RI Siaga! Manufaktur Kena Pukulan Beruntun-Pengusaha Cemas Tarif Trump

12 hours ago 5

Jakarta, CNBC Indonesia - Aktivitas manufaktur Indonesia terkontraksi pada April 2025. Data Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis S&P Global hari ini, Jumat (2/5/2025) menunjukkan PMI manufaktur Indonesia ada di 46,7 atau mengalami kontraksi di April 2025.

Ini adalah kali pertama PMI mencatat kontraksi sejak November 2024 atau dalam lima bulan terakhir. Angka ini bahkan disebut sebagai kinerja terburuk sejak Agustus 2021, pada periode tersebut Indonesia tengah dihantam pandemi Covid-19 gelombang Delta.

Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri mengakui, industri manufaktur di dalam negeri menghadapi pukulan berat dari berbagai dampak ketidakpastian di pasar global maupun domestik. Mulai dari dampak perang tarif yang digulirkan oleh Amerika Serikat, juga efek serbuan dari produk impor.

"Kalau kita lihat, penurunannya sangat signifikan hingga 5,7 poin dibanding capaian PMI manufaktur kita pada bulan Maret lalu yang masih berada di tingkat ekspansif sebesar 52,4. Ini sekaligus menandakan bahwa optimisme atau kepercayaan diri dari para pelaku industri manufaktur di dalam negeri semakin menurun di tengah situasi uncertainty saat ini," kata Febri dalam keterangannya, Jumat (2/5/2025).

"Artinya dari hasil survei tersebut, ada tekanan psikologis pada persepsi pelaku usaha menghadapi perang tarif global dan banjir produk impor pada pasar domestik," tambhanya.

Menurut Febri, sejumlah pelaku industri manufaktur di Indonesia masih menunggu kepastian dari hasil negosiasi perwakilan Pemerintah Indonesia yang telah menemui pihak pemerintah Amerika Serikat. Sebab, dengan adanya kepastian hukum melalui kebijakan dari pemerintah, pelaku industri akan dapat percaya diri untuk menjalankan usahanya sehingga tidak dalam kondisi wait and see seperti saat ini.

"Pelaku industri kita bukan hanya saja khawatir karena adanya pemberlakuan tarif resiprokal oleh Presiden Trump, tetapi mereka lebih khawatir terhadap serangan produk-produk dari sejumlah negara yang terdampak tarif Trump tersebut, karena bisa menjadikan Indonesia sebagai pasar alternatif sehingga kita akan mendapat limpahan atau muntahan barang-barang impor itu," ucapnya.

Dari sisi struktur produksi, sekitar 20% produk industri nasional dialokasikan untuk pasar ekspor, sementara 80% lainnya diserap oleh pasar domestik yang mencakup belanja pemerintah, swasta, dan rumah tangga. Ini menunjukkan pentingnya pasar domestik harus dilindungi untuk kepentingan industri dalam negeri, yang sekaligus sebagai wujud nyata bentuk sikap nasionalisme.

Penurunan PMI manufaktur Indonesia paling dalam dibandingkan negara-negara di ASEAN misalnya, PMI manufaktur Filipina masih berada di fase ekspansif, karena kebijakan tarif Trump tidak terlalu memberatkan bagi mereka dibandingkan negara-negara lain. Selain itu, kebijakan perlindungan pasar dalam negeri di Filipina cukup afirmatif.

Berdasarkan laporan S&P Global, PMI manufaktur yang mengalami kontraksi pada April 2025, antara lain Thailand (49,5), Malaysia (48,6), Jepang (48,5), Jerman (48,0), Taiwan (47,8), Korea Selatan (47,5), Myanmar (45,4), dan Inggris (44,0). Meskipun PMI manufaktur China berada di fase ekspansi (50,4), masih mengalami perlambatan dibanding bulan sebelumnya.

Usamah Bhatti selaku Ekonom S&P Global Market Intelligence mengatakan, sektor industri manufaktur di Indonesia mencatatkan kondisi yang kurang baik memasuki triwulan kedua tahun 2025.

"Ini kontraksi pertama dalam lima bulan di tengah penurunan tajam pada penjualan dan output. Selain itu, penurunan tajam sejak Agustus 2021," ungkapnya.


(dce)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Tarif Resiprokal Ditunda, RI Siapkan Jurus Baru

Next Article Video: Januari 2025, Aktivitas Manufaktur RI Kembali Meningkat

Read Entire Article
Photo View |