Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Di tengah teraduknya perasaan -terbentuk oleh tayangan derita korban Bencana Sumatra-- beredar unggahan yang kian mengaduk emosi. Emosi yang bahkan mampu menyadarkan ketakpedulian sebagian orang: bencana yang terjadi, demikian dahsyatnya.
Unggahannya ini pertama kali beredar di TikTok. Menggambarkan kerasnya perjuangan seekor induk kucing menyelamatkan anaknya dari aliran deras banjir. Aliran yang mampu merobohkan rumah maupun bangunan yang paling kokoh, lantaran membawa serta ribuan kayu gelondongan. Meluluhlantakkan yang dilewatinya.
Sang Induk tampak menggondol leher anaknya, lalu bertahan pada sebuah pokok kayu. Penyelamatan akhirnya dilanjutkan tim relawan. Induk beserta anaknya diraih, dan dimuatkan pada perahu karet. Terdengar di video, suara menenangkan binatang berbulu itu: drama penyelamatan telah berhasil.
Pada keterangan unggahan tertanggal 28 November, disebutkan: "Momen haru di tengah bencana banjir Sumatera! Seekor induk kucing terekam kamera berjuang keras melindungi anaknya dari air banjir yang terus meninggi. Syukurlah, Tim Penyelamat dengan sigap dan cepat berhasil mengevakuasi sang induk dan anaknya ke tempat yang aman".
Atas kepedulian tim relawan itu, muncul berbagai komentar. Mulai memuji pertolongan yang diberikan, rasa lega, hingga disesalinya bencana yang sebagian disebabkan ulah manusia.
Sedangkan di dua hari sebelumnya --lewat Instagram-- beredar unggahan serupa. Disebutkan adanya Harimau -juga induk beserta anaknya- sedang berjalan di sekitar pemukiman yang terendam banjir. Pada keterangan disebutkan: "Viral, momen warga rekam adanya Harimau besar dari hutan, yang berjalan di tengah banjir yang melanda Sibolga- Tapanuli, Sumatera Utara. Mungkin hutan tempat tinggalnya juga ikut banjir yah. Gimana menurut kalian?"
Tak lama berselang --setelah beredarnya dua unggahan itu-- muncul pernyataan: unggahan yang ramai diperbincangkan tak lebih merupakan hasil formulasi artificial intelligence (AI) belaka. Bukan realitas yang ada acuannya. Kompas.com, 2 Desember 2025, dengan tulisan "[KLARIFIKASI] Video Kucing Menolong Anaknya Saat Banjir Sumatera adalah Rekayasa AI", memastikan statusnya.
Melalui penelusuran Tim Cek Faktanya, Kompas memastikan: unggahan soal "Kucing", merupakan hasil rekayasa AI. Pernyataan ini tak berbeda dari penjelasan atas unggahan sebelumnya, yang juga merupakan hasil rekayasa AI. Dimuat Kompas.com, 26 November, berjudul "[HOAKS] Penampakan Harimau Saat Banjir di Sibolga, Tapanuli".
Jika diamati dengan saksama dan memperhatikan keterangan yang menyertai unggahan "kucing' hingga akhir, sesungguhnya telah tercantum disclaimer pembuatnya. This is an AI-generated summary of the content and is not intended to provide factual context. Jelas konten dihasilkan menggunakan AI, alih-alih dimaksudkan untuk menggambarkan fakta.
Namun --ini pun berlaku untuk konten "Harimau" -- isi unggahannya demikian menggugah emosi. Sehingga dengan gulungan emosi yang membuncah, khalayak terdorong segera meneruskannya kepada sanak kerabat. Tanpa lebih dulu menelaah keterangan yang menyertai unggahan.
Realitas beredarnya unggahan-unggahan --yang mampu merebut perhatian, menggugah perasaan, bahkan mendorong diwujudkannya tindakan nyata- merupakan anak kandung pemanfaatan AI. Hari ini lahir tak terbendung, unggahan-unggahan yang diformulasi AI. Sayangnya sebagian terbukti palsu, bahkan menyesatkan.
