Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal: Solusi atau Masalah Baru Demokrasi?

7 hours ago 3

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 telah mengubah arah desain demokrasi elektoral Indonesia. Pemilu nasional yang meliputi pemilihan presiden, DPR, dan DPD akan tetap dilangsungkan serentak pada tahun 2029.

Namun, pemilihan kepala daerah (pilkada) dan anggota DPRD akan digeser paling singkat dua tahun atau paling lama 2,5 tahun kemudian setelah pemilu nasional (pada 2031). Artinya, untuk pertama kalinya sejak skema pemilu serentak diterapkan pada tahun 2019, rakyat Indonesia akan kembali memilih dalam dua gelombang besar.

Mahkamah mengabulkan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Perludem meminta MK untuk mencabut frasa "pemungutan suara dilaksanakan secara serentak" dalam Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum.

Dengan begitu, pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai "pemilu 5 kotak" tidak lagi berlaku untuk pemilu 2029 mendatang. Pertanyaannya, apakah pemisahan ini akan memperkuat kualitas demokrasi, atau justru menciptakan tantangan dan potensi masalah baru?

Demokrasi Nasional dan Lokal: Butuh Ruang Sendiri
Salah satu argumen yang paling menonjol dari para pendukung pemisahan ini dan dijadikan sebagai salah satu argumen oleh MK adalah soal fokus isu. Dalam pemilu serentak 2019 dan 2024, isu nasional menenggelamkan isu-isu lokal.

Dalam rentang waktu yang sempit tersebut, hakim menilai pelaksanaan pemilihan umum yang serentak menyebabkan masalah pembangunan daerah cenderung tenggelam di tengah isu nasional. Padahal, menurut Mahkamah, masalah pembangunan di setiap provinsi dan kabupaten/kota harus tetap menjadi fokus dan tidak boleh dibiarkan tenggelam.

Pemilihan kepala daerah dan legislatif lokal menjadi semacam "ekor" dari kontestasi presiden. Akibatnya, calon-calon yang berkualitas di tingkat lokal kerap kalah pamor dibanding mereka yang "numpang tenar" lewat dukungan capres atau partai besar.

Dengan pemisahan waktu, pilkada dan pemilihan DPRD dapat berdiri sendiri, memberikan ruang bagi masyarakat untuk menilai kualitas para kandidat lokal tanpa terdistraksi hiruk-pikuk politik nasional.

Ini bisa menjadi momentum untuk memperkuat otonomi daerah dan menghadirkan pemimpin-pemimpin lokal yang benar-benar lahir dari kehendak rakyat, bukan sekadar efek dari mesin politik nasional. Selain itu, putusan itu memungkinkan DPRD dan pemerintah daerah memiliki titik permulaan kerja yang sama.

Namun, di sisi lain, pemisahan ini juga berisiko menciptakan disorientasi kebijakan antara pusat dan daerah. Ketika kepala daerah dan legislatif lokal baru terpilih dua tahun setelah presiden dilantik, muncul kemungkinan disharmoni kebijakan, bahkan kontradiksi antara agenda pusat dan daerah. Alih-alih sinergi, yang terjadi bisa justru tarik-menarik kepentingan politik yang menghambat pembangunan.

Kekosongan dan Kepastian Hukum Pemerintahan Daerah
Salah satu problem paling krusial dari pemisahan pemilu ini adalah soal transisi kekuasaan lokal. Masa jabatan sebagian besar kepala daerah dan DPRD akan berakhir pada 2029. Namun, dengan pilkada dan pemilu DPRD baru dilangsungkan pada tahun 2031, maka akan terjadi kekosongan jabatan selama dua tahun.

Kekosongan ini kemungkinan besar akan diisi oleh penjabat (Pj) kepala daerah yang ditunjuk pemerintah pusat. Ini menimbulkan problem legitimasi dan stabilitas pemerintahan daerah. Pemerintahan yang dijalankan oleh Pj tidak memiliki mandat elektoral langsung dari rakyat dan cenderung bersifat administratif. Padahal, dua tahun adalah waktu yang terlalu lama untuk sebuah wilayah dipimpin oleh figur non-elektif.

Dalam konteks DPRD, ini bahkan lebih rumit karena lembaga legislatif tidak mengenal "penjabat". Sebagian kalangan menilai ada problem konstitusional dalam hal masa jabatan DPRD karena dalam UUD NRI 1945 Pasal 22 ayat (1) dijelaskan bahwa pemilu-untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan Wapres, dan DPRD-dilaksanakan lima tahun sekali. Tanpa solusi hukum yang jelas, akan muncul kekosongan legislasi dan pengawasan di tingkat daerah.

