Inersia dan Krisis Masa Depan

4 hours ago 1

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Pengantar Serial Matinya Ilmu Ekonomi: Di tengah dunia yang terus bergerak cepat namun terasa semakin kosong, kami mengajak anda untuk berhenti sejenak, untuk menoleh ke belakang, menatap ke dalam, dan melihat ke depan.

Serial Matinya Ilmu Ekonomi bukan sekadar kumpulan kritik. Ia adalah upaya jujur untuk memandang ilmu ekonomi dari sudut yang jarang diterangi: dari sisi yang tidak selalu efisien, tidak selalu rasional, tapi sepenuhnya manusiawi.

Di sini, kami ingin menyegarkan kembali ingatan kita akan mengapa ekonomi ada, bukan hanya sebagai alat hitung, tetapi sebagai cermin kegembiraan, pencapaian, penderitaan, ketimpangan, dan harapan zaman. Adapun episode ke-4 ini penulis beri judul: "Inersia dan Krisis Masa Depan". Semoga bermanfaat, Selamat Menikmati.

Kita hidup di zaman di mana waktu tak lagi berjalan, ia meluncur. Ia tidak meminta kita berpikir, ia hanya memaksa kita ikut. "Waktu dulu seperti langkah kaki tua yang pelan, penuh pertimbangan, kadang tertatih, tapi bermakna. Kini, waktu adalah sabuk konveyor yang tak bisa dihentikan. Kita tidak berjalan, kita dibawa."

Setiap krisis, kebijakan, dan harapan datang seperti gelombang yang tak bisa ditolak, dan tak sempat direnungi. Kita tidak lagi punya waktu untuk merasa. "Dulu, orang menunggu hasil panen, menabung demi rumah, membaca surat kabar sambil minum kopi".

Kini, kita refresh layar ponsel setiap tiga detik dan takut tertinggal dunia yang bahkan tak pernah menunggu kita. Inilah dunia yang kehilangan inersia. Dan dalam kehilangan itu, kita mungkin sedang menuju krisis paling sunyi.

Dalam dunia fisika, inersia melindungi benda dari perubahan mendadak. Konsep inersia, sebagaimana kita kenal hari ini, pertama kali disusun secara jernih oleh Isaac Newton dalam hukum geraknya yang pertama: "Sebuah benda akan terus diam atau bergerak lurus beraturan, kecuali ada gaya dari luar yang bekerja padanya."

Hukum itu terdengar sederhana, tapi ia adalah revolusi. Untuk pertama kalinya, dunia dijelaskan tanpa perlu malaikat yang mendorong planet, atau kehendak Tuhan yang menjaga langit. Yang diperlukan hanyalah hukum gerak dan massa yang diam tapi berat. Itulah Inersia. "Semenjak itu, Tuhan perlahan keluar dari persamaan, dan manusia mengambil alih peran sebagai penjelas dunia."

Sejak saat itu, mimpi manusia mulai bergeser. Kita tidak lagi ingin hidup dalam dunia yang ditahan. Kita ingin meluncur bebas. Kita ingin mengalahkan inersia. Dan secara bertahap, melalui mesin, teknologi, lalu lewat hal-hal subtil yang sophisticated seperti sistem keuangan, dan jaringan global kita berhasil.

Dalam hidup manusia, inersia adalah kemampuan untuk bertahan, tetap pada prinsip, tetap pada janji, tetap pada rumah. Ekonomi dulu dibangun di atas kesetiaan jangka panjang: tanah diwariskan, perusahaan dibangun seumur hidup,kebijakan publik dibuat dengan visi lintas generasi.

Kini semua itu dilepas semuanya menjadi bisa dijual, bisa disubstitusi, bisa diganti (Baca Serial Matinya Ilmu Ekonomi Episode 2: Ekonomi Tanpa Biaya Tetap). Dan ketika tak ada lagi yang bertahan, tak ada lagi yang menyangga dunia dari kejatuhan.

Kita kira modernisasi akan membuat dunia lebih kuat. Ternyata, yang terjadi adalah dunia yang cepat bereaksi, tapi tak bisa bertahan. Ketika inflasi naik 0,5%, pasar menggigil. Ketika suku bunga bergeser, rumah tangga ambruk. Ketika narasi buruk muncul, uang menghilang dalam sehari.

Kita menciptakan sistem yang begitu responsif, hingga kita tak sempat membangun ketangguhan. Dan ketika semua bergerak terlalu cepat, kita tak lagi punya waktu dan hela nafas untuk menyerap pukulan.

