Sederat Ucapan Bersejarah Paus Fransiskus: "Siapa Saya Menghakimi"?

5 hours ago 5

Jakarta, CNBC Indonesia -Hari ini, kabar duka menyelimuti umat Katolik dan seluruh dunia. Paus Fransiskus, pemimpin Gereja Katolik yang dikenal dengan kelembutan dan kerendahan hatinya, telah berpulang dalam usia 88 tahun pada 07:35 pagi. Beliau wafat di kediamannya di Vatikan pada pagi hari yang tenang, meninggalkan jejak mendalam dalam hati umat manusia.

Paus Fransiskus bukan hanya pemimpin agama, beliau merupakan simbol pengharapan bagi mereka yang tersingkirkan, suara bagi mereka yang tak terdengar, dan cahaya bagi dunia yang kerap diliputi ketidakadilan. Dalam kesederhanaannya, beliau menolak kemewahan, lebih memilih hidup dekat dengan rakyat, menyapa mereka dengan senyum dan penuh kasih.

Selama masa pelayanannya, ia membawa angin segar dalam Gereja:

Menyerukan perdamaian, merangkul lintas iman, serta menyuarakan keadilan sosial dan perlindungan lingkungan. Dari lorong-lorong kumuh hingga panggung-panggung dunia, pesan beliau selalu sama yaitu yang berbunyi cinta, pengampunan, dan pengharapan seperti yang diajarkan Tuhan Yesus, bahwa satu-satunya hukum yaitu hukum cinta kasih

"Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu... dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.''(Matius 22:37-39)

"Tangis Lebih Baik dari Amarah"

Di antara begitu banyak pesan yang disampaikan Paus Fransiskus selama hidupnya, ada satu yang melekat begitu dalam di hati: "Tangis lebih baik dari amarah, karena air mata memurnikan hati."

Bukan sekadar kalimat indah, pesan ini adalah undangan untuk kembali menjadi manusia seutuhnya manusia yang tak malu menangis ketika terluka, yang memilih diam dalam duka daripada melampiaskan luka dengan kebencian.

Paus Fransiskus mengajarkan bahwa tangis bukan tanda kelemahan, melainkan tanda keberanian untuk mengakui sakit, kecewa, dan kehilangan. Karena dalam air mata yang jujur, ada pemurnian; jiwa dibersihkan dari amarah, dan hati disiapkan untuk mengampuni.

FILE - Pope Francis kisses a baby as he arrives for his weekly general audience, in St. Peter's Square, at the Vatican, Wednesday, Oct. 23, 2019. (AP Photo/Andrew Medichini, file)Foto: AP/Andrew Medichini
FILE - Pope Francis kisses a baby as he arrives for his weekly general audience, in St. Peter's Square, at the Vatican, Wednesday, Oct. 23, 2019. (AP Photo/Andrew Medichini, file)

Ia tidak meminta kita menjadi sempurna. Ia hanya mengajak agar ketika kita marah, kita memilih jalan kasih, bukan kemarahan yang membakar; kesedihan yang membawa pertobatan, bukan dendam yang menghancurkan.

Pesan ini bukan hanya untuk didengar, tapi untuk dihidupi, di saat-saat paling sunyi, ketika hati kita diuji oleh rasa sakit. Dan dari sanalah, benih damai itu mulai tumbuh.

"Belas Kasih: Wajah Sejati Cinta Tuhan"

Dalam setiap langkah hidup, Paus Fransiskus selalu mengingatkan bahwa belas kasih bukan sekadar perasaan, melainkan wajah sejati dari cinta Tuhan itu sendiri.

Ia mengajak kita untuk membuka hati bukan hanya kepada mereka yang mudah dicintai, tapi juga kepada yang jatuh, gagal, dan tersesat.

Baginya, Tuhan tidak pernah bosan mengampuni, hanya manusia yang sering lelah untuk kembali. Pesannya begitu sederhana: jadilah pribadi yang lebih memilih mengampuni daripada menghakimi, karena di sanalah kita meneladani kasih Allah yang tanpa syarat.

