Takut Ulah Trump, Jepang Tahan Suku Bunga

9 hours ago 7

Jakarta, CNBC Indonesia - Jepang kembali menahan napas. Untuk kedua kali berturut-turut, Bank of Japan (BOJ) memutuskan mempertahankan suku bunga acuan di level 0,5%, di tengah awan kelabu ketegangan dagang global yang semakin menggelayut. Tekanan datang bukan hanya dari perlambatan ekonomi, tapi juga dari "Trump Effect" yang kembali menghantui pasar ekspor Negeri Sakura.

Melansir dari CNBC International, keputusan ini sejalan dengan ekspektasi pasar, seperti tercermin dari polling ekonom Reuters. Namun di balik keputusan yang tampak stabil ini, tersimpan kegelisahan terhadap prospek pertumbuhan dan inflasi Jepang ke depan.

BOJ dalam pernyataannya menyebut akan tetap membuka ruang pengetatan suku bunga "apabila proyeksi ekonomi dan inflasi terkonfirmasi." Namun, narasi yang lebih dalam justru menekankan potensi moderasi pertumbuhan akibat pelemahan ekonomi global dan penurunan laba perusahaan domestik. Dengan kata lain, jalan menuju normalisasi suku bunga masih panjang dan penuh kabut.

Inflasi Stabil, Tapi Ancaman Tarif Mengintai

Inflasi inti Jepang masih bertahan di atas target 2% selama 36 bulan terakhir, memberi landasan bagi BOJ untuk perlahan melepas era suku bunga negatif. Namun, kebijakan tarif balasan dari Presiden AS Donald Trump mengganggu rencana tersebut.

BOJ memperkirakan inflasi akan bergerak di kisaran 2-2,5% pada tahun fiskal 2025 (berakhir Maret 2026), lalu turun ke 1,5-2% pada tahun fiskal berikutnya. Target jangka menengah menunjukkan inflasi akan mendekati 2% pada 2027.

Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Jepang masih rapuh. Data menunjukkan ekonomi hanya tumbuh 0,1% sepanjang 2024-merosot tajam dibanding 1,5% pada 2023. Pertumbuhan kuartal IV hanya 1,2% secara tahunan, memberi sinyal bahwa konsumsi dan ekspor belum sepenuhnya pulih.

Yen Menguat, Pasar Resah

Pasca pengumuman kebijakan, indeks Nikkei 225 menguat 0,54% sementara Topix naik 0,23%. Namun yen justru melemah 0,29% menjadi ¥143,49 per dolar AS. Hal ini mencerminkan kekhawatiran investor atas prospek ekspor Jepang yang bisa terpukul oleh tarif Trump yang agresif: 10% untuk barang umum, dan 25% khusus otomotif.

Trump bahkan sempat menyindir Jepang pekan lalu, menyatakan bahwa Tokyo "selalu berjuang" agar yen tetap lemah. Padahal sejak Jepang keluar dari suku bunga negatif pada Maret 2024, yen telah menguat hampir 5% terhadap dolar AS, dan lebih dari 8% sejak Trump kembali menjabat pada Januari 2025.

Pernyataan terbaru dari Menteri Keuangan Jepang Katsunobu Kato membantah laporan harian Yomiuri yang menyebut Menkeu AS Scott Bessent menginginkan dolar lemah dan yen kuat. "Tidak pernah ada pembicaraan seperti itu," tulis Kato di platform X.

Arah BOJ, Naik atau Bertahan?

Meski BOJ menyatakan akan tetap bersikap hawkish, sejumlah analis menilai urgensi kenaikan suku bunga berikutnya semakin tipis. Citi Research dalam catatan risetnya menyebut bahwa ekspor Jepang bisa terpukul lebih dalam dari sisi global, khususnya akibat pelemahan permintaan dari AS dan China. "BOJ kemungkinan akan bergeser menjadi lebih dovish jika data ekspor mulai turun dan belanja konsumen AS melemah," tulis Citi.

Nomura juga menilai BOJ akan tetap mempertahankan sikap waspada, namun tidak terburu-buru dalam menaikkan suku bunga berikutnya. Citi memperkirakan kenaikan berikutnya bisa terjadi paling cepat Maret 2026-jika ekonomi masih memberi ruang.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
Photo View |