Krisis Beras Guncang RI, Pemerintah Panik-Keluarkan Oplosan Tapi Gagal

12 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman mengungkap sekitar 80% beras program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) yang beredar di pasar adalah hasil oplosan.

"Beras SPHP itu 80% dioplos. Setelah diserahkan ke kios, tidak ada instrumen untuk mengontrol mereka, yang dipajang adalah 20%, sedangkan 80% dioplos, jadi beras premium," kata Amran dalam konferensi pers, Senin (30/6/2025).

"Beras SPHP dioplos jadi beras premium. Kalau 1,4 juta dikalikan 80% itu 1 juta ton, 1 juta ton dikalikan Rp 2.000 (per kg), jadi Rp 2 triliun kerugian negara. Itulah kerugian negara hingga Rp 2 triliun dalam satu tahun akibat kecurangan ini," tambah Amran. 

Polisi lantas memanggil 7 perusahaan produsen beras sebagai langkah penyelidikan. 

Menurut KBBI, oplosan berarti "hasil mengoplos; campuran; larutan". Jika mengacu pada arti tersebut, maka secara harfiah beras oplosan di Indonesia sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Bahkan, pemerintah pernah mengedarkan beras oplosan demi mengatasi ancaman 'kiamat' pangan seperti terjadi 57 tahun lalu.

Beras "Oplosan" Tekad

Hitung mundur ke tahun 1968. Saat itu, dunia dilanda kekeringan hebat yang menyebabkan stok pangan global, termasuk beras, menyusut drastis. Dampaknya membuat Indonesia, yang masih sangat bergantung pada impor beras, terguncang.

Menurut I Ketut Nehen dalam riset "Technology, Farmers' Organization and Rice Self-sufficiency in Indonesia" (1989), sejak 1965 volume impor beras Indonesia memang terus meningkat. Pada 1965, Indonesia mengimpor 140 ribu ton beras. Setahun kemudian naik menjadi 240 ribu ton, dan pada 1967 melonjak hingga 350 ribu ton.

Situasi ini membuat pemerintahan Soeharto yang masih seumur jagung kelabakan. Cadangan beras dalam negeri sangat terbatas, sementara peluang untuk mengimpor semakin kecil karena negara lain memilih menahan stoknya masing-masing.

Di sisi lain, ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras tak bisa ditawar. Jika tidak bertindak cepat, maka Indonesia terancam masuk ke jurang krisis beras. Dalam kondisi genting inilah, pemerintah memperkenalkan beras "Tekad".

"Tekad" merupakan singkatan dari tela (ubi jalar), kacang, dan djagung (ejaan lama). Sesuai namanya, "Tekad" bukanlah beras sungguhan, melainkan hasil olahan dari ketiga bahan tersebut. Ketiganya dioplos atau dicampur dengan ditumbuk, digiling, lalu dibentuk hingga menyerupai bulir beras.

Meski begitu, beras Tekad bukan inisiatif pemerintah. 

"Itu adalah inovasi dari Mantrust, Inc. Perusahaan dapat dana dari kredit pemerintah yang kemudian dipakai investasi sebesar Rp4,1 miliar ke pembangunan tiga pabrik di Jawa yang bisa memproduksi 300 ton beras Tekad per hari," ungkap I Ketut Nehen.

Menurut Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group (2016), Mantrust adalah perusahaan yang didirikan pada 1967 oleh Tan Kiong Lep alias Teguh Sutantyo dan bergerak sebagai pemasok kebutuhan tentara. 

Salah satu ekonom, Emil Salim, sempat dimintai pendapat oleh Soeharto dalam rapat terkait urgensi beras Tekad. Menurut Thee Kian Wee dalam Recollections: The Indonesian Economy, 1950s-1990s (2003), Emil secara pribadi menolak produksi beras Tekad.

"Saya pikir seluruh gagasan itu tidak masuk akal," ungkap Emil Salim.

Dia menilai produksi beras sejenis Tekad di berbagai negara tak pernah berhasil. Malah, hanya menguntungkan produsen dan penjual mesin giling saja. Meski begitu, Soeharto tetap melaksanakan ide tersebut.

Berakhir Gagal

Pabrik beras Tekad kemudian berdiri di Bandung dan Yogyakarta. Dalam laporan majalah Legislatif Jaya (edisi 1968), salah satu pabrik di Yogyakarta yang beroperasi sejak 6 September 1968 bisa memproduksi 1.200 kg beras Tekad. 

"Berarti dalam sehari, atau 8 jam kerja, produksi beras Tekad mencapai 9,6 ton," tulis majalah itu. 

Dalam pidato kenegaraan di hadapan anggota DPR/GR tanggal 16 Agustus 1968, Soeharto menegaskan posisi beras Tekad adalah sebagai pengganti beras pada umumnya. Kedudukannya setara dengan terigu dan bulgur atau biji-bijian dari gandum utuh yang lazim dikonsumsi di luar negeri.

Pemerintah juga tidak menutup keran impor beras.

"Target persediaan beras untuk 1968 dan kwartal I 1969 adalah lebih kurang 1,5 juta ton. Terdiri dari 600 ribu ton pembelian dalam negeri, 600 ribu ton impor, dan 300 ribu sisa persediaan tahun 1967," ungkap Soeharto.

Meski awalnya dirancang sebagai solusi menghadapi krisis pangan dan substitusi beras, realitas di lapangan berkata lain. Masyarakat kesulitan mengakses beras Tekad karena harganya terlampau mahal jika tanpa subsidi. Sementara itu, pemerintah tak mampu terus-menerus menanggung biaya subsidi.

Lambat laun, publik pun enggan menjadikan Tekad sebagai pengganti nasi. Alih-alih dimakan sebagai makanan pokok, sebagian masyarakat justru memanfaatkannya untuk membuat kue. Tak lama kemudian, beras oplosan Tekad perlahan menghilang dari pasaran.

Naskah ini merupakan bagian dari CNBC Insight, rubrik yang menyajikan ulasan sejarah untuk menjelaskan kondisi masa kini lewat relevansinya di masa lalu. Lewat kisah seperti ini, CNBC Insight juga menghadirkan nilai-nilai kehidupan dari masa lampau yang masih bisa dijadikan pelajaran di hari ini.

(mfa/mfa)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Kisah Ilmuwan Muslim RI Mengabdi ke Luar Negeri karena Pemerintah

Read Entire Article
Photo View |