Pengusaha Tekstil Minta Tarif 0% ke AS

2 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mendesak pemerintah agar lebih agresif memperjuangkan penurunan tarif ekspor ke Amerika Serikat (AS) untuk produk manufaktur padat karya, khususnya garmen dan tekstil. Permintaan ini disampaikan di tengah proses finalisasi perjanjian tarif resiprokal antara Indonesia dan AS.

API menyoroti informasi dari Kementerian Koordinator Perekonomian yang menyebutkan bahwa skema tarif 0% dalam perjanjian tersebut hanya akan diberlakukan untuk komoditas berbasis sumber daya alam tropis. Sementara itu, produk manufaktur seperti tekstil dan garmen masih akan dikenai tarif resiprokal sebesar 19%.

Ketua Umum API Jemmy Kartiwa menilai kondisi tersebut berpotensi menimbulkan ketimpangan perlakuan antar sektor, padahal industri padat karya memiliki peran besar dalam menyerap tenaga kerja dan menopang perekonomian nasional. API menilai, selama detail teknis perjanjian masih dibahas, pemerintah masih memiliki ruang untuk memperjuangkan kepentingan industri manufaktur.

"Pemerintah hadir untuk melindungi kepentingan masyarakatnya, termasuk keberlangsungan dunia usaha, karena didalamnya terdapat jutaan pekerja dan keluarga yang harus dilindungi. Maka, sebaiknya tidak hanya pada sektor komoditas agro saja, industri manufacture produk garmen dan tekstil juga perlu diupayakan agar mendapatkan tarif 0% atau lebih rendah daripada 19% yang saat ini masih menjadi tarif acuan," kata Jemmy dalam keterangannya, Senin (29/12/2025).

Ilustrasi karyawan Duniatex tengah bekerja di lini produksi tekstil. (Dok. Duniatex)Foto: Ilustrasi karyawan Duniatex tengah bekerja di lini produksi tekstil. (Dok. Duniatex)
Ilustrasi karyawan Duniatex tengah bekerja di lini produksi tekstil. (Dok. Duniatex)

Pasar AS memiliki arti strategis bagi industri tekstil dan garmen Indonesia. Sedangkan persaingan global di industri tekstil dan garmen sangat ketat. Saat ini, tarif impor AS untuk produk asal Indonesia berada di kisaran 19%, setara dengan Kamboja, Malaysia, dan Thailand. Vietnam dikenai tarif 20%, sementara Laos dan Myanmar mencapai 40 persen.

Meski secara nominal tarif Indonesia terlihat kompetitif, Jemmy menilai beban biaya produksi dalam negeri membuat posisi Indonesia belum sepenuhnya menguntungkan.

"Meskipun di atas kertas, tarif resiprokal yang diterapkan oleh Presiden Trump kepada Indonesia nampaknya lebih rendah, namun bila dikombinasikan dengan biaya-biaya lain termasuk biaya logistik, tarif gas, biaya kenaikan upah pekerja dan suku bunga kredit dari perbankan kita, maka Indonesia masih menghadapi indeks kemahalan yang lebih besar dibandingkan dengan negara negara pesaing tersebut. China dan India adalah contoh negara yang sangat kuat industri padat karyanya, karena salah satunya adalah kebijakan suku bunga kredit perbankan yang rendah," tuturnya.

Lebih lanjut, API mengungkapkan tengah mengupayakan skema kerja sama imbal balik dengan AS melalui peningkatan impor kapas asal Negeri Paman Sam.

"Pembahasan lanjutan mengenai tarif ekspor ke US itu sangat penting sebelum perjanjian ditandatangani, karena saat ini Indonesia melalui API sedang berproses mengupayakan kenaikan kapasitas impor US Cotton melalui skema kerja sama imbal balik. Kita impor lebih banyak US Cotton dari US dan untuk itu produk-produk garment dan tekstil berbahan baku US Cotton untuk eksport ke US diharapkan akan mendapatkan tarif 0%, atau lebih rendah dari 19%," kata Jemmy.

Menurut Jemmy, skema tersebut tidak hanya menguntungkan industri, tetapi juga berdampak positif bagi ekonomi nasional.

"Skema ini akan memberikan kemanfaatan lebih besar pada pertumbuhan ekonomi dalam negeri dan kenaikan pendapatan negara dari pajak, serta kemampuan untuk mempertahankan jutaan pekerja di sektor garmen dan tekstil," ujar Jemmy.

(fys/wur)
[Gambas:Video CNBC]

Read Entire Article
Photo View |