Danantara Disebut Jadi Katalis Penting Proyek Waste to Energy

2 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat produksi sampah nasional mencapai sekitar 35 juta ton per tahun, dengan lebih dari 61% tidak terkelola. Hal ini membuat Indonesia tengah menghadapi krisis sampah yang semakin mengkhawatirkan.

Sebagian besar sampah berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) yang sudah melebihi kapasitas. Kebijakan menambah TPA baru dianggap tidak lagi memadai. Selain keterbatasan lahan, TPA juga menyumbang emisi gas metana setara 2-3% emisi nasional, menurut laporan IPCC.Pengamat sekaligus Praktisi Pengelolaan Sampah Bijaksana Junerosano, menegaskan bahwa TPA tidak lagi bisa menjadi solusi utama untuk jangka panjang."TPA tidak lagi bisa menjadi solusi utama karena keterbatasan lahan yang memenuhi persyaratan, risiko pencemaran lingkungan, dan dampak kesehatan yang signifikan. Di Indonesia, membuka lahan TPA baru selalu membuat konflik sosial dengan masyarakat," katanya dalam keterangan resmi, Jumat (26/9/2025).

lelaki yang akrab disapa Sano ini mengatakan, Waste-to-Energy (WtE) bisa menjadi jawaban untuk mengatasi persoalan pengelolaan sampah."WtE tidak hanya mengurangi emisi dengan mengolah sampah yang seharusnya menghasilkan metana di TPA, tetapi juga menghasilkan energi yang dapat digunakan untuk kebutuhan masyarakat, industri, dan lainnya. Ini mendukung transisi energi dari ketergantungan terhadap energi fosil menuju ke energi yang akan berkontribusi mengurangi jejak karbon," tuturnya.Sano menyebut Jerman, Jepang, dan Tiongkok merupakan negara yang bisa menjadi referensi dalam pengelolaan sampah. Jerman, misalnya, mengintegrasikan WtE dengan prinsip ekonomi sirkular, sementara Jepang menekankan transparansi dalam pemantauan emisi."Kontrol emisi yang baik adalah hal yang sangat penting dan tidak dapat dinegosiasikan dalam proses pengadaan WtE," tegasnya.

Sano mengingatkan, pemerintah pusat dalam menjalankan proyek waste-to-energy (WtE) perlu berkolaborasi dengan berbagai pihak, sehingga dapat berjalan efektif."Proyek WtE sebaiknya diorkestrasi oleh pemerintah pusat, karena sifatnya yang membutuhkan capital yang besar dan membutuhkan standarisasi teknologi yang baik untuk mencegah resiko pencemaran lingkungan," jelasnya.Menurutnya, tanpa kolaborasi, proyek WtE bisa menghadapi banyak kendala."Tanpa orkestrasi yang efektif, proyek ini bisa menghadapi risiko seperti ketidakstabilan pasokan sampah, emisi yang tidak terkontrol, keberlanjutan pembiayaan yang layak serta berkeadilan, dan lain-lain," katanya.Dalam hal ini, Sano menekankan pentingnya keberadaan Danantara sebagai lembaga yang memastikan tata kelola WtE lebih terarah."Belajar dari Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 mengenai WtE sebelumnya, tidak ada kejelasan pemimpin pelaksanaan WtE, sehingga swasta sebagai pihak yang bersedia berinvestasi harus bergerak sendiri dan berhadapan dengan tiga pihak untuk memastikan feasibilitynya," tuturnya."Dengan adanya Danantara dan didukung dengan Perpres WtE yang baru nantinya, kepemimpinan yang menyatukan semua pihak harapannya dapat terkoordinasi dengan lebih baik, sehingga proyek WtE di Indonesia dapat diwujudkan," sambungnya.Sano optimistis, jika WtE berjalan dengan syarat dan sesuai rencana, Indonesia dapat mencapai target RPJMN 2029 yaitu 100 persen sampah terkelola, sekaligus mendukung transisi energi menuju Net Zero Emission 2060."WtE merupakan sebuah teknologi yang lebih minim dampak pencemaran ke lingkungan, serta menghasilkan energi sebagai added value. Hal ini harapannya dapat meningkatkan kualitas lingkungan yang lebih baik di Indonesia serta mendorong diversifikasi energi menuju Net Zero Emission 2060," paparnya.


(dpu/dpu)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Video: Pesan Prabowo Untuk Danantara: Harus Bersih & Bebas Korupsi

Read Entire Article
Photo View |