Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Sistem hukum kepailitan di Indonesia saat ini berada pada persimpangan yang krusial. Di satu sisi, sistem yang ada cenderung memprioritaskan kepentingan kreditur dengan mekanisme likuidasi aset debitur yang dianggap gagal memenuhi kewajibannya. Di sisi lain, debitur yang mengalami kesulitan finansial sering kali terjebak dalam situasi tanpa harapan, di mana mereka kehilangan segala aset dan kesempatan untuk bangkit kembali.
Ketidakseimbangan ini tidak hanya menimbulkan ketidakpastian hukum, tetapi juga berdampak negatif pada iklim investasi dan perekonomian secara keseluruhan. Dalam konteks inilah, penerapan asas debt forgiveness atau penghapusan utang menjadi sebuah solusi yang tidak hanya adil, tetapi juga mendesak.
Asas debt forgiveness bukan hanya sebatas pandangan teoritik dalam khazanah hukum kepailitan, melainkan sebuah konsep yang telah diadopsi oleh banyak negara maju dengan hasil yang positif. Di Amerika Serikat, misalnya, sistem Chapter 7 Bankruptcy memungkinkan individu yang mengalami kesulitan keuangan untuk memperoleh pembebasan utang setelah melalui proses hukum yang transparan.
Di Jerman, hukum kepailitan mengatur mekanisme penghapusan utang bagi debitur yang memenuhi persyaratan tertentu dan menunjukkan iktikad baik. Sementara di Inggris, Debt Relief Orders (DROs) memberikan kelonggaran bagi individu dengan aset dan pendapatan terbatas, ketentuan ini menjadi alternatif bagi debitur dengan aset terbatas untuk mendapat alternatif penyelesaian utang dengan disederhanakannya proses pailit dan dilakukan lebih murah.
Praktik-praktik ini menunjukkan bahwa debt forgiveness bukanlah konsep yang utopis, melainkan sebuah mekanisme alternatif guna memberikan kepastian hukum dalam proses kepailitan mengingat proses kepailitan di Indonesia hari ini yang cenderung mahal dan memakan waktu sehingga jauh dari tujuan hukum untuk memberikan kepastian hukum bagi semua pihak termasuk kepada debitur yang sudah tidak memiliki aset untuk menyelesaikan utang.
Penerapan debt forgiveness dalam hukum kepailitan Indonesia memiliki urgensi yang kuat, yaitu guna menciptakan keseimbangan antara kepentingan kreditur dan debitur, serta mewujudkan kepastian hukum dalam proses pemberesan harta pailit yang sudah berlarut-larut. Asas ini berakar pada prinsip keadilan dan kemanusiaan.
Dalam perspektif ini debitur yang gagal memenuhi kewajibannya tidak mesti karena iktikad buruk. Banyak di antara debitur yang terjebak dalam kesulitan finansial akibat faktor eksternal seperti krisis ekonomi, bencana alam, atau pandemi Covid-19. Dengan memberikan kesempatan kedua melalui penghapusan utang, hukum kepailitan dapat menjadi lebih manusiawi dan berkeadilan.
Penerapan debt forgiveness sejatinya bertujuan guna menciptakan kepastian hukum. Saat ini, kekosongan norma mengenai penghapusan utang menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian bagi kedua belah pihak, baik debitur maupun kreditur. Dengan adanya mekanisme yang terstruktur, debitur akan mengetahui syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh pembebasan utang, sementara kreditur akan memiliki kepastian mengenai batasan hak mereka dalam menagih utang.
Hal ini akan mengurangi potensi sengketa hukum dan meningkatkan kepercayaan terhadap sistem peradilan. Di sisi kurator, akan membantu dalam mempermudah proses pemberesan boedel pailit karena penghapusan utang kepada debitur beriktikad baik akan memangkas waktu pemberesan yang berbelit-belit.
Jika ditinjau dalam perspektif ekonomi, debt forgiveness dapat menjadi alat untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Likuidasi aset debitur yang bangkrut sering kali tidak memberikan nilai optimal bagi kreditur dan justru merugikan perekonomian secara keseluruhan.
Dengan memberikan kesempatan kepada debitur untuk memulihkan usahanya, potensi ekonomi yang terbuang akibat likuidasi dapat dihindari. Debitur yang bangkit kembali akan lebih produktif dan berkontribusi pada perekonomian nasional, sehingga menciptakan efek domino yang positif.
Namun, penerapan debt forgiveness tidak lepas dari tantangan. Salah satu risiko terbesar adalah penyalahgunaan sistem oleh debitur yang tidak beritikad baik. Untuk mencegah hal ini, diperlukan mekanisme seleksi yang ketat, seperti verifikasi kondisi keuangan debitur dan pembuktian itikad baik.
Selain itu, perlindungan hak kreditur juga harus menjadi prioritas. Misalnya, dengan menetapkan batasan jumlah utang yang dapat dihapuskan atau memberikan prioritas kepada kreditur tertentu. Tanpa pengaturan yang cermat, debt forgiveness justru dapat menimbulkan ketidakadilan baru.
Revisi terhadap Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang hari ini sudah masuk prolegnas di Badan Legislasi bisa menjadi langkah awal dalam membangun diskursus yang komprehensif mengenai penerapan asas debt forgiveness di dalam hukum kepailitan Indonesia.
Pengaturan asas debt forgiveness ke depannya harus mencakup mekanisme penghapusan utang, syarat-syarat yang harus dipenuhi debitur, serta peran pengadilan niaga dalam mengevaluasi permohonan debt forgiveness. Pengadilan niaga memegang peran kunci dalam proses ini, sehingga kapasitas hakim dan aparat pengadilan perlu ditingkatkan