Purbaya Mau Ubah Rp1.000 Jadi Rp1, Rupiah Sudah Kebanyakan Nol?

1 hour ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Rencana penerapan redenominasi atau penyederhanaan nominal rupiah kembali bergulir. Kali ini oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025.

Dalam PMK 70/2025, Purbaya menargetkan kerangka regulasi redenominasi melalui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) kelar pada 2026-2027.

Sebagaimana diketahui, RUU Redenominasi ini telah digulirkan pemerintah dan Bank Indonesia (BI) ke DPR sejak 2013 silam, namun tak kunjung terealisasi hingga saat ini.

"RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) merupakan RUU luncuran yang rencananya akan diselesaikan pada 2027," dikutip dari PMK 70/2025 yang ditetapkan Purbaya pada 10 Oktober 2025 dan diundangkan pada 3 November 2025.

Salah satu alasan Purbaya ingin merealisasikan kerangka aturan redenominasi ialah efisiensi perekonomian, sebagaimana terungkap dalam bagian urgensi di PMK 70/2025.

Dalam Indonesia Treasury Review 2017 tentang Desain Strategis dan Assessment Kesiapan Redenominasi di Indonesia, efisiensi ini terkait dengan menyederhanakan nominal mata uang agar lebih praktis dalam transaksi dan pembukuan akuntansi.

Dalam Jurnal Perbendaharaan, Keuangan Negara dan Kebijakan Publik itu, disebutkan digit yang banyak pada mata uang, merupakan masalah pada bisnis berskala besar, termasuk pada software akuntansi dan sistem IT perbankan yang mengalami kendala teknis untuk angka di atas 10 trilliun.

Permasalahan terkait digit atau banyaknya nol dalam mata uang rupiah ini bahkan sempat membuat seorang advokat bernama Zico Leonard Djagardo Simanjuntak mengajukan permohonan pengujian Pasal 5 ayat (1) huruf C Pasal 5 ayat (2) huruf c UU RI Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang kepada Mahkamah Konstitusi (MK) pada pada Mei 2025.

Saat itu, Zico menilai banyaknya angka nol dalam mata uang rupiah tidak efisien. Menurutnya, banyak negara-negara yang memangkas angka nol dalam mata uang menandakan betapa stabilnya perekonomian negara tersebut.

Ia pun menyinggung wacana redenominasi yang digulirkan oleh Darmin Nasution. Gubernur Bank Indonesia periode 2010-2013 kata Zico pada 2010 berencana untuk melakukan redenominasi mata uang rupiah karena sudah menjadi kebutuhan negara.

"Menurut Darmin, Indonesia perlu melakukan redenominasi untuk menghadapi tantangan ke depan berupa integrasi perekonomian regional," tulis Zico dalam permohonannya ke MK.

Masalah lainnya karena kebiasaan dalam menghitung denominasi yang besar tersebut berdampak pada meningkatnya rabun jauh. "Karena kelelahan visual dan ketegangan otot mata sebagai akibat angka nol yang banyak tersebut pada penglihatan," tulisnya.

Zico berulang kali menegaskan dengan angka nol yang begitu banyak, maka kerumitan dalam transaksi akan terjadi. Menurutnya bagi pelaku usaha, redenominasi dapat mempermudah transaksi keuangan sehingga mempercepat waktu operasional dan meminimalisir potensi kesalahan.

Selain itu, redenominasi akan mengurangi biaya penyesuaian perangkat keras dan lunak sistem akuntansi dan teknologi informasi.

Lebih lanjut, pecahan rupiah yang besar juga dinilai menimbulkan inefisiensi dalam perekonomian terkait dengan menimbulkan waktu dan biaya transaksi yang cukup besar. Pecahan uang yang terlalu besar ini akan menimbulkan ketidaknyamanan dalam melakukan transaksi.

Tidak hanya itu, Zico dalam laporannya juga memohon agar redenominasi mata uang rupiah dapat dilakukan dengan tujuan dalam upaya meningkatkan cara pandang publik terhadap rupiah secara nasional maupun internasional.

Sayangnya, langkah Zico Leonard Djagardo Simanjuntak yang meminta MK untuk menguji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang terhenti setelah hakim MK menolak seluruh permohonan uji materiilnya.

Namun, putusan MK ini tidak berarti redenominasi tidak bisa dilakukan, karena para hakim MK menganggap kebijakan redenominasi ini harus dilakukan oleh para pembentuk undang-undang seperti DPR, bukan berdasarkan permohonan Zico untuk memaknai norma UU itu.

Dikutip dari siaran pers BI tertanggal Agustus 2010, tercantum penjelasan bahwa redenominasi bukanlah sanering atau pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang.

Redenominasi hanya akan menyederhanakan penulisan nilai barang dan jasa yang diikuti pula penyederhanaan penulisan alat pembayaran atau uang. Selanjutnya, hal ini akan menyederhanakan sistem akuntansi dalam sistem pembayaran tanpa menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian.

Pada 2010, Bank Indonesia (BI) sebenarnya sudah pernah merencanakan lima tahapan pelaksanaan redenominasi rupiah. Pada tahap pertama, yaitu pada 2010, BI melakukan studi banding tentang redenominasi di beberapa negara.

Tahap kedua, tepatnya pada 2011-2012 merupakan masa sosialisasi. Tahap ketiga (2013-2015) merupakan masa transisi ketika ada dua kuotasi penyebutan nominal uang.

Kemudian pada tahap keempat atau tepatnya 2016-2018, BI akan memastikan uang lama yang belum dipotong jumlah nolnya akan benar-benar habis dengan batas penarikan pada 2018.

Pada tahun 2019-2020, merupakan tahap kelima sebagai tahap terakhir, keterangan baru dalam uang cetakan baru akan dihilangkan. Masyarakat siap melakukan pembayaran dengan uang yang telah diredenominasi.

Namun sayangnya rencana itu tak kunjung berjalan, karena RUU Redenominasi tak juga dibahas meskipun dari waktu ke waktu masuk ke dalam rencana strategis Kementerian Keuangan. Misalnya, saat era kepemimpinan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati rencana itu juga telah tercantum rencana strategis Kementerian Keuangan 2020-2024.

Padahal, dengan redenominasi, rupiah akan mengalami penyederhanaan nilai rupiah tanpa mengurangi nilai tukar atau daya belinya dilakukan dalam bentuk penggantian tiga angka nol.

Perubahan paling nyata terlihat adalah nilai nominal yang tertera di lembar uang kertas rupiah, sehingga nominal uang akan berganti dari Rp 100.000 menjadi Rp 100, Rp 50.000 menjadi Rp 50, Rp 20.000 menjadi Rp 20, Rp 10.000 menjadi Rp 10. Tak terkecuali uang dengan Rp2.000 dan Rp1.000 yang akan berubah menjadi Rp2 dan Rp1.

Dalam kajian awal soal redenominasi, eks Gubernur BI Darmin Nasution, mengungkapkan bahwa dengan penghapusan tiga nol atau redenominasi maka Indonesia juga akan kembali mengenal uang pecahan sen.

Jadi bisa jadi uang yang saat ini bernilai Rp 500, Rp200 atau Rp100 setelah redenominasi menjadi 5 sen, 2 sen, dan 1 sen.


(arj/haa)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Rencana Besar Purbaya: Ubah Rp1.000 jadi Rp1, Aturan Rampung 2026

Read Entire Article
Photo View |