Mengubah Wajah "Dingin" RS Pemerintah, Mendorong Mutu Pelayanan

12 hours ago 4

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Penulis baru-baru ini diminta menjadi narasumber dalam kegiatan workshop penguatan hospitality bidang kesehatan yang diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Ini menjadi sebuah titik balik reflektif yang mendalam. Undangan tersebut bukan sekadar seremoni peningkatan kapasitas rutin, melainkan menjadi mata air awal bagi penulisan ini untuk membedah sebuah paradoks besar dalam sistem kesehatan nasional kita.

Di satu sisi, negara sedang gencar membangun infrastruktur medis yang megah dan mengadopsi teknologi digital mutakhir untuk efisiensi birokrasi. Namun di sisi lain, masih tersimpan persepsi yang sangat kuat di benak masyarakat bahwa layanan kesehatan pemerintah seringkali terasa "dingin" dan belum sepenuhnya berorientasi pada aspek hospitality atau keramahtamahan manusiawi.

Kita tidak bisa memungkiri stigma layanan publik yang kaku, lambat, dan kurang berempati masih menjadi bayang-bayang yang menghantui Puskesmas hingga Rumah Sakit Umum Pemerintah. Padahal, seiring dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, aspek komunikasi dan etika profesi telah diletakkan sebagai pilar fundamental dalam pemenuhan hak pasien.

Pasal-pasal dalam regulasi ini secara eksplisit menuntut tenaga kesehatan untuk memberikan pelayanan yang tidak hanya kompeten secara medis, tetapi juga menghormati martabat pasien. Transformasi kesehatan di institusi pemerintah tidak boleh berhenti pada digitalisasi rekam medis atau pembaruan alat medis; ia harus merambah hingga ke akar perilaku manusia yang memberikan layanan tersebut.

Sudah saatnya kita menegaskan bahwa komunikasi efektif dan kecerdasan komunikasi bukanlah sekadar keterampilan pelengkap, melainkan kompetensi teknis wajib yang menentukan kualitas pelayanan secara utuh di mata masyarakat.

Membedah Akar Masalah
Akar dari ketimpangan persepsi ini seringkali ditemukan pada perbedaan filosofi mendasar antara sektor swasta dan publik. Di rumah sakit swasta, hospitality telah lama diadopsi sebagai model bisnis utama di mana pasien diposisikan sebagai pelanggan yang kepuasannya menentukan keberlangsungan institusi. Sebaliknya, pada fasilitas kesehatan pemerintah, pasien adalah warga negara yang datang untuk mendapatkan hak layanan universal.

Dalam realitas institusi publik yang sering kali berbenturan dengan volume pasien yang masif, aspek kenyamanan interaksi sering kali terpinggirkan demi mengejar target jumlah pasien. Namun, besarnya beban kerja tersebut tidak boleh dijadikan pemakluman untuk menanggalkan kualitas interaksi. Transformasi layanan publik membutuhkan kesadaran kolektif bahwa keramahan merupakan bagian dari integritas profesional Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDMK).

Protokol Komunikasi dalam Ruang Medis
Untuk merombak persepsi masyarakat secara sistematis, strategi komunikasi harus difokuskan pada penguatan pengalaman pasien melalui metode AIDET (Acknowledge, Introduce, Duration, Explanation, Thank You). Metode yang dikembangkan oleh Studer Group ini merupakan jantung dari operasionalisasi hospitality yang bertujuan untuk memanusiakan setiap pertemuan antara petugas kesehatan dan pasien.

Kepercayaan pasien dibangun sejak detik pertama melalui tahapan Acknowledge dan Introduce. Dengan menyambut pasien menggunakan senyum tulus dan memperkenalkan peran secara jelas, petugas telah meruntuhkan dinding pembatas birokrasi yang selama ini dianggap kaku oleh masyarakat. Pendekatan ini selaras dengan konsep therapeutic communication yang menempatkan interaksi awal sebagai fondasi kesembuhan psikologis pasien.

Rasa cemas pasien kemudian dikelola melalui tahapan Duration dan Explanation. Dalam lingkungan institusi pemerintah yang padat, memberikan kepastian mengenai perkiraan waktu tunggu adalah bentuk penghormatan tertinggi terhadap hak pasien. Begitu pula dengan penjelasan transparan mengenai langkah medis yang akan diambil; hal ini mengubah posisi pasien dari sekadar objek tindakan menjadi subjek yang memahami proses penyembuhannya sendiri.

Rangkaian interaksi ini kemudian ditutup dengan apresiasi tulus melalui ucapan terima kasih (Thank You) yang menegaskan kemitraan antara penyedia layanan dan pasien. Melalui AIDET, pasien tidak lagi merasa sebagai angka dalam sistem birokrasi, melainkan sebagai individu yang dihormati martabatnya. Implementasi ini terbukti dalam berbagai studi global mampu menurunkan tingkat kecemasan pasien secara signifikan dan meningkatkan kepatuhan terhadap instruksi medis.

