Koperasi Merah Putih: Motor Ekonomi Baru atau Beban Baru untuk Desa?

3 hours ago 1

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Keberadaan koperasi pada era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memiliki "daya tarik" tersendiri, hal ini tergambar dari adanya program Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP) yang hadir sebagai implementasi dari Asta Cita Prabowo-Gibran keenam, yaitu membangun dari desa dan dari bawah untuk pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan.

KDMP memiliki sejumlah gerai, mulai dari Gerai Sembako, Apotek Desa, Kantor Koperasi, Unit Usaha Simpan Pinjam, Klinik Desa, Cold Storage/Cold Chain, hingga Logistik. KDMP memiliki tujuan yang mulia: meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, menciptakan lapangan kerja, memperpendek rantai pasok, menekan pergerakan tengkulak, dan tentunya: meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan ekonomi melalui koperasi.

KDMP bahkan diberikan kemudahan untuk melakukan pinjaman kepada bank dengan plafon pinjaman hingga Rp3 miliar. Harapannya dengan begitu perekonomian desa bisa bangkit karena usaha kopdes bisa berjalan lebih cepat dan mudah. Terbaru, Menteri Koperasi (Menkop) Ferry Juliantono telah mengumumkan bahwa Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) mulai mencairkan pinjaman kepada 1.000 unit KDMP dan 16.000 unit KDMP sudah mengajukan proposal.

Hingga tulisan ini dipublikasikan, melalui website merahputihkop.id (website resmi KDMP) diketahui sudah terdapat 81.500 desa/kelurahan yang telah membentuk Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih melalui Musyawarah Desa/Kelurahan Khusus. Dengan jumlah sebesar itu, timbul pertanyaan: bagaimana pemerintah sebagai pengendali utama program ini memastikan program berjalan dengan baik?

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (UU KOPERASI) menyebutkan bahwa Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.

Indonesia sendiri memiliki Bapak Koperasi Indonesia, yakni Mohammad Hatta (Bung Hatta) yang memandang Koperasi sebagai demokrasi ekonomi dan solusi untuk memperbaiki nasib ekonomi masyarakat melalui tolong-menolong dan bukan semata mencari laba.

Selama ini, pembentukan koperasi dilakukan secara sukarela dan terbuka, namun dalam hal program KDMP, pembentukan dilakukan secara top down. Mudahnya, pemerintahlah yang mendorong agar masyarakat yang membentuk koperasi dengan sederet janji manis.

Mulai dari adanya lapangan kerja baru hingga bisnis yang aman karena pinjaman yang dilindungi oleh pemerintah. Dengan begini, pemerintah perlu memastikan agar pelaksanaan KDMP di lapangan tidak berjalan kacau karena semuanya dimulai dari atas.

Dalam hal pemberian pinjaman kepada KDMP, pemerintah perlu melakukan mitigasi resiko yang matang terhadap adanya potensi gagal bayar kredit hingga adanya masalah dalam manajemen pengelolaan yang berujung pada korupsi. Ketika hal ini terjadi, maka alih-alih membangkitkan perekonomian desa seperti yang selama ini digaungkan oleh Presiden Prabowo Subianto, KDMP malah menjadi motor utama beban ekonomi desa.

Regulasi yang lebih up to date juga diperlukan, selama ini KDMP masih bernaung di bawah payung hukum Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025. Sudah saatnya dilakukan revisi Undang-Undang Koperasi agar dapat mendukung program KDMP secara lebih maksimal.

Pemerintah juga tidak boleh menutup mata terhadap fakta bahwa selama ini masih banyak pengelolaan koperasi yang kacau karena kurangnya perhatian terhadap koperasi dan potensi tumpang tindih antara KDMP dengan usaha yang sudah ada sebelumnya di desa/kelurahan setempat. Tanpa adanya SDM pengelola yang mumpuni dalam KDMP, maka jangan harap tujuan mulia dari adanya program ini akan tercapai dengan maksimal.

Sudah seharusnya KDMP menjadi sentra distribusi dari produk UMKM yang dimiliki oleh masyarakat, sehingga alih-alih menjadi pesaing dari usaha yang sudah lama berdiri sebelumnya, KDMP betul-betul menjadi akselerator, konsolidator dan agregator UMKM.

Adanya target lebih dari satu juta tenaga kerja hingga Desember 2025 yang muncul dari adanya program KDMP berupa setidaknya 240.000 pengelola koperasi, 400.000 pengurus koperasi, 240.000 pengawas koperasi, dan 560.000 tenaga kerja unit usaha.

Hal ini seperti pedang bermata dua. Di satu sisi KDMP akan menjadi obat dari penyakit pengangguran yang selama ini menggerogoti Indonesia selama beberapa dekade terakhir, namun timbul pertanyaan lanjutan: bagaimana apabila KDMP malah diisi oleh orang-orang yang hanya mencari gaji dari KDMP?

Lebih jauh, pemerintah perlu teliti dalam melakukan perekrutan karena apabila pengawas koperasi diisi oleh orang-orang nirkompeten, maka nasib KDMP sudah dapat diprediksi: kandas di tengah jalan.

Koperasi dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat, itu betul. Namun jangan lupa, Koperasi yang dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat hingga mencapai ekonomi yang mandiri adalah koperasi yang dikelola dengan benar. Kementerian Koperasi, Satuan Tugas Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) dan seluruh elemen di dalamnya perlu bekerja keras, tidak hanya sibuk mengglorifikasi pembentukan dan keberadaan KDMP.

Tanpa mengesampingkan berbagai potensi risiko yang muncul dari adanya program KDMP, penulis sangat memahami bahwa proses untuk mencapai penguatan ekonomi desa dan tujuan mulia dari program ini tidak bisa dilakukan secara instan dan tanpa hambatan.

Namun suatu program yang baik adalah program tidak hanya ramai di awal namun juga musti sukses secara pelaksanaan. KDMP tidak boleh berhenti hanya sebagai proyek mercusuar, ia harus benar-benar menjadi solusi bagi pemerataan ekonomi desa yang bangkit, berdaya dan berkelanjutan.


(miq/miq)

Read Entire Article
Photo View |