Teknologi menjanjikan efisiensi, tapi efisiensi itu membuat semua menjadi tipis: tipis margin, stok yang tipis hampir just in time, dan juga daya tahan yang tipis. Dulu, perusahaan menyimpan cadangan untuk berjaga. Sekarang, mereka menyewa semua: pekerja lepas, gudang lepas, bahkan loyalitas pun bisa lepas.

Ekonomi tanpa bobot ini memang ringan. Tapi ringan itu jugalah yang membuatnya mudah diterbangkan badai. Data statistik juga menunjukkan pekerja lepas di Indonesia juga meningkat tajam, dari 33,34 juta (Agustus 2020) naik ke 41,6 juta (2024 Sakernas): peningkatan besar dalam 4 tahun terakhir.

Ketika Dunia Masih Berat: Krisis Bernama Ledakan
Ketika kita masih punya Inersia, krisis berarti ledakan karena ketidakhati-hatian atau keteledoran lainnya. Kita ingat 1998, 2008, atau bahkan pandemi. Tapi dunia hari ini terlalu fleksibel untuk dihancurkan oleh satu kejutan. Krisis tidak lagi meledak. Ia menyusut, perlahan tapi pasti. Seperti air yang menguap dari kolam. Tanpa suara, tanpa perhatian.

Dalam ekonomi yang masih punya inersia, krisis datang seperti musim yang tak bisa dihindari. Ia lambat terbentuk, tapi berat dampaknya. Kita bisa mencium baunya dari jauh: harga komoditas bergejolak, produksi dan inventory mulai menumpuk, kredit mulai macet. Tapi karena sistem masih sarat bobot dari pabrik, dari utang jangka panjang, dan tenaga kerja tetap ia tak langsung ambruk.

Krisis butuh waktu untuk tumbuh, dan karenanya, juga memberi waktu bagi kita untuk mempersiapkan diri, membaca tanda, dan merespons dengan kebijakan. Dalam krisis 1998, bank runtuh bukan karena rumor semata, tapi karena pondasi sudah lapuk bertahun-tahun: utang jangka pendek dalam dolar, rezim nilai tukar yang rapuh, dan sektor riil yang terlalu bergantung pada utang. Tapi begitu ia jatuh, efeknya dahsyat karena struktur ekonomi saat itu masih "berat". Krisis menghancurkan banyak, tapi juga menciptakan ruang pembaruan.

Reformasi ekonomi, moneter, dan kelembagaan lahir dari reruntuhan. Ekonomi dengan inersia bisa roboh, tapi reruntuhannya bisa dipakai membangun kembali. Ada jeda, ada pemurnian, dan ada ingatan.

2008: Elegi Terakhir dari Dunia yang Punya Pondasi
Tahun 2008 bukan sekadar tahun kehancuran finansial. Ia adalah elegi, barangkali krisis besar terakhir dari dunia yang masih punya bobot. Dunia sebelum semuanya bisa dilikuidasi dalam satu klik. Dunia sebelum Bank sentral menjadi penyelamat permanen.

Krisis 2008 tidak muncul dari kehampaan. Ia dibangun dari struktur-struktur ekonomi yang kompleks tapi masih nyata: rumah yang dibeli dengan utang tetap, pekerjaan dengan kontrak permanen, bank yang masih memegang aset nyata di neraca, dan sistem regulasi yang dibentuk untuk dunia yang masih percaya pada keberadaan risiko nyata.

Ketika subprime mortgage mulai gagal bayar, itu bukan sekadar angka. Itu adalah ratusan ribu rumah, ribuan keluarga, dan institusi keuangan yang masih membawa beban jangka panjang.

Lehman Brothers tumbang bukan karena rumor, tapi karena ia tidak bisa lagi memalsukan mark-to-model asset yang membusuk di neraca yang sebenarnya berat. Karena dunia saat itu masih berat, jatuhnya pun bergemuruh.

Krisis Masa Depan: Habis Dikoyak Sepi
Kini, kita hidup dalam ekonomi tanpa bobot, semua bisa disewa, semua bisa dialihkan dan semua bisa dihentikan besok pagi. Tak ada proyek jangka panjang swasta, tak ada visi lintas generasi, tak ada komitmen permanen. Semua hal sudah diekspektasikan oleh model dan AI, jadi fokuslah hanya pada reaksi, apa gunanya kita punya pandangan?

Dalam dunia seperti ini, krisis tidak lagi datang seperti badai. Ia kemungkinan nanti datang seperti penguapan. Tanpa suara, tanpa tanggal yang pasti. "Ia datang seperti kulkas mati di tengah malam, tak berbunyi, tapi perlahan makanan membusuk."

