Kisah 'Orang Besar' di Cianjur Jadi Sorotan Hidup Bermewah-mewahan

4 hours ago 7
Naskah ini bagian dari CNBC Insight, menyajikan ulasan sejarah untuk menjelaskan kondisi masa kini lewat relevansinya di masa lalu.

Jakarta, CNBC Indonesia - Posisi Cianjur dalam lanskap politik Jawa Barat sejak lama sering kali menjadi sorotan, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Pada masa kolonial ratusan tahun silam, Cianjur bukan sekadar kabupaten biasa. Wilayah ini pernah menjadi ibu kota politik Karesidenan Priangan (Kini mencakup sebagian besar Jawa Barat) sejak 1815, sebelum kemudian pusat pemerintahan dipindahkan ke Bandung.

Penunjukan Cianjur sebagai pusat kekuasaan Priangan bukan tanpa alasan. Daerah ini dikenal sangat kaya dan menjadi salah satu pusat ekonomi terpenting di Jawa. Sejarawan Belanda Jan Breman dalam bukunya Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Perdagangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870 (2014) mencatat, pada masa tanam paksa (1830-1870), Cianjur merupakan penghasil kopi terbesar di wilayah Priangan. Tahun 1806, misalnya, Cianjur mampu memanen 1,5 juta kopi.

Kekayaan inilah yang perlahan mengangkat harkat dan pengaruh politik Bupati Cianjur pada masa itu. Menurut Sejarawan Nina Herlina Lubis dalam Kehidupan Kaum Menak Priangan, 1800-1942 (1998), bupati, termasuk Cianjur, merupakan orang terkaya di kabupaten sebab posisi politiknya juga kuat secara ekonomi. Dia mendapat uang dari gaji, pajak, dan aturan tak tertulis feodalisme.

Namun, peningkatan status tersebut justru melahirkan citra negatif. Sang bupati kerap disorot karena gaya hidup mewah. Padahal kemewahan itu ditopang langsung oleh melimpahnya sumber daya wilayah yang dipimpinnya.

Jan Breman mencatat, kemewahan Bupati Cianjur tampak mencolok dalam kehidupan sehari-hari. Dia disebut kerap berkeliling menggunakan kereta berlapis emas, layaknya bangsawan besar.

"Layaknya tuan besar konsumtif, mereka berbelanja barang mewah dengan harga tinggi. Di saat pulangnya mereka membawa candu, tembakau, dan katun, barang-barang yang akan dijual kepada kepala bawahannya," tulis Breman.

Gambaran serupa juga muncul dalam karya sastra legendaris Max Havelaar (1860) karya Multatuli. Dalam novel tersebut, Multatuli menceritakan secara langsung pengalaman mempersiapkan kedatangan Bupati Cianjur ke wilayah Lebak. Baginya, kunjungan ini justru dianggap merepotkan.

Sebab, menurut Multatuli, bupati datang dengan kereta mewah yang diiringi ratusan pengikut. Rombongan besar ini bukan hanya memamerkan kekuasaan, tetapi juga menimbulkan beban besar bagi daerah yang disinggahi.

"Ratusan orang itu yang semuanya harus ditampung dan diberi makan, begitu juga kuda-kudanya," tulis Multatuli.

Masalah utamanya, gaya hidup mewah tersebut berbanding terbalik dengan kehidupan rakyat Cianjur kala itu. Di saat sang bupati mempertontonkan kemegahan, sebagian besar rakyat justru hidup dalam kesengsaraan akibat sistem tanam paksa. Kerja paksa kopi yang menopang kekayaan daerah itu dijalankan dengan beban berat bagi petani, sementara keuntungannya mengalir ke kas kolonial dan dinikmati pula oleh elite lokal, termasuk Bupati Cianjur.

Menurut Sejarawan Nina Herlina Lubis dalam Kehidupan Kaum Menak Priangan, 1800-1942 (1998), hal ini bisa terjadi karena ada pandangan lama yang berada di pikiran para bupati bahwa wilayah kabupaten harus menjadi semacam panggung pertunjukan.

"Kabupaten adalah ibarat panggung pertunjukan dengan bupati sebagai pemeran utama yang harus berakting hebat," ungkap Nina. 

Namun, sikap demikian membuat para sosok bupati justru semakin menjauh dari rakyatnya dan menjadi omongan masyarakat luas. 

(mfa/mfa)

Read Entire Article
Photo View |