Gara-Gara Mahar, Warga di Kota RI Ini Banyak Kumpul Kebo

13 hours ago 6
Daftar Isi

Jakarta, CNBC Indonesia - Fenomena "kumpul kebo" atau kohabitasi semakin marak di Indonesia, terutama di kota-kota besar seperti Manado, Sulawesi Utara.

Biaya mahar yang tinggi menjadi salah satu pemicu utama pasangan memilih hidup bersama tanpa menikah. 

Di Indonesia, studi tahun 2021 yang berjudul "The Untold Story of Cohabitation", mengungkap, kohabitasi lebih umum terjadi di wilayah Indonesia Timur, yang mayoritas penduduknya non-Muslim.

Kohabitasi adalah praktik tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan sah. Hasil pendataan Keluarga 2021 (PK21) menunjukkan, 0,6% warga Manado hidup dalam hubungan kohabitasi, dan 1,9% di antaranya bahkan tengah hamil saat survei dilakukan.

Sementara 24,3% berusia kurang dari 30 tahun, 83,7% berpendidikan SMA atau lebih rendah, 11,6% tidak bekerja, dan 53,5% lainnya bekerja secara informal.

Alasan Utama Memilih Kohabitasi

Penelitian Yulinda Nurul Aini dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam tulisannya dimuat The Conversation menyoroti tiga alasan utama mengapa pasangan memilih kohabitasi:

1. Beban Finansial

Banyak pasangan belum mampu menanggung biaya mahar yang nilainya bisa mencapai puluhan juta rupiah. Salah satu responden bahkan harus menunggu empat tahun untuk bisa mengumpulkan mahar sebesar Rp50 juta demi menikahi pasangannya.

2. Rumitnya Perceraian

Proses cerai dinilai mahal dan kompleks, mulai dari biaya pengacara hingga pembagian harta. Selain itu, ajaran agama di Manado seperti Kristen dan Katolik menganggap perceraian sebagai hal yang tabu.

3. Penerimaan Sosial

Lingkungan sosial di Manado cenderung lebih menerima praktik kohabitasi. Budaya lokal menilai relasi personal lebih penting ketimbang formalitas pernikahan, selama pasangan memiliki komitmen jangka panjang.

Perempuan dan Anak Paling Rawan

Sayangnya, kohabitasi memiliki konsekuensi serius, terutama bagi perempuan dan anak. Tidak adanya payung hukum membuat mereka tidak mendapat perlindungan finansial, hak waris, maupun kepastian hukum jika hubungan kandas. Data PK21 menunjukkan 69,1% pasangan kohabitasi mengalami konflik, dengan sebagian bahkan mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

Anak-anak dari hubungan ini juga rentan terhadap stigma sosial, gangguan emosi, dan identitas, yang bisa berdampak panjang pada perkembangan mereka.

Kohabitasi sendiri telah diakui secara hukum di negara-negara maju seperti Belanda dan Kanada.

Sementara, di Asia, kohabitasi tidak mendapatkan pengakuan legal karena pengaruh budaya, tradisi, dan agama.

Kohabitasi cenderung terjadi dalam periode singkat dan sering dianggap sebagai tahap awal menuju pernikahan karena tradisi keluarga yang mengharuskan pasangan menikah.

Di Jepang, contohnya, data dari National Fertility Survey menunjukkan bahwa sekitar 25% pasangan melakukan kohabitasi dengan rata-rata durasi sekitar 2 tahun, dan sekitar 58% dari total pasangan kohabitasi melanjutkan ke jenjang pernikahan.

Data tersebut juga mengungkap kelahiran anak di luar pernikahan hanya sekitar 2% atau terendah di antara negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang rata-ratanya sebesar 36,3%.


(dce)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Ahli Sebut Rahasia Pernikahan Langgeng Bukan "I Love You" Tapi Ini

Read Entire Article
Photo View |