Energi untuk Bangsa: Menyalakan Semangat Membangun Indonesia

5 hours ago 5

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Di tengah derasnya arus globalisasi dan perubahan dunia yang begitu cepat, Indonesia dihadapkan pada pertanyaan besar: bagaimana menjaga keberlangsungan bangsa tanpa kehilangan jati diri, arah dan nilai-nilai kebangsaan? Saat negara lain berlomba mencari sumber daya baru, kita justru dituntut untuk tidak hanya menjadi penambang, tetapi juga penjaga kehidupan. Menjaga agar energi tidak hanya menjadi bahan bakar, tetapi cahaya yang menerangi masa depan.

Energi bukan sekadar komoditas. Ia adalah urat nadi peradaban, penggerak ekonomi, penopang kesejahteraan, dan simbol kedaulatan. Bangsa yang kehilangan kendali atas energinya sejatinya kehilangan sebagian kendali atas nasibnya sendiri. Karena itu, membangun sistem energi yang adil, berkelanjutan, dan berdaulat bukan semata urusan ekonomi, melainkan amanah kebangsaan yang sangat mendasar.

Sering kali kita memaknai energi hanya sebagai listrik, migas, batu bara, panas bumi, atau energi baru terbarukan. Padahal energi memiliki makna yang lebih luas, bahkan spiritual. Ia adalah tenaga kehidupan, baik dalam tubuh manusia maupun dalam sistem sosial dan kenegaraan.

Ketika kita berbicara tentang transisi energi, sejatinya kita sedang berbicara tentang transisi kesadaran. Dari eksploitasi menuju keseimbangan, dari keserakahan menuju keadilan, dari dominasi menuju tanggung jawab.

Bangsa Indonesia lahir dari semangat untuk mandiri dan berdaulat. Kini semangat itu kembali diuji, bukan di medan perang fisik, melainkan di medan strategis: penguasaan energi dan teknologi. Kita tidak bisa selamanya bergantung pada sumber daya fosil, namun juga tidak bisa tergesa-gesa meninggalkannya tanpa kesiapan. Transisi energi bukan sekadar program pemerintah, tetapi gerakan kesadaran kolektif seluruh bangsa.

Di tengah krisis iklim dan kebutuhan ekonomi, energi menjadi ruang pertemuan antara kebutuhan dan keadilan. Di satu sisi, rakyat kecil membutuhkan listrik yang terjangkau dan bahan bakar yang mudah diakses. Di sisi lain, dunia menuntut kita menurunkan emisi karbon dan mempercepat penggunaan energi bersih. Tantangannya adalah bagaimana melangkah di antara keduanya tanpa mengorbankan yang satu demi yang lain.

Keadilan energi tidak boleh berhenti sebagai wacana. Ia harus diwujudkan dalam kebijakan yang berpihak kepada rakyat banyak. Sebab listrik yang menyala di kota besar tidak berarti banyak jika desa-desa di pelosok masih gelap.

Energi yang hanya menerangi sebagian rakyat sejatinya bukan energi bangsa, melainkan energi bisnis. Indonesia memiliki kekayaan energi yang luar biasa: panas bumi terbesar kedua di dunia, sinar matahari yang melimpah, angin yang bergerak sepanjang tahun, dan biomassa yang tersebar luas. Namun semua itu harus dikelola bukan dengan nafsu, melainkan dengan nurani.

Energi yang dikuasai tanpa kesadaran akan tanggung jawab hanya akan melahirkan ketimpangan baru: kaya sumber daya, tetapi miskin kesejahteraan. Karena itu, membangun kemandirian energi bukan sekadar soal investasi atau proyek, melainkan perjalanan spiritual bangsa.

Ini adalah proses belajar menundukkan ego kolektif agar bumi yang kita pijak tidak sekadar dieksploitasi, melainkan dijaga. Dalam bahasa rohani, inilah jihad modern: berperang melawan diri sendiri, melawan keinginan untuk mengambil tanpa batas dan membangun tanpa arah.

Transisi energi memerlukan kesabaran dan kejujuran. Kesabaran untuk menyiapkan fondasi yang kuat, dan kejujuran untuk mengakui bahwa selama ini kita terlalu lama bergantung pada kemudahan energi fosil tanpa menghitung biayanya bagi lingkungan. Melepas ketergantungan bukan berarti menolak kemajuan, tetapi menyambut masa depan dengan tanggung jawab moral.

Kita sering berbicara tentang energi bersih, tetapi kebersihan sejati tidak hanya diukur dari emisi karbon. Ia juga diukur dari niat dan cara. Jika pembangkit energi terbarukan dibangun dengan cara menindas masyarakat adat, atau tambang nikel untuk baterai membuka luka ekologis tanpa pemulihan, maka itu bukan energi bersih. Itu hanya wajah lama dengan topeng baru. Energi bersih harus lahir dari kesadaran yang bersih pula.

Dalam konteks NKRI, energi tidak boleh menjadi sumber perpecahan, melainkan perekat kesejahteraan. Sumber daya alam di Papua, Kalimantan, atau Sumatra bukan milik daerah semata, tetapi bagian dari tubuh Indonesia. Karena itu, pengelolaannya harus mencerminkan asas kebersamaan dan keadilan sosial seperti yang diamanatkan oleh konstitusi. Pembangunan di sektor energi harus menghidupkan semangat gotong royong, bukan menimbulkan jurang kesenjangan baru.

Program hilirisasi yang kini dijalankan pemerintah adalah langkah penting. Namun keberhasilannya tidak diukur hanya dari peningkatan ekspor atau investasi, melainkan dari sejauh mana manfaatnya dirasakan oleh masyarakat sekitar.

Pembangunan tanpa keadilan sosial hanyalah pertumbuhan tanpa ruh. Energi yang sejati adalah yang membangkitkan semangat kolektif: dari peneliti di laboratorium, petani di ladang biogas, nelayan di dermaga surya, hingga birokrat yang jujur menjaga tata kelola energi negara.

Generasi muda Indonesia tidak boleh menjadi penonton dalam babak baru transisi energi ini. Mereka harus menjadi pelaku, inovator, dan penjaga nilai. Keberlanjutan energi tidak akan terwujud tanpa keberlanjutan kesadaran.

Investasi terbesar bangsa bukan pada infrastruktur, tetapi pada integritas manusia yang mengelolanya. Kita membutuhkan ilmuwan yang beretika, insinyur yang menghormati bumi, dan pemimpin yang berani menegakkan keadilan energi. Hanya dengan itu, perjalanan energi bangsa akan menjadi perjalanan yang utuh antara akal dan hati, antara kebijakan dan kasih.

Pada akhirnya, perjuangan menjaga energi adalah perjuangan menjaga bangsa. Seperti api yang harus dijaga agar tetap menerangi tanpa membakar, energi harus dikelola dengan keseimbangan antara kebutuhan dan keberlanjutan, antara kemajuan dan kearifan. Karena sesungguhnya energi sejati bangsa ini tidak hanya berasal dari batu bara, minyak, atau matahari, tetapi dari semangat warganya yang tidak lelah mencintai negeri ini.

Kita boleh modern, tetapi jangan kehilangan nurani. Kita boleh maju, tetapi jangan melupakan nilai. Dalam perjalanan panjang NKRI, energi adalah bahan bakar pembangunan, tetapi cinta pada tanah air adalah tenaga yang menggerakkannya. Begitu pula dalam membangun bangsa, kita mungkin tidak selalu melihat hasilnya sekarang, tetapi setiap langkah jujur dan kebijakan yang adil adalah doa yang akan menyala bagi generasi berikutnya.

Mari kita jaga energi negeri ini bukan hanya untuk menyalakan lampu, tetapi untuk menyalakan harapan. Agar Indonesia tetap terang, adil, dan sejahtera bagi semua.


(miq/miq)

Read Entire Article
Photo View |