Kemandirian Energi Indonesia: Membaca Pesan Prabowo dari Panggung PBB

4 hours ago 4

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Pidato Presiden Prabowo Subianto pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-80 di New York, Amerika Serikat, 23 September 2025, menjadi salah satu momen diplomasi penting bagi Indonesia. Dalam forum global itu, ia bukan hanya berbicara soal perdamaian, kesetaraan, dan kerja sama internasional, melainkan juga menegaskan komitmen bangsa untuk menempuh jalan kemandirian energi.

Sebuah gagasan yang diulangnya dengan nada tegas: Indonesia tidak boleh lagi menjadi negara yang kaya sumber daya tetapi bergantung pada impor energi. Energi, dalam pandangan itu, bukan sekadar soal ekonomi, melainkan soal martabat dan kedaulatan.

Membaca pidato tersebut, saya melihat Presiden Prabowo sedang berusaha membangun narasi bahwa kemandirian energi bukan sekadar program teknis, melainkan sebuah visi strategis yang harus dipandang sama pentingnya dengan kemandirian pangan dan pertahanan. Di abad ke-21, negara yang tidak mandiri energi akan selalu berada dalam posisi rawan: mudah diguncang oleh fluktuasi harga global, terombang-ambing dalam dinamika geopolitik, dan rentan kehilangan daya saing industri.

Indonesia tahu benar rasanya. Meski memiliki cadangan batubara, gas, panas bumi, dan potensi surya melimpah, realitasnya negeri ini masih mengimpor BBM dalam jumlah besar. Subsidi energi kerap menjadi beban fiskal yang membatasi ruang gerak pembangunan. Krisis global, seperti perang Rusia-Ukraina atau ketegangan di Timur Tengah, langsung terasa pada harga energi di dalam negeri. Ironi ini yang hendak dipatahkan oleh visi kemandirian energi 2031.

Kemandirian energi yang disampaikan dalam forum PBB itu harus dibaca dalam dua dimensi. Pertama, dimensi realisme jangka pendek. Indonesia tidak bisa seketika meninggalkan energi fosil. Produksi migas domestik masih perlu ditingkatkan, kilang perlu diperkuat, dan cadangan strategis harus diamankan.

Batubara, meski sering dianggap energi kotor, masih menjadi penopang kebutuhan listrik. Hilirisasi menjadi kata kunci di sini: alih-alih mengekspor mentah, sumber daya harus diolah agar nilai tambahnya tetap di dalam negeri.

Kedua, dimensi idealisme jangka panjang. Presiden Prabowo tahu dunia sedang bergerak ke arah transisi energi bersih. Indonesia tidak boleh tertinggal.

Potensi energi terbarukan kita termasuk yang terbesar di dunia: tenaga surya yang bisa dipanen hampir sepanjang tahun, angin di wilayah timur, panas bumi di jalur cincin api, hingga potensi hidro di pedalaman Kalimantan dan Papua. Jika dikelola dengan benar, semua itu bukan hanya mencukupi kebutuhan domestik, tetapi juga bisa menjadikan Indonesia eksportir energi hijau.

Pidato itu, menurut saya, menghadirkan keseimbangan antara realisme dan idealisme. Realisme menjaga stabilitas hari ini, idealisme membangun fondasi masa depan. Kedua dimensi ini tidak bisa dipisahkan.

Jika hanya mengejar idealisme, kita berisiko terjebak pada ketergantungan baru, misalnya bergantung pada impor panel surya atau baterai dari Tiongkok. Jika hanya mengejar realisme, kita akan terjebak dalam pola lama: energi fosil, subsidi besar, dan ketergantungan pada impor BBM.

Namun jalan menuju kemandirian energi jelas tidak mudah. Ada beberapa tantangan besar yang perlu diurai. Pertama, soal subsidi energi. Selama ini subsidi BBM dan listrik memakan porsi besar APBN, sementara distribusinya tidak selalu tepat sasaran.

Reformasi subsidi sangat penting, dialihkan menjadi bantuan langsung bagi kelompok miskin dan insentif untuk investasi energi baru. Tapi kita tahu, reformasi subsidi adalah isu politik yang sensitif. Butuh keberanian untuk menjelaskan kepada publik bahwa pengalihan subsidi bukan sekadar penghematan, tetapi investasi untuk masa depan.

Kedua, soal teknologi dan infrastruktur. Indonesia masih sangat bergantung pada teknologi impor. Panel surya, turbin angin, baterai kendaraan listrik. Mayoritas dari komponen tersebut diproduksi di luar negeri. Jika tidak segera membangun industri dalam negeri, kemandirian energi akan menjadi ilusi. Investasi besar-besaran pada riset dan pengembangan, kerjasama alih teknologi, serta penguatan industri penopang menjadi agenda mendesak.

