Tambang Longsor-Pekerja Dilarang Evakuasi, 437 Terkubur Hidup-Hidup

8 hours ago 3
Naskah ini bagian dari CNBC Insight, menyajikan ulasan sejarah untuk menjelaskan kondisi masa kini lewat relevansinya di masa lalu.

Jakarta, CNBC Indonesia - Cerita kecelakaan kerja di pertambangan sering terdengar. Dan sering kali menyisakan kisah pilu, menelan korban tewas dengan jumlah yang tak sedikit.

Seperti yang terjadi di tambang batu bara di Afrika Selatan, bernama Coalbrook. Kejadian terjadi di kedalaman hampir 200 meter di perut bumi, Kamis, 21 Januari 1960.

Peristiwa ini masuk dalam salah satu tragedi terbesar sepanjang sejarah pertambangan dunia. Yang mengenaskan lagi, tragedi ini sebenarnya bisa dicegah seandainya pengelola tambang tidak serakah.

Setidaknya demikian jika menelusuri lagi kisah tragis ini. Mengutip riset "Powering Apartheid: The Coalbrook Mine Disaster of 1960" (2020).

Diceritakan, saat itu ribuan pekerja di pertambangan batu bara Coalbrook, berbondong-bondong masuk ke perut bumi. Tambang yang sudah beroperasi sejak 1905 itu memang tak pernah tidur. Batu bara adalah urat nadi energi Afrika Selatan.

Menjelang siang, desas-desus keresahan mulai terdengar di bawah tanah. Gemuruh menyusup lewat dinding batu. Udara di lorong-lorong sedalam hampir 200 meter itu terasa berbeda, berat dan menekan. Sebagian pekerja mencoba naik ke atas sebab khawatir sesuatu buruk akan terjadi.

Namun, mereka tetap bekerja seperti biasa untuk menghindari hukuman bos. Sampai akhirnya, pukul 16.30, malapetaka benar-benar datang.

Dinding tambang runtuh, disusul longsoran besar. Tanah bergetar, lorong-lorong menyempit, udara menipis. Ratusan pekerja berusaha menyelamatkan diri.

Namun, begitu sampai di permukaan, mereka justru dihadang bos.

Para pekerja dipaksa turun kembali. Jika tetap nekat kabur, maka mereka akan dihukum penjara.

Saat itu, Afrika Selatan masih menerapkan sistem apartheid atau diskriminasi pemisahan warga kulit hitam dengan kulit putih. Akibatnya, warga kulit hitam hidup menderita dan sulit melawan, termasuk mayoritas pekerja tambang.

Bos menganggap, jika mereka berhenti bekerja maka produksi bisa menurun. Keuntungan berkurang, sehingga ratusan pekerja tetap harus menggali tambang. Alhasil, mereka kembali masuk ke lorong tambang.

Tapi dua jam kemudian, aktivitas pertambangan benar-benar berakhir. Longsor terjadi kembali dan membuat ratusan pekerja di kedalaman 182 meter terjebak.

Evakuasi segera dilakukan. Tim menghitung ada 437 pekerja yang terjebak dan langsung melakukan penyelamatan. Caranya dengan mengebor dari atas berharap masih ada ruang bernapas yang tersisa. Namun, hasilnya nihil.

Mengutip situs Mining Journal, penyelidikan menunjukkan, para pekerja bukan sekadar terjebak. Mereka benar-benar tertimbun atau terkubur hidup-hidup. Bahkan jasad mereka pun tak bisa diangkat sebab di dalam tanah penuh gas metana dan karbon dioksida beracun.

Mengutip situs Mining Journal, penyelidikan menunjukkan, para pekerja bukan sekadar terjebak. Mereka benar-benar tertimbun reruntuhan atau terkubur hidup-hidup. Bahkan jasad mereka pun tak bisa diangkat sebab di dalam tanah penuh gas metana dan karbon dioksida beracun.

Belakangan terungkap, tambang Coalbrook seharusnya sudah ditutup karena strukturnya rapuh.

Namun, karena harga batu bara melonjak, perusahaan memaksakan operasi kembali tanpa peralatan memadai. Ratusan pekerja yang dipaksa mempertaruhkan nyawa pun akhirnya benar-benar kehilangan hidupnya.

Ironisnya, pengadilan kala itu hanya menyebut tragedi ini sebagai "kecelakaan kerja" tanpa kompensasi bagi keluarga korban.


(dce/dce)

Read Entire Article
Photo View |