Hikmah dari Perayaan Lebaran 2025: Fitri dari Korupsi

6 hours ago 4

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Setelah berpuasa satu bulan lamanya, tibalah saatnya umat Islam di seluruh dunia merayakan hari yang ditunggu-tunggu, yaitu Idulfitri. Hari di mana datangnya kemenangan dan kembali ke fitrahnya semula (Ied al-Fitri), yaitu kesucian.

Sama seperti bayi yang baru dilahirkan, dalam keadaan bersih, suci dan tidak memiliki kesalahan sama sekali. Idulfitri dalam konteks sosiologis telah menjadi miliki bersama, masyarakat tak peduli agamanya apa, saling mengucapkan selamat dan memohon maaf lahir dan batin.

Kendati telah dirayakan per 31 Maret lalu, hari yang fitri tersebut hendaknya juga menjadi momentum untuk memperbaiki diri, berkomitmen untuk menjauh dari perbuatan koruptif, manipulatif dan diskriminatif dalam sebelas bulan ke depan.

Apalagi pada saat yang sama kondisi bangsa sedang dilanda perilaku korupsi yang sedang marak di semua tempat, baik di darat, udara dan laut. Kemudian terjadi di semua sektor, mulai dari perpajakan, BUMN, pertambangan, pendidikan hingga bantuan sosial (bansos). Sudah selayaknya di hari yang fitri seluruh pemimpin bangsa dan penyelenggara negara juga berkomitmen untuk fitri dari korupsi.

Korupsi Sudah Kronis
Praktik korupsi dalam beberapa tahun terakhir sudah sangat kronis yang sulit untuk diberantas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menyebutkan bahwa kronis adalah penyakit yang berjangkit secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama dan tidak sembuh-sembuh.

Begitulah gambaran korupsi hari ini, terjadi secara merata ke hampir ke seluruh negeri. Terakhir beberapa kasus korupsi BUMN terungkap pada bulan suci Ramadhan. Tidak tanggung-tanggung, nilainyapun sangat fantastis, mencapai ratusan triliun rupiah.

Berbagai pakar dan praktisi lembaga anti korupsi, juga mensinyalir hal yang sama. Sekarang menoleh ke mana saja terjadi korupsi, hutan, udara, koperasi, asuransi (Mahfud MD, 2023). Terjadinya pandemi korupsi, hampir di semua lini dengan melibatkan seluruh elemen pemerintahan pusat ke daerah; melibatkan penyelenggara negara eksekutif, yudikatif dan legislatif (Romli, 2020).

Senada dengan itu, tindak pidana korupsi itu bukan penyakit perorangan, tetapi lebih pada penyakit sistemik dan masif. Apa maknanya kalau di sini terjadi, di tempat lain terjadi, berarti penyakitnya itu penyakit pandemi (Ghufron, 2020).

Korupsi kemudian menjelma menjadi pandemi yang merebak di berbagai sektor kehidupan telah membuat masyarakat resah. Namun keresahan ini, untuk sementara waktu dapat teratasi dengan cara pemberian vaksin untuk meningkatkan pertahanan tubuh.

Hadirnya Ramadhan ibaratnya sebuah vaksin yang penuh dengan muatan dan substansi spiritual yang digunakan untuk membantu melawan hawa nafsu. Hal ini dilakukan agar sistem keimanan dalam diri manusia dapat melawan kungkungan syahwat yang menginfeksi tubuh manusia dengan mudah.

Pendidikan Ramadan dalam Menahan Hawa Nafsu
Puasa merupakan momentum bagi diri manusia untuk kembali kepada fitrahnya. Melepaskan diri manusia dari kungkungan materi yang melenakan dan melalaikan, untuk kemudian memberikan ruang yang lebih luas dan mendalam kepada diri manusia untuk menangkap dimensi spiritual yang lebih kuat dalam hubungannya dengan Allah SWT dan lingkungan sekitarnya. Inilah sesungguhnya jalan menuju derajat takwa yang terkandung dalam Al-Qur.'an.