Ketiga, koordinasi antarlembaga. Kebijakan energi kerap tersandera ego sektoral. Kementerian ESDM, Bappenas, PLN, Pertamina, dan pemerintah daerah sering berjalan sendiri-sendiri. Tanpa sinkronisasi, izin bisa tumpang tindih, program berjalan lambat, dan investor kehilangan kepercayaan. Sebuah energy governance reform perlu digerakkan, memastikan ada koordinasi dan kepemimpinan tunggal yang memayungi semua program energi.

Keempat, pendanaan. Target transisi energi membutuhkan investasi ratusan miliar dolar hingga 2030. APBN jelas tidak cukup. Oleh karena itu, instrumen seperti green bond, sovereign wealth fund, maupun skema blended finance harus dimaksimalkan. Kehadiran Indonesia di forum global seperti PBB adalah kesempatan untuk mengetuk pintu pendanaan internasional, sekaligus menunjukkan keseriusan kita dalam menjalankan transisi energi.

Kelima, keterlibatan masyarakat. Kemandirian energi bukan hanya urusan elite politik atau teknokrat. Partisipasi publik sangat penting, baik sebagai konsumen yang lebih sadar energi maupun sebagai produsen melalui skema community-based energy.

Di banyak daerah, pembangkit listrik tenaga surya skala desa atau mikrohidro terbukti bisa memperkuat kemandirian lokal. Inisiatif semacam ini harus diperbesar, agar kemandirian energi tidak hanya berhenti pada level nasional, tetapi juga hadir di level komunitas.

Meski tantangan besar menanti, saya membaca pidato Presiden Prabowo di PBB dengan rasa optimis. Indonesia punya modal yang kuat: sumber daya melimpah, pasar energi domestik yang besar, serta posisi geopolitik yang strategis. Jika visi kemandirian energi dijalankan konsisten, Indonesia bukan hanya akan lepas dari ketergantungan impor, tetapi juga bisa menjadi pemimpin kawasan dalam energi hijau.

Bayangkan jika Indonesia berhasil mengembangkan baterai kendaraan listrik dengan memanfaatkan nikel, kobalt, dan bauksit. Bayangkan jika tenaga surya dari Nusa Tenggara bisa diekspor ke Singapura atau Australia melalui jaringan listrik lintas negara. Bayangkan jika biofuel dari kelapa sawit dan tebu bisa menggantikan impor avtur dan bensin. Semua itu bukan mimpi kosong, melainkan peluang nyata jika kebijakan publik berjalan konsisten.

Dari panggung PBB, pesan kemandirian energi juga memiliki dimensi diplomasi. Dunia saat ini membutuhkan pemimpin baru dalam transisi energi. Indonesia berkesempatan mengisi kekosongan itu, terutama di Asia Tenggara. Dengan memainkan peran aktif, Indonesia bisa memperkuat posisinya sebagai hub energi hijau regional, sekaligus meningkatkan daya tawar dalam politik global.

Bagi saya, pidato Presiden Prabowo di New York adalah ajakan untuk meningkatkan percaya diri. Sebuah pernyataan bahwa bangsa ini mampu berdiri di atas kaki sendiri dalam urusan energi. Bahwa kemandirian energi bukan hanya soal mengurangi impor, melainkan juga membangun masa depan yang lebih adil, berkelanjutan, dan bermartabat.

Namun pidato, seindah apa pun, tetaplah kata-kata. Tantangan sebenarnya adalah konsistensi dalam implementasi. Sejarah kita menunjukkan, banyak visi besar tersendat di tahap eksekusi. Karena itu, keberanian politik, kecerdasan teknokratik, dan partisipasi publik harus berjalan bersama. Tanpa itu semua, target swasembada 2031 hanya akan menjadi angka di atas kertas.

Saya memilih untuk optimis. Bukan optimisme buta, melainkan optimisme yang lahir dari keyakinan bahwa bangsa ini mampu belajar dari kesalahan, membenahi tata kelola, dan memanfaatkan momentum global.

Kemandirian energi adalah jalan panjang, penuh tanjakan terjal, tetapi justru di situlah nilai perjuangannya. Seperti yang diingatkan Presiden Prabowo di forum dunia: kedaulatan sejati lahir dari kemampuan bangsa untuk mengatur dirinya sendiri. Energi adalah salah satu ujian terbesar kedaulatan itu.

Jika Indonesia berhasil, dunia akan melihat sebuah bangsa yang kaya sumber daya dan memiliki kemampuan untuk mengelolanya dengan bijak untuk para generasi penerus. Sebuah bangsa yang tidak lagi sekadar penonton dalam panggung energi global, tetapi ikut menulis skenario besar transisi energi dunia. Dan hal-hal tersebut, bagi saya, adalah warisan yang jauh lebih berharga daripada sekadar angka pertumbuhan ekonomi.


(miq/miq)

Read Entire Article
Photo View |