riset yang dipimpin oleh Christian Jakob dari Monash University menunjukkan bahwa salah satu faktor paling besar yang membuat "ketimpangan energi" di Bumi berlipat ganda adalah awan.

Hampir dua pertiga permukaan Bumi selalu diselimuti awan. Adanya awan membuat suhu di permukaan Bumi lebih "adem" karena bisa memantulkan cahaya Matahari sebelum menyentuh permukaan Bumi.

Namun, Bumi yang makin panas membuat bentuk dan ketebalan awan berubah. Perubahan bentuk awan ini kemudian membuat Bumi makin hangat dan seterusnya dalam siklus yang tak pernah habis.

Perubahan suhu yang drastis dalam beberapa tahun terakhir bisa dijelaskan dari perubahan bentuk awan di langit. Jakob menjelaskan, jenis awan yang berbeda memiliki kemampuan memantulkan panas yang berbeda.

Awan yang putih dan terang bisa memantulkan lebih banyak cahaya Matahari, apalagi jika mereka ada di langit di dekat garis Khatulistiwa. Di sisi lain, awan yang warnanya lebih gelap dan tersebar tipis hanya sedikit memantulkan cahaya.

Studi Jakob menunjukkan bahwa area yang Bumi yang tertutup oleh awan putih terang makin sedikit, sedangkan area yang diselimuti awan yang "putus-putus" makin besar.

Dampaknya, cahaya Matahari yang menembus awan hingga mencapai permukaan Bumi makin banyak. Perubahan ini, lanjutnya, disebabkan oleh perubahan pola tiupan angin di penjuru Bumi.

Awan pemantul cahaya yang ada di dekat ekuator (disebut sebagai zona intertropical convergence) dan area di antara lintang 30 derajat dan 40 derajat makin sedikit. Di sisi lain, zona awan patah-patah yang biasanya ada di wilayah subtropis, makin meluas.

Kesimpulannya, pemanasan global berdampak kepada pola tiupan angin yang kemudian mengubah pola pembentukan awan, yang kemudian menyebabkan Bumi makin panas. Rantai ini disebut sebagai "positive feedback" dalam sistem iklim. Pemanasan berujung kepada pemanasan yang lebih drastis.


(dem/dem)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article 15.000 Ilmuwan Kompak Teriak Bumi Kiamat, Jadwalnya Sudah Ada

Read Entire Article
Photo View |