Puasa sebagai perisai diri yang tangguh, merupakan sarana pendidikan yang efektif dalam membangun karakter, mengokohkan kemauan, penguatan disiplin, dan penanaman nilai-nilai kebaikan yang membebaskan seseorang dari sifat-sifat yang merusak dirinya melalui pengendalian nafsu. Perisai ini diharapkan akan mampu melindungi diri manusia dari kejahatan hawa nafsu, salah satunya korupsi.

Sesungguhnya korupsi telah menjadi musuh bersama yang sudah sangat akut. Berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU telah mengelompokkan korupsi ke dalam tujuh jenis utama. Ketujuh jenis tersebut adalah kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi.

Maka melalui pendidikan diri yang dilakukan selama bulan Ramadhan, diharapkan dapat melahirkan kesadaran diri manusia untuk bersikap jujur pada diri sendiri, patuh dan taat terhadap aturan agama dan regulasi negara, takut mengerjakan yang dilarang karena selalu merasa diawasi.

Puasa juga sebagai momentum untuk memperbaiki akhlak manusia yang merupakan cerminan akhlak suatu bangsa. Semakin tinggi tingkat korupsi suatu negara, menandakan ahklak dari bangsa tersebut sedang sakit. Oleh sebab itu, secara reflektif-filosofis, ibadah puasa bisa menjadi wahana pendidikan antikorupsi yang efektif.

Makna Idul Fitri dan Pembebasan dari Korupsi
Setelah digembleng selama satu bulan penuh dalam pendidikan Ramadhan kita telah sampai ke hari kemenangan yang fitri. Idulfitri dalam makna etimologisnya, berarti kembali ke fitrah. Sedangkan dalam makna teologisnya, serupa keadaan ketika manusia dilahirkan, yakni suci, bersih, tiada dosa, tak ada salah, tanpa cela.

Idulfitri sebagai kelahiran kembali manusia. Dalam makna hakikinya, Idulfitri menjadi milik orang-orang beriman yang menjalankan puasa dan ibadah lainnya. Merekalah sesungguhnya yang kembali ke fitrah, terlahirkan kembali. Oleh karenanya, sikap-sikap manusiapun selayaknya menunjukkan sikap-sikap yang suci, terutama terhadap sesama manusia (Nurcholis Madjid).

Dalam konteks inilah makna Idulfitri juga bisa diartikan sebagai terbebas dari perilaku korupsi yang sudah merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Merayakan Idulfitri seharusnya menjadi pernyataan sikap dan komitmen bagi setiap individu untuk tidak melakukan tindakan koruptif, manipulatif dan diskriminatif yang merupakan cikal bakal dari perilaku korupsi di masa yang akan datang.

Bukan malah sebaliknya Idulfitri dimaknai sebagai permulaan untuk kembali kepada perilaku lama. Jika hal ini disadari oleh masing-masing individu, maka hari raya Idulfitri akan menjadi babak baru bagi perbaikan kondisi bangsa.

Idulfitri merupakan momentum yang tepat bagi seluruh penggiat anti korupsi dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya, untuk bahu membahu memberikan pencerahan kepada seluruh unsur masyarakat, baik sebagai masyarakat biasa maupun sebagai pejabat publik.

Hal ini sekaligus membuktikan bahwa, jika ibadah puasa dijalankan atas dasar kesungguhan hati untuk menjawab panggilan Allah SWT, maka nilai-nilai religius yang terkandung di dalamnya, akan mampu memangkas perilaku korupsi yang sudah meresahkan tersebut.

Ramadhan harus menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk memperbaiki perilaku dan akhlak yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Puasa sebagai ibadah harus dipahami secara komprehensif, selain memiliki makna secara fisik dan batiniah juga memiliki makna sosial yang mendalam.

Puasa menanamkan nilai dalam relasi dengan Sang Khalik dan masyarakat secara luas, untuk melatih atau menanamkan perilaku atau sikap patuh dan taat dalam menjalankan perintah Allah SWT. Pada akhirnya, pada saat hari raya Idulfitri, untuk sementara waktu, bangsa kita bisa terbebas atau fitri dari korupsi.


(miq/miq)

Read Entire Article
Photo View |