Harga Tembaga Tembus Rp 173 Juta/Ton, Gara-Gara Indonesia?

3 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga tembaga atau copper kontrak 3 bulan di London Metal Exchange (LME) melambung hingga menembus level psikologisnya US$10.000/ton. Lonjakan harga disebabkan oleh gangguan pasokan di Indonesia.


Melansir dari data LME, pada penutupan perdagangan Rabu (24/9/2025), harga kontrak berjangka tembaga 3 bulan tercatat terbang hingga 3,63% ke US$10.336/ton atau sekitar Rp 173 juta (US$1=Rp 16.735) , sekaligus menjadikannya level tertinggi sejak Juli 2025.

Harga nikel di LMEFoto: LME
Harga nikel di LME


Bila dihitung per pon, merujuk Refinitiv, harga tembaga menembus US$4,82 per pon pada hari ini Kamis (25/9/2025) atau setara dengan US$10.629 per ton.

Dikutip Tadingeconomic, kenaikan harga melanjutkan reli sesi sebelumnya setelah Freeport-McMoRan menyatakan force majeure atas produksi dari tambang Grasberg di Indonesia, sumber tembaga terbesar kedua di dunia.

Keputusan ini diambil setelah kecelakaan pada 8 September yang menewaskan dua pekerja dan membuat lima orang hilang akibat aliran lumpur besar sekitar 800.000 ton metrik.

Freeport juga memangkas rencana penjualan kuartalan tembaga dan emasnya masing-masing sebesar 4% dan 6%. Gangguan ini menegaskan kerentanan pasar terhadap guncangan pasokan, diperburuk oleh penghentian operasi Hudbay Minerals di tambang Constancia, Peru, akibat protes.

Grasberg sendiri menyumbang 3,2% dari produksi tembaga tambang global, hampir 30% dari produksi tembaga Freeport, dan 70% dari produksi emasnya, menyoroti besarnya dampak. Jika pembatasan berlangsung lama, harga berpotensi terdorong lebih tinggi dan memberi tekanan tambahan pada smelter.

PT. Freeport Indonesia tengah menutup sementara operasional nya setelah insiden yang membuat sejumlah pekerja tambang terjebak di bawah tanah pada Senin (8/9/2025) malam WIT.

Menurut analis ANZ yang dikutip dari Reuters, jika gangguan ini berlangsung lama, pasar tembaga global berpotensi semakin ketat karena Grasberg merupakan salah satu tambang tembaga terbesar di dunia.


Goldman Sachs memperkirakan total kehilangan pasokan tembaga mencapai 525.000 ton imbas dari gangguan tersebut. Proyeksi pasokan tambang global pun dipangkas sebesar 160.000 ton pada paruh kedua 2025 dan 200.000 ton pada 2026.

Produksi Grasberg kini diperkirakan turun 250.000 hingga 260.000 ton pada 2025 dan berkurang 270.000 ton pada 2026. Freeport menilai produksi kuartal IV 2025 akan sangat rendah, lantaran area tambang yang tidak terdampak baru bisa kembali beroperasi pertengahan kuartal, dengan porsi sekitar 30%-40% dari kapasitas tahunan.

Sisa area tambang Grasberg diperkirakan baru dapat beroperasi kembali pada 2026. Goldman Sachs menegaskan, kehilangan produksi ini melampaui perkiraan normal gangguan pasokan global yang biasanya mereka perhitungkan.

Akibatnya, proyeksi pertumbuhan produksi tambang global 2025 dipangkas menjadi hanya naik 0,2% dibanding tahun sebelumnya, dari sebelumnya 0,8%. Sedangkan untuk 2026, proyeksi pertumbuhan diturunkan menjadi 1,9% dari semula 2,2%.

Gangguan di Grasberg juga mengubah proyeksi neraca tembaga global Goldman Sachs untuk 2025 dari surplus 105.000 ton menjadi defisit 55.500 ton. Sementara pada 2026, neraca pasokan tembaga diperkirakan masih mencatat surplus tipis.

Goldman Sachs juga melihat adanya risiko kenaikan harga dibandingkan proyeksi Desember 2025 di level US$ 9.700 per ton. Harga tembaga diperkirakan bisa berada di kisaran US$ 10.200 hingga US$ 10.500 per ton.

Bank tersebut tetap mempertahankan proyeksi jangka panjang harga tembaga sebesar US$ 10.750 per ton pada 2027. Proyeksi itu didasarkan pada tantangan industri seperti kedalaman tambang yang semakin dalam, kadar bijih yang menurun, kesulitan ekstraksi, serta gangguan di tambang lain seperti Kamoa-Kakula dan El Teniente.

(mae/mae)

Read Entire Article
Photo View |