Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi meminta sistem kenaikan upah minimum di Indonesia diubah. Sebab, kata dia, sistem pengupahan saat ini tidak adil, tidak memberikan apresiasi seharusnya yang diterima buruh.
Ristadi mengungkapkan telah menyampaikan hal itu saat menghadiri rapat dengan Komisi 9 DPR, Selasa (23/9/2025), membahas RUU Ketenagakerjaan.
Kata Ristadi, saat ini upah yang berlaku memicu disparitas dan kesenjangan yang dalam antara buruh di satu wilayah dengan wilayah lainnya. Padahal, imbuh dia, harga barang yang dibeli tidak jauh beda. Kondisi ini, disebutnya sebagai salah satu isu di balik kondisi daya beli pekerja.
Tidak adilnya sistem pengupahan di RI, ucap Ristadi, juga sebenarnya menimpa pengusaha atau pemilik perusahaan. Sebab, 2 perusahaan yang memproduksi barang yang sama, harus menanggung biaya tenaga kerja yang besarannya berbeda jauh. Yang kemudian akan berdampak pada harga barang dan kompetisi produk.
"Kesenjangan atau disparitas upah minimum antardaerah ini tidak hanya sekadar soal angka, tapi ini soal perbedaan daya beli pekerja antardaerah. Harga-harga produk yang sudah berstandar SNI, misalkan motor. Sebut saja motor merek A, harganya di Karawang nggak jauh beda dengan yang dijual di Yogyakarta (DIY/ Daerah Istimewa Yogyakarta). Tapi upah minimum pekerja di Karawan itu dua kali lipat upah minimum di Yogyakarta," kata Ristadi, dikutip Rabu (24/9/2025).
"Kalau perdebatannya adalah di Karawang angka kebutuhan hidupnya lebih tinggi, kita bisa cek dan survey bareng-bareng. Benarkah tingkat kebutuhan hidup layak di Yogyakarta itu jauh id bawah Karawang, bahkan sampai 2 kali lipat?," tukasnya.
Kesenjangan upah minimum itu, sambungnya, juga menjadi tidak adil jika membandingkan pekerja antara perusahaan di Karawang dan Yogyakarta, namun dengan produksi barang sama dan keahlian sama.
"Tentu tidak adil mengapresiasi kompetensi teman-teman yang bekerja di bidang sama, teman-teman di pabrik motor di Karawang atau Bekasi digaji Rp5 juta lebih, tapi di Yogyakarta setengahnya. Padahal, jam kerjanya sama. Kesenjangan upah yang mencolok ini tidak adil secara umum, untuk ikut menikmati hasil pertumbuhan ekonomi," kata Ristadi.
"Karena itu, kami dari KSP Nusantara ingin mengusulkan agar diberlakukan upah minimum sektoral secara nasional. Tapi, memang kalau dilakukan sekarang, tentu tidak mungkin, Karena ada perbedaan upah minimum yang begitu tinggi. Pengusaha tentu akan bilang ya sudah, dan mengambil base yang paling rendah, yaitu misalkan Yogyakarta. Nggak mungkin yang paling tinggi," tukasnya.
Ristadi lalu mengusulkan adanya masa transisi. Yaitu, periode tertentu sampai sistem kenaikan upah dengan mekanisme upah sektoral bisa diberlakukan secara nasional di Indonesia.
"Di masa transisi ini, kenaikan upah di wilayah-wilayah yang saat ini masih rendah, harus lebih tinggi dibandingkan daerah-daerah yang sudah tinggi. Misal, kenaikan upah di Yogyakarta 10%, di Karawang 5%. Sampai nanti pada satu titik, disparitas upah minimum antara wilayah-wilayah tidak lagi tinggi, semakin mendekati, syukur-syukur bisa sama," jelasnya.
"Pada waktu inilah akan dapat diberlakukan sistem upah sektoral. Otomotif sendiri, pertambangan sendiri, tekstil sendiri, dan sebagainya," sebutnya.
Ristadi mengakui sistem ini akan memicu gejolak dan gelombang protes, baik dari pengusaha maupun buruh sendiri.
"Pengusaha atau investor yang saat ini sudah masuk ke wilayah-wilayah yang upah buruhnya murah tentu akan keberatan. Begitu juga dari buruh-buruh yang saat ini upahnya sudah tinggi, upahnya sudah kepala 5 akan ada sentimen negatif. Tapi, perusahaan di daerah yang upah buruhnya sudah tinggi, dan buruh yang upahnya saat ini masih rendah, tentu akan mendukung," katanya.
"Jadi, jangan lagi kenaikan upah ditetapkan pukul rata, seperti kemarin langsung 6,5%. Kalau formulasi kenaikan upah dilakukan pukul rata seperti kemarin, maka kesenjangan upah akan semakin tinggi. Ini ketidakadilan bagi teman-teman dan juga tentu tidak akan sehat bagi persaingan perusahaan yang memproduksi barang yang sama," ucapnya.
Tak hanya itu, kata Ristadi, jika kenaikan upah dilakukan secara adil dan tidak pukul rata yang memicu semakin tingginya kesenjangan daya beli antara pekerja antardaerah, warga RI tidak akan berlomba-lomba meninggalkan daerahnya untuk bekerja di daerah-daerah yang upah buruhnya jauh lebih tinggi.
Sistem upah yang adil, sambungnya, juga akan memacu kenaikan produktivitas pekerja,
"Semakin rendah upah di suatu daerah, masyarakatnya akan berbondong-bondong mencari kerja ke daerah yang upahnya tinggi. Jadi, kalau ada argumentasi investasi terdistribusi ke daerah-daerah yang upah pekerjanya murah, juga tidak mudah mencari tenaga kerja di situ. Percaya deh. Dan, kalau pun ada, produktivitasnya rendah," tukas Ristadi.
Foto: Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi. (Dok. KSPN)
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi. (Dok. KSPN)
(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Buruh Minta Upah 2026 Naik 10,5%, Pengusaha Takut Bisnis Jadi Mati