Kecerdasan Komunikasi: Melampaui Sekadar Kata-Kata
Di sinilah peran penting dari Kecerdasan Komunikasi, sebuah evolusi dari kecerdasan emosional yang diterapkan secara praktis di lapangan. Kecerdasan ini adalah kemampuan petugas untuk mempertahankan ketenangan diri di bawah tekanan volume kerja yang tinggi serta kemampuan untuk mempraktikkan empati secara nyata.

Empati dalam layanan kesehatan pemerintah bukan berarti ikut larut dalam kesedihan pasien, melainkan keterampilan untuk memvalidasi situasi sulit yang dialami pasien. Ketika seorang petugas mampu memvalidasi kecemasan pasien yang menunggu lama tanpa bersikap defensif, saat itulah konflik dapat diredam dan kepercayaan mulai terbangun. Kemampuan memvalidasi situasi ini merupakan langkah strategis untuk mencegah eskalasi ketegangan di ruang tunggu yang padat.

Selain itu, setiap tenaga kesehatan harus menyadari dampak luar biasa dari komunikasi non-verbal. Berdasarkan penelitian klasik Profesor Albert Mehrabian dari UCLA, ditemukan bahwa 93 persen dampak pesan berasal dari nada suara dan bahasa tubuh, sementara kata-kata hanya menyumbang 7 persen. Senyum tulus, kontak mata yang fokus, dan postur tubuh yang terbuka jauh lebih bermakna bagi pasien daripada rangkaian kata-kata medis yang canggih.

Seorang perawat yang menjelaskan prosedur dengan nada suara menenangkan akan memberikan rasa aman yang jauh lebih besar dibandingkan petugas yang berbicara dengan nada datar sambil terus terpaku pada layar komputer. Bahasa tubuh yang positif adalah pesan tanpa kata yang menyatakan bahwa institusi pemerintah benar-benar peduli terhadap kesembuhan warganya.

Mengubah Budaya, Mengembalikan Kepercayaan
Sebagai penutup, inisiatif pembekalan dan pemahaman mendalam mengenai komunikasi efektif yang sedang digulirkan oleh para pemegang kebijakan kesehatan merupakan sebuah investasi strategis yang sangat dinantikan. Upaya ini bukan sekadar pelatihan untuk memenuhi indikator kinerja utama, melainkan sebuah gerakan kultural untuk menanamkan budaya profesionalisme baru di seluruh institusi layanan kesehatan milik pemerintah.

Target akhirnya adalah menghapus stigma lama dan menggantinya dengan citra layanan publik yang responsif, hangat, dan berstandar global. Kualitas sistem kesehatan kita tidak akan pernah diukur hanya dari kemajuan teknologinya, melainkan dari kedalaman empati dan kejelasan interaksi di setiap tatap muka yang terjadi di ruang-ruang perawatan kita.

Berdasarkan analisis di atas, langkah strategis pertama yang harus diambil adalah standardisasi protokol AIDET di seluruh titik kontak layanan, mulai dari petugas keamanan hingga dokter spesialis. Institusi kesehatan pemerintah perlu memastikan bahwa setiap individu yang bersentuhan dengan pasien memiliki pemahaman yang sama tentang bagaimana menyapa, menjelaskan, dan menghargai waktu pasien.

Hal ini harus dibarengi dengan program pelatihan kecerdasan komunikasi berkelanjutan yang dilakukan secara rutin setiap tahun. Pelatihan ini penting bukan hanya untuk mengasah keterampilan verbal, tetapi juga untuk memperkuat ketahanan mental petugas dalam mengelola stres di tengah volume pasien yang tinggi, sehingga mereka tetap mampu menunjukkan empati yang konsisten.

Selanjutnya, aspek hospitality tidak boleh lagi dianggap sebagai nilai tambahan yang abstrak, melainkan harus diintegrasikan ke dalam sistem audit kualitas interaksi dan penilaian kinerja. Dengan memasukkan indikator kepuasan komunikasi ke dalam metrik evaluasi SDMK, institusi memberikan pesan tegas bahwa perilaku yang santun dan komunikatif memiliki bobot yang sama pentingnya dengan keberhasilan klinis.

Terakhir, keberhasilan transformasi ini sangat bergantung pada kepemimpinan sebagai teladan. Para pimpinan di setiap level institusi kesehatan pemerintah harus menjadi sosok terdepan yang mempraktikkan budaya 5S dan komunikasi empatik dalam kesehariannya.

Ketika perubahan budaya ini didorong dari pucuk pimpinan, institusi kesehatan pemerintah akan mampu berdiri tegak sebagai pilar kedaulatan kesehatan yang tidak hanya kuat secara teknis, tetapi juga hangat secara kemanusiaan.


(miq/miq)

Read Entire Article
Photo View |