Masih ingat peristiwa yang menimpa seorang mantan menteri bidang perekonomian di akhir Agustus lalu? Lantaran beberapa kata yang dianggap diucapkan Sang Menteri, rumahnya dijarah dan jadi luapan amarah massa. Belakangan terkonfirmasi, kata-kata yang dianggap meresahkan itu tak pernah diucapkannya.
Formulasi AI menciptakan keadaan tanpa acuan, yang berujung tindakan kekerasan. Ini mengerikan. Namun pada hari-hari berikutnya dapat dipastikan, kreasi yang memanfaatkan AI untuk menghasilkan unggahan media digital jadi realitas yang tak terhindarkan.
Keadaan membanjirnya unggahan yang memanfaatkan AI ini, juga tertangkap saat penentuan "2025 Word of The Year". Intitusi-intitusi yang dikenal sebagai penerjemah bahasa tingkat dunia, memilih kata tahunan yang paling merepresentasikan keadaan dunia.
Uniknya kata dipilih masing-masing institusi merepresentasikan relasi khalayak global dengan AI. Tampaknya, pilihan itu akibat penghayatan masing-masing institusi oleh banyaknya peredaran unggahan yang sangat mengandalkan AI.
Merriam-Webster misalnya, memilih "Slop" -yang artinya sampah-- sebagai kata tahun 2025. Slop kemudian dimaksudkan sebagai unggahan yang rendah kualitasnya. Merupakan produk yang dihasilkan dengan bantuan AI. Sedangkan Oxford University Press, menobatkan "Rage Bait". Kata ini mengacu pada unggahan yang dirancang untuk memancing kemarahan, demi menghasilkan klik.
Klik yang diberikan saat memperhatikan isi unggahan, makin diperoleh ketika AI digunakan untuk merekomendasikan temanya. Unggahan pemancing kemarahan, diproduksi berdasar peta algoritma pengguna media digital. Tak ketinggalan pula, Cambridge Dictionary memilih kata "Parasocial".
Kata ini mendeskripsikan perasaan banyak orang hari ini, yang terhubung dengan sesuatu yang tak dikenal. Sesuatu yang tak dikenal itu, termasuk AI. Adapun Collins Dictionary, menobatkan "Vibe Coding". Ini menggambarkan penggunaan bahasa alami, dalam menghasilkan kode AI. Tampak dari seluruh pilihan di atas, mengindikasikan dihayatinya AI sebagai unsur penting pada peradaban.
Adapun Slop yang ditetapkan Merriam-Webster, 2025, dasar pilihannya dijelaskan pada artikel website-nya, berjudul: "2025 Word of the Year: Slop, Plus 'Gerrymander', 'Touch Grass', 'Performative', and Other Words that Defined the Year". Disebutkannya: konten sampah di tahun 2025 makin membludak. Slop in, mencakup: video-video absurd, gambar iklan yang aneh, propaganda murahan, berita palsu yang tampak sangat nyata, buku-buku, maupun laporan-laporan kerja yang ditulis AI.
Seluruhnya adalah sampah yang membuang waktu. Selain itu, juga banyak unggahan yang mengetengahkan kucing-kucing yang bisa berbicara. Sikap terhadap Slop, sebagian menganggapnya menjengkelkan. Namun sebagian lainnya sangat suka.
Gejala yang menjadi anak kandung pemanfaatan AI ini, sebagiannya terdorong oleh euforia pemanfaatan yang didasari gaya hidup. Dengan mendemonstrasikankan kemahiran menggunakan AI, berarti mengumumkan diri yang tak ketinggalan dari perkembangan yang berlangsung.
Adapun sebagian lainnya, merupakan dorongan para pengembang AI. Para pengembang ini memancing penggunaan yang luas, lewat pemakaian gratis. Seluruhnya bertujuan membentuk pasar. Namun akibat kecenderungannya yang meningkat, kehadiran unggahan berjenis Slop menimbulkan kekhawatiran.
Khawatir oleh rendahnya kualitas informasi, maupun dihadirkannya realitas yang meyakinkan namun tak ada acuannya. Seluruhnya tergambar seperi ilustrasi, yang mengiringi Bencana Sumatra di atas.
Terhadap keadaan yang mengkhawatirkan akibat Slop, Morris, 2024, dalam "Low-Quality AI Content is Overwhelming the Internet: Are We Ready for What's Next?" mengkonfirmasi membanjirnya unggahan yang dihasilkan AI. Memang umumnya berkualitas rendah, namun mampu mengubur konten otentik yang berkualitas tinggi. Ini menghalangi ditemukannya informasi berharga, yang dibutuhkan pencarinya.
Media digital pada akhirnya berkembang jadi kolam yang makin keruh. Lantaran dipenuhi unggahan versi daur ulang, yang dihasilkan AI. Produsen menghasilkan unggahan dengan mengandalkan AI. Lalu unggahan itu didistribusikan kembali menggunakan media digital.
Dan pada suatu saat, unggahan itu akan menjadi unsur pembentuk unggahannya yang lain. Karenanya, kian lama unsur yang diperbarui semakin terbatas. AI hanya berisi kombinasi unggahan-unggahan sebelumnya. Perubahannya hanya mengikuti variasi prompt.
Kekhawatiran Moris di atas juga dikonfirmasi Adam Nemeroff, 2025. Lewat tulisannya yang berjudul "AI Slop is on the Rise - What does it Mean for How We Use the Internet?", Disebutkannya: banyak beredar di media digital, gambar yang tampak seperti perpaduan antara foto dan grafik yang dihasilkan komputer. Itu adalah unggahan berkualitas rendah hingga menengah, yang dihasilkan AI. Disebut berkualitas rendah hingga menengah, lantaran sering tak memperhatikan akurasi.
Pertimbangannya hanya cepat, mudah, dan murah. Tujuan produksinya, untuk disebarkan luas di media digital dengan mengandalkan formula the economic of attention. Keberadaannya menggantikan materi berkualitas lebih tinggi, yang tentu lebih bermanfaat. Keadaan ironi kia tergambar dalam uraian Nemeroff berikutnya.
Menurutnya, banyak orang mengirimkan konten AI yang asal-asalan. Namun hebatnya, mampu menarik dan mempertahankan perhatian penggunanya. Ini menyebabkan pengirim memperoleh keuntungan dari platform yang memonetisasi unggahan streaming maupun yang berbasis penayangan.
Tentu saja konten berkualitas rendah maupun menengah itu, mampu menarik perhatian. Lantaran mengandalkan pembacaan algoritma khalayak media digital, dengan disokong AI. Sehingga unggahannya sesuai dengan keinginan khalayak.
Tapi yang kemudian menjadi persoalan, khalayak yang makin mengalokasikan kehidupannya di media digital, akan diisi pikirannya dengan unggahan-unggahan yang tak berkualitas bahkan tak ada acuan realitanya. Bukankah itu sama artinya, mengganti isi pikiran dengan sampah? Inikah anak kandung perkembangan teknologi itu?
(miq/miq)





































:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5311828/original/002082300_1754896970-HOP_1.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5337590/original/033950300_1756917993-WhatsApp_Image_2025-09-03_at_23.42.17.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5341662/original/098956200_1757320693-downloadgram.org_542267009_18540863665047688_9096491130815971427_n.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5311886/original/082397400_1754898386-BATU_ALAM_KALIMANTAN_1_.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5353128/original/096377000_1758167792-photo-grid__95_.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5350528/original/058840100_1758002233-photo-grid__93_.jpg)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5352375/original/018166900_1758096944-WhatsApp_Image_2025-09-17_at_15.07.23.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5347495/original/050755300_1757673613-IMG_7380.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5351851/original/048738800_1758086062-IMG_7555_1_.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5351417/original/068951900_1758045608-BFA_51324_7384772__1_.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5326007/original/009538200_1756080537-New_hair_new_era_new_balance_jyakh__7_.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5344964/original/048860200_1757498043-SnapInsta.to_542925017_18507421732067559_5151871554777586503_n.jpg)