Permintaan mulai melemah, tapi produksi bisa langsung disesuaikan. Tak ada kelebihan stok, karena semuanya disimpan di awan. Pekerja diberhentikan secara otomatis, minim pesangon, tak ada protes. Pasar merespons data mingguan, bukan fondasi tahunan. Dan saat semua terlihat masih bergerak, sesungguhnya tidak ada yang benar-benar bertumbuh.

Inilah krisis yang tidak terlihat. Kita tak bangkrut, tapi juga tak pernah hidup.Kita tidak ambruk, tapi tak pernah bangkit. Angka-angka sektor Keuangan dan korporasi akan terlihat daya tahan dan kekuatannya, karena semuanya sudah sangat ringan dan berhati-hati.

Dalam dunia tanpa inersia, krisis tak menciptakan reruntuhan, karena sejak awal tak ada yang berdiri cukup kokoh untuk roboh. Yang terjadi hanyalah pelapukan, pelan tapi terus-menerus. Kepercayaan yang surut, investasi yang tertunda, semangat yang padam, dan konsumsi yang stagnan.

Jika 1998 adalah gempa besar ekonomi dengan retakan geopolitik, dan 2008 adalah badai finansial dari dunia dengan fondasi lemah. Maka krisis selanjutnya, di era tanpa inersia, bisa datang tanpa suara. Kita tidak akan mendengar gedebuk pasar ambruk. Tapi kita akan mulai kehilangan gairah, kehilangan arah, kehilangan alasan untuk bangkit. Semuanya akan pelan-pelan "Habis Dikoyak Sepi".

"Pemerintah secara natural akan lebih cepat bicara insentif daripada bicara arah. Dunia usaha lebih cepat mencairkan cash daripada membangun masa depan. Dan kita semua, lebih nyaman scroll daripada menanam."

Ya Tuhan, maafkan aku, dengan dunia tanpa Inersia, siapa yang sanggup untuk menanggung ini semua? Inilah krisis era sekarang: bukan lagi momen dramatis, tapi proses diam-diam menuju kehampaan. Kita tidak sempat membangun kembali karena kita bahkan tak sadar sedang runtuh.

"Pasar modal mungkin tetap naik. Obligasi terus ditukar, portofolio disusun. Tapi di luar layar itu, seorang petani menatap sawahnya dan tak lagi tahu, musim apa yang datang. Ia pun tak lagi yakin, siapa yang akan membeli hasil panennya."

Inersia di masa lalu adalah bentuk komitmen, struktur, dan berat sistem yang menyakitkan saat jatuh. Di sisi lain, ia juga menjadi fondasi saat bangkit. Negara bisa menyusun ulang cetak biru pembangunan. Masyarakat bisa mendefinisikan ulang tujuan bersama. Kini, apa yang hendak dibangun kembali jika semua adalah sewa? Apa yang hendak dipertahankan jika semua bisa diganti?

*Doa Memohon Kembalinya Inersia*
Manusia selama ribuan tahun, sejak Newton sampai Steve Jobs sama-sama berfikir: bahwa dengan mengalahkan inersia, kita bisa lebih dekat pada Tuhan. "Ketika permukaan itu licin sempurna, kata Newton, benda akan terus bergerak, tanpa akhir, tanpa perlambatan. Seolah waktu tak lagi memberi batas. Seolah ia menuju ketidakhinggaan."

Tuhan, dalam banyak narasi Agama, tidak mengalami kelelahan. Ia tidak butuh waktu untuk bangkit, tidak butuh proses untuk pulih. Ia Maha Aktif, Maha Segera. Manusia pun tergoda untuk menjadi seperti itu. Akhirnya, inersia yang dulu menjaga kita dari kejatuhan, dianggap sebagai kelemahan. Kita ingin Dunia Tanpa Tunda, Hidup Tanpa Proses, Pasar Tanpa Hambatan, Kebijakan Tanpa Oposisi, Bahkan Cinta Tanpa Penantian.

Tapi justru di situ letak masalahnya. Karena inersia bukan musuh. Ia adalah bentuk perlindungan. Ia membuat benda tak mudah terlempar. Ia memberi tubuh kita kestabilan. membuat komitmen bisa bertahan dari godaan sesaat. Dan ketika kita berhasil menghapusnya, kita kehilangan semua penyangga. Dunia jadi begitu cepat, hingga tak ada yang bisa memeluknya. Bahkan kita sendiri.

Maka izinkanlah kami berdoa, "Tuhan, jika Engkau masih mendengar suara kami di balik notifikasi, ajari kami menunggu kembali. Ajari kami menerima rasa lambat, Ajari kami menunggu panen, Ajari kami mencintai sesuatu yang tidak bisa diburu. Agar kami tidak hanya selamat, tapi kembali menjadi manusia."


(miq/miq)

Read Entire Article
Photo View |