Keadaan ini menjadi paradoks dalam demokrasi: demi efektivitas pemilu, justru berisiko menciptakan kekosongan demokrasi dan legitimasi di tingkat lokal.

Partisipasi dan Efektivitas: Tidak Otomatis Lebih Baik
Secara logika, pemilu yang tidak terlalu padat seharusnya meningkatkan partisipasi pemilih karena pemilih punya waktu dan ruang berpikir lebih luas. Beban memilih tidak seberat pemilu serentak, yang membuat orang dihadapkan pada lima kertas suara dalam satu hari.

Tetapi realitasnya belum tentu demikian. Pemilu lokal kerap dianggap kurang menarik oleh sebagian masyarakat, terutama ketika tidak dibarengi pemilihan presiden. Risiko tingkat partisipasi menurun justru besar, terutama di daerah yang minim literasi politik dan cenderung apatis terhadap dinamika lokal. Dua pemilu besar dalam dua tahun beruntun juga bisa menciptakan kelelahan politik (political fatigue) yang memengaruhi legitimasi hasil pemilu.

Penyelenggara Pemilu dan Biaya Demokrasi
Di sisi teknis, argumen efisiensi penyelenggara memang kuat. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu tidak lagi menghadapi "beban maha berat" seperti dalam pemilu serentak. Potensi kematian petugas KPPS akibat kelelahan-seperti yang tragis terjadi pada 2019-bisa ditekan. Dari sisi ini KPU dan Bawaslu langsung menyambut baik putusan MK karena mereka merasakan langsung beratnya teknis penyelenggaraan pemilu serentak selama ini.

Namun, kita tak bisa menutup mata pada konsekuensi biaya. Demokrasi memang mahal, tetapi dua kali pemilu besar dalam dua waktu jelas menggandakan kebutuhan anggaran, logistik, hingga pengamanan. Di tengah keterbatasan fiskal dan kebutuhan pembangunan lainnya, ini bukan persoalan kecil. Apakah manfaat pemisahan sebanding dengan biaya tambahan yang harus ditanggung negara?

Pola Koalisi dan Efek Elektoral: Menata Ulang Strategi Politik
Pemisahan pemilu memaksa partai politik untuk berpikir ulang dalam menyusun strategi koalisi. Tidak ada lagi efek ekor jas (coattail effect) yang bisa diandalkan untuk mendongkrak suara caleg dan calon kepala daerah.

Di satu sisi, ini menyuburkan iklim kompetisi yang lebih sehat dan membuka ruang bagi figur lokal untuk bersinar tanpa harus bergantung pada tokoh nasional. Partai politik juga punya waktu cukup untuk menyeleksi dan menominasi calon kepala daerah dan wakilnya yang benar-benar berkualitas.

Namun di sisi lain, fragmentasi dukungan bisa menciptakan struktur kekuasaan yang tidak sinergis. Presiden dari partai tertentu bisa menghadapi oposisi besar di daerah jika kepala daerah atau DPRD berasal dari partai berbeda. Sebenarnya hal ini normal saja dalam kontestasi politik tapi ini menimbulkan tantangan baru dalam koordinasi dan implementasi kebijakan nasional.

Penutup: Membutuhkan Transisi yang Cermat
Pemisahan pemilu nasional dan lokal bukan ide buruk. Ia menawarkan solusi atas kelebihan beban teknis, dominasi isu nasional, dan potensi meningkatnya kualitas demokrasi lokal. Tapi ia bukan pula jawaban otomatis atas persoalan demokrasi kita. Pemisahan ini membutuhkan desain transisi yang cermat, sosialisasi yang masif, serta kesiapan logistik dan anggaran yang mumpuni.

Demokrasi bukan sekadar soal mekanisme pemilihan, tetapi tentang kualitas representasi dan efektivitas pemerintahan. Putusan MK ini membuka jalan baru, tapi hasil akhirnya akan sangat tergantung pada bagaimana kita mempersiapkan diri menjalani perubahan ini. Jangan sampai pemisahan waktu justru memisahkan harapan rakyat dari kualitas demokrasi yang mereka cita-citakan.


(miq/miq)

Read Entire Article
Photo View |