Dalam dunia yang cepat menghakimi dan lambat mengerti, Paus Fransiskus mengajarkan bahwa belas kasih adalah kekuatan yang paling lembut, tapi juga paling kuat.

Makna "Siapa Saya untuk Menghakimi" dalam Pandangan Paus Fransiskus

Dalam sebuah buku berjudul Nama Allah adalah Belas Kasih, Paus Fransiskus menyampaikan pemikirannya tentang kasih dan pengampunan ilahi.

Buku ini merupakan hasil wawancara mendalam antara beliau dan seorang jurnalis Italia, Andrea Tornielli, The Name of God is Mercy, yang dirilis pada 12 Januari, adalah wawancara panjang antara Paus Fransiskus dan jurnalis Italia Andrea Tornielli. Buku ini dimaksudkan untuk "mengungkapkan hati Fransiskus dan visinya," menurut kata pengantar Tornielli.

Ia ingin bertanya kepada Paus tentang belas kasih dan pengampunan, "untuk menganalisis apa arti kata-kata tersebut baginya, sebagai seorang manusia dan imam."dan bertujuan untuk memperlihatkan secara lebih personal bagaimana Paus memaknai peran Gereja dan Allah dalam kehidupan umat manusia.

Pope Francis waves as he arrives at Madya Stadium in Jakarta, Indonesia, Thursday, Sept. 5, 2024. (AP Photo/Tatan Syuflana)Foto: AP/Tatan Syuflana
Pope Francis waves as he arrives at Madya Stadium in Jakarta, Indonesia, Thursday, Sept. 5, 2024. (AP Photo/Tatan Syuflana)

Salah satu bagian yang menarik perhatian publik adalah penjelasan Paus mengenai pernyataannya yang sempat menjadi sorotan dunia: "Siapa saya untuk menghakimi?".

Ungkapan ini muncul ketika ia menanggapi pertanyaan tentang umat Katolik yang memiliki orientasi homoseksual, asalkan mereka sungguh-sungguh mencari Tuhan dan berupaya menjalani hidup dengan niat baik. Paus menegaskan bahwa pandangannya tersebut sejalan dengan ajaran Gereja Katolik, yang mengajarkan agar setiap orang dihargai martabatnya dan diperlakukan dengan kelembutan.

Menurut Paus Fransiskus, identitas seseorang tidak boleh didefinisikan hanya oleh kecenderungan seksualnya. Ia menekankan bahwa setiap manusia adalah ciptaan Tuhan yang dikasihi tanpa syarat. Maka dari itu, siapa pun yang ingin mendekat kepada Tuhan sebaiknya didampingi, bukan dijauhi. Paus pun menyatakan harapannya agar para imam membuka pintu belas kasih dan menerima siapa saja yang datang dengan hati tulus.

Lebih jauh lagi, Paus mengungkapkan bahwa zaman sekarang adalah saat yang tepat bagi Gereja untuk kembali memusatkan diri pada belas kasih. Ia menggambarkan Gereja sebagai tempat pemulihan, layaknya rumah sakit bagi jiwa-jiwa yang terluka. Baginya, belas kasih merupakan ciri utama dari Allah, dan menjadi jalan utama untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Melalui refleksi ini, Paus Fransiskus mengajak umat untuk rendah hati, mengakui kelemahan diri, dan tidak segan mencari pengampunan. Ia mengajak semua orang untuk membuka diri terhadap kasih Tuhan serta menyalurkan kasih tersebut kepada sesama.

Kini, dunia menangis, umat berduka. Tak hanya gereja, tapi juga orang-orang dari berbagai agama dan latar belakang yang pernah tersentuh oleh pesannya. Namun di balik air mata, ada rasa syukur mendalam karena pernah hadir seorang pemimpin yang begitu manusiawi, begitu tulus dan begitu hangat.

Selamat jalan, Bapa Suci. Terima kasih telah mengajarkan kami bahwa kekuatan terbesar bukanlah kekuasaan, melainkan kasih. Warisanmu akan terus hidup dalam hati mereka yang kau layani.

CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]

(mae/mae)

Read Entire Article
Photo View |