Kilas Balik Perang Dagang Periode 1 : Dana Asing Kabur Sampai Rp70 T

3 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Belajar dari perang dagang periode pertama yang terjadi sejak 2018 sampai akhir 2019 nyatanya telah membawa dana asing keluar dari pasar RI sampai puluhan triliun.

Dari aksi jual itu, sejumlah sektor juga mengalami dampaknya, tetapi sebagian bertahan dan memimpin penguatan.

Putar balik ke masa perang dagang periode pertama dimulai pada Maret 2018 ketika Trump mengumumkan tarif terhadap baja sebesar 25% dan aluminium sebesar 10%, terutama ke China.

Akibat itu, pada periode April - Juni 2018 terjadi aksi saling balas tarif antara Amerika Serikat (AS) dan China, meskipun aturan itu belum sepenuhnya berlaku pada waktu itu.

Barulah pada 6 Juli 2018, perang dagang antara dua negara besar itu resmi dimulai ketika AS memberlakukan tarif sebesar 25% terhadap barang-barang impor dari China senilai $34 miliar.

Sebagai balasan, China langsung mengenakan tarif yang sama terhadap barang-barang AS dengan nilai yang setara.

Tak berhenti di situ, balsan tarif juga semakin memanas pada September 2018 di mana AS menerapkan tarif tambahan terhadap US$ 200 miliar barang China.

Meskipun yang bersitegang lebih berat pada dua negara itu, tetapi efeknya cukup terasa di Indonesia.

Kami menghitung sejak Maret 2018 - Desember 2019 dana asing yang keluar dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencapai lebih dari Rp74 triliiun. Foreign outflow paling parah terjadi pada Juni 2018 nyaris Rp40 triliun.

Mayoritas sektor mengalami pukulan akibat perang dagang periode satu ini. Sektor Consumer Goods Industry (.JKCONS) mencatatkan kinerja terburuk dengan penurunan sebesar 27,54%, mencerminkan tekanan pada daya beli masyarakat dan meningkatnya biaya produksi akibat fluktuasi nilai tukar dan ketergantungan pada bahan baku impor. Sektor lainnya yang juga mengalami penurunan tajam adalah Miscellaneous Industry (.JKMISC) dan Mining (.JKMING), masing-masing turun sebesar 23,31% dan 23,23%, akibat tekanan harga komoditas dan ketidakpastian global.

Sektor Trade, Services and Investment (.JKTRAD) turun sebesar 19,08%, sedangkan sektor Agriculture (.JKAGRI) dan Property (.JKPROP) juga melemah masing-masing sebesar 15,17% dan 6,98%. Sektor Infrastruktur (.JKINFR), meskipun tetap negatif, menunjukkan ketahanan relatif dengan penurunan hanya sebesar 2,50%, kemungkinan karena masih berlanjutnya proyek-proyek strategis nasional.

Hanya ada dua sektor yang menguat, yaitu sektor Basic Industry and Chemicals (.JKBASIC) dengan kenaikan signifikan sebesar 26,37% dan sektor Finance (.JKFIN) yang tumbuh sebesar 14,31%. Pertumbuhan sektor bahan baku dan kimia kemungkinan besar didorong oleh peningkatan permintaan lokal serta peralihan dari impor ke produksi dalam negeri. Sementara itu, sektor keuangan menunjukkan ketahanan yang kuat, didorong oleh kondisi makroekonomi domestik yang relatif stabil dan pelonggaran kebijakan moneter.

Setelah eskalasi konflik selama kurang lebih hampir dua tahun, kedua negara akhirnya mencapai kesepakatan "fase satu" pada Januari 2020.

Presiden Trump dan Wakil Perdana Menteri Tiongkok, Liu He, menandatangani perjanjian tersebut pada 15 Januari 2020, yang mulai berlaku pada 14 Februari 2020.

Perjanjian ini mencakup komitmen Tiongkok untuk meningkatkan pembelian produk pertanian, barang manufaktur, dan jasa dari AS, serta memperkuat perlindungan hak kekayaan intelektual.

Namun, perjanjian ini tidak menyelesaikan semua isu utama dalam sengketa perdagangan antara kedua negara.

Meskipun perjanjian "fase satu" ditandatangani, perang dagang tidak sepenuhnya berakhir, karena banyak tarif tetap diberlakukan, dan ketegangan perdagangan berlanjut. Masa jabatan pertama Presiden Donald Trump berakhir pada 20 Januari 2021.

Perang dagang juga kembali berguilr di periode kepemimpinan Trump dan ternyata lebih parah, karena bukan hanya melibatkan China, tetapi menular sampai Meksiko, Kanada, dan lebih dari ratusan negara, termasuk Indonesia.

Meskipun saat ini masih dalam periode negosiasi selama 90 hari, tetapi efek perang dagang dan kenaikan tarif yang tidak pasti masih menjadi tantangan bagi pasar keuangan Tanah Air.

CNBC INDONESIA RESEARCH

Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

(tsn/tsn)

Read Entire Article
Photo View |