Jakarta, CNBC Indonesia - Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo blak-blakan tentang efek kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menempatkan dana menganggur pemerintah ke perbankan senilai Rp 200 triliun.
Dana berbentuk Saldo Anggaran Lebih (SAL) yang tersimpan di Bank Indonesia itu langsung ditransfer ke lima bank milik negara sejak 12 September 2025.
Perry mengatakan, sesuai tujuan Purbaya, kebijakan penempatan dana ke PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI), Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN), dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI), dan PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BRIS) Itu langsung meningkatkan jumlah likuiditas perekonomian.
"Kebijakan moneter longgar dan penempatan dana SAL Pemerintah di perbankan mendorong kenaikan jumlah uang beredar," kata Perry saat konferensi pers hasil rapat dewan gubernur secara daring, dikutip Kamis (23/10/2025).
Perry menjelaskan, langkah Purbaya itu telah membuat pertumbuhan uang atau base money. Ia menunjukkan, data uang primer (M0) adjusted, yaitu uang primer yang telah memperhitungkan dampak penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) bank di Bank Indonesia karena pemberian kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) tercatat tumbuh 18,58% (yoy) pada September 2025.
Pertumbuhan 18,58% dibanding bulan yang sama pada tahun lalu itu juga masih lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan M0 (tanpa memperhitungkan dampak KLM) sebesar 13,16% (yoy).
"Dari faktor yang memengaruhi, kenaikan M0 Adjusted ini dipengaruhi oleh ekspansi keuangan pemerintah pada Tagihan Bersih kepada Pemerintah Pusat (Net Claims on Government-NCG)," ujar Perry.
Di sisi lain, pertumbuhan uang beredar dalam arti luas (M2) per Agustus 2025 juga ia sebut meningkat dari 5,46% (yoy) pada Januari 2025 menjadi 7,59% (yoy) karena adanya efek tambahan dari pelonggaran kebijakan moneter yang terus dilakukan BI sejak September 2024.
Dari sisi komponen, kenaikan pertumbuhan M2 dipengaruhi oleh pertumbuhan uang beredar dalam arti sempit (M1) dari 7,25% (yoy) pada Januari 2025 menjadi 10,51% (yoy) pada Agustus 2025, sejalan dengan pertumbuhan uang kartal dari 10,30% (yoy) pada Januari 2025 menjadi 13,41% (yoy) pada Agustus 2025.
"Dari sisi faktor yang memengaruhi, kenaikan M2 terutama berasal dari peningkatan Aktiva Luar Negeri Bersih (Net Foreign Asset-NFA). Ke depan, jumlah uang yang beredar diprakirakan meningkat sejalan dengan ekspansi kebijakan fiskal Pemerintah," ucap Perry.
Meski likuditas perekonomian melimpah, Perry menekankan, upaya perbankan dala menyalurkan kredit masih belum muncul sebagaimana harapan pemerintah. Suku bunga pinjaman atau kredit ia sebut masih belum mampu cepat turun, dan laju pertumbuhan kredit masih rendah.
"Bank Indonesia memandang penurunan suku bunga perbankan perlu terus didorong sejalan dengan pelonggaran kebijakan moneter yang telah ditempuh dan penempatan dana Saldo Anggaran Lebih (SAL) Pemerintah di perbankan," ucap Perry.
Seiring dengan penurunan BI-Rate sebesar 150 bps sejak September 2024 dan ekspansi likuiditas moneter Bank Indonesia, suku bunga di pasar uang sebetulnya sudah beriringan turun, seperti INDONIA turun sebesar 204 bps dari 6,03% pada awal 2025 menjadi 3,99% pada 21 Oktober 2025.
Lalu, suku bunga SRBI untuk tenor 6, 9, dan 12 bulan juga menurun masing-masing sebesar 251 bps, 254 bps, dan 257 bps sejak awal 2025 menjadi 4,65%; 4,67%; dan 4,70% pada 17 Oktober 2025. Imbal hasil SBN untuk tenor 2 tahun pun menurun sebesar 218 bps dari 6,96% pada awal 2025 menjadi 4,78% pada 21 Oktober 2025, sementara untuk tenor 10 tahun menurun sebesar 132 bps dari tingkat tertinggi 7,26% pada pertengahan Januari 2025 menjadi 5,94%.
Namun demikian, penurunan suku bunga perbankan masih berjalan lambat. Dibandingkan dengan penurunan BI-Rate sebesar 150 bps, suku bunga deposito 1 bulan hanya turun sebesar 29 bps dari 4,81% pada awal 2025 menjadi 4,52% pada September 2025, terutama dipengaruhi oleh pemberian special rate kepada deposan besar yang mencapai 26% dari total DPK bank.
Penurunan suku bunga kredit perbankan bahkan berjalan lebih lambat, yaitu sebesar 15 bps dari 9,20% pada awal 2025 menjadi sebesar 9,05% pada September 2025.
Karena bunga kredit yang cenderung masih tinggi, pertumbuhan kredit perbankan pada September 2025 masih tercatat 7,70% (yoy), meskipun sedikit meningkat dari 7,56% (yoy) pada Agustus 2025.
"Permintaan kredit belum kuat dipengaruhi oleh sikap pelaku usaha yang masih wait and see, optimalisasi pembiayaan internal oleh korporasi, dan suku bunga kredit yang masih relatif tinggi," tegas Perry.
Fasilitas pinjaman yang belum dicairkan (undisbursed loan) pada September 2025 juga Perry sebut masih cukup besar, yaitu mencapai Rp 2.374,8 triliun atau 22,54% dari plafon kredit yang tersedia, terutama pada segmen korporasi dengan kontribusi utama dari sektor Perdagangan, Industri, dan Pertambangan, serta dengan jenis kredit modal kerja.
Dari sisi penawaran, kapasitas pembiayaan bank sebetulnya masih memadai, ditopang oleh rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) sebesar 29,29% dan DPK yang tumbuh sebesar 11,18% (yoy) pada September 2025 seiring ekspansi keuangan Pemerintah termasuk penempatan dana Pemerintah pada beberapa bank besar serta kebijakan pelonggaran likuiditas dan insentif kebijakan makroprudensial Bank Indonesia.
Minat penyaluran kredit perbankan umumnya juga cukup baik sebagaimana tecermin pada persyaratan pemberian kredit (lending requirement) yang cukup longgar, kecuali pada segmen kredit konsumsi dan UMKM seiring dengan sikap kehati-hatian bank di tengah risiko kredit pada kedua segmen tersebut.
Perry mengatakan, pertumbuhan kredit modal kerja dan kredit konsumsi malah melambat menjadi masing-masing sebesar 3,37% (yoy) dan 7,42% (yoy), sedangkan pertumbuhan kredit investasi masih mampu meningkat menjadi 15,18% (yoy). Kredit UMKM dan pembiayaan syariah juga tumbuh melambat menjadi masing-masing sebesar 0,23% (yoy) dan 7,55% (yoy).
"Ke depan, Bank Indonesia akan terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dan KSSK untuk meningkatkan pertumbuhan kredit/pembiayaan perbankan serta memperbaiki struktur suku bunga," tutur Perry.
(arj/haa)
[Gambas:Video CNBC]