Ekonomi AS Kontraksi 0,3% di Q1 2025, Trump Tuduh Biden Biang Keroknya

5 hours ago 5

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Amerika Serikat Donald Trump menghadapi tantangan besar di awal masa kepemimpinannya. Menurut Reuters, saat menandai 100 hari pertama di Gedung Putih, data ekonomi justru menunjukkan perlambatan Produk Domestik Bruto (PDB) AS menyusut 0,3% pada kuartal I-2025, menjadi kontraksi pertama sejak awal 2022 .

Kontraksi ini terjadi setelah kuartal sebelumnya mencatat pertumbuhan sebesar 2,4%, dan jauh di bawah ekspektasi pasar yang memperkirakan ekonomi akan stagnan 0,0%. Trump pun berupaya meredam kekhawatiran dengan menyalahkan kebijakan era Biden dan menyebut lonjakan impor sebagai "distorsi" dalam hitungan PDB. Namun para ekonom punya pandangan lain.

Efek Domino Tarif Trump

Kontraksi ini ditengarai dipicu oleh lonjakan impor barang sebesar 41,3% secara tahunan, ketika pelaku usaha bergegas menimbun barang sebelum tarif baru Trump diberlakukan. Hal ini sekaligus menekan pertumbuhan karena impor dihitung sebagai pengurang dalam PDB.

Belanja konsumen komponen utama ekonomi AS juga melemah, hanya tumbuh 1,8%, laju paling lambat sejak kuartal II-2023. Belanja pemerintah federal juga turun tajam sebesar 5,1%, penurunan terdalam sejak kuartal I-2022.

Sebaliknya, investasi tetap melonjak 7,8%, terutama karena belanja bisnis yang dipicu oleh ekspektasi tarif lebih tinggi. Trump menyebut ini sebagai bukti keberhasilan kebijakan investasinya, sementara penasihat perdagangannya, Peter Navarro, bahkan menyebut angka negatif PDB ini sebagai "angka negatif terbaik" yang pernah ia lihat.

Namun, analis justru mewanti-wanti bahwa lonjakan investasi ini bersifat sementara dan bisa meredup bila tarif makin memberatkan bisnis.

Kondisi ekonomi yang memburuk tampaknya mulai memengaruhi opini publik. Survei Reuters/Ipsos yang dirilis Minggu (27/4) menunjukkan hanya 42% warga AS yang menyetujui kinerja Trump sebagai presiden, turun dari 47% saat pelantikannya pada 20 Januari. Sementara tingkat persetujuan terhadap kebijakan ekonominya hanya 36%, terendah sejak awal masa jabatan keduanya.

"Ini bukan ekonominya Joe Biden, Donald. Ini ekonomi milikmu. Ekonomi yang gagal," tegas Pemimpin Fraksi Demokrat di DPR AS, Hakeem Jeffries.

Kekhawatiran akan resesi pun mencuat. Joseph Brusuelas, Kepala Ekonom di RSM US LLP, memperingatkan bahwa perlambatan ini bukan disebabkan oleh siklus alami ekonomi, melainkan "kebijakan yang keliru."

Jika tarif tidak segera dicabut, menurutnya, "terlambat untuk menghindari resesi di pertengahan tahun."

Konteks Pasar, Harga Stabil, Tapi Tidak Cukup

Menteri Keuangan AS Scott Bessent mencoba memberi nada optimistis. Ia menyebut bahwa Trump telah membawa penurunan suku bunga KPR, harga pangan, dan energi. Data dari Biro Statistik Tenaga Kerja AS mencatat bahwa harga pangan naik sekitar 3% per tahun, sementara harga energi justru turun dengan laju yang sama. Namun, efek positif ini belum cukup untuk menutupi keresahan pasar.

Pasar saham pun goyah. Trump sempat menyalahkan Biden atas penurunan indeks, meski kemudian menyatakan tidak ingin mengambil "kredit atau dis-kredit" terhadap performa pasar.

Seratus hari pertama biasanya menjadi tolok ukur awal efektivitas kepemimpinan seorang presiden. Namun bagi Trump, 100 hari ini justru menjadi sinyal awal potensi guncangan ekonomi. Jika kebijakan tarif terus berlanjut tanpa strategi mitigasi yang tepat, bukan tidak mungkin AS benar-benar akan memasuki resesi paruh kedua tahun ini.

Data ekonomi kuartal mendatang akan menjadi ujian sejati, apakah ekonomi AS bisa bangkit, atau justru terjebak dalam spiral kebijakan yang memukul dirinya sendiri.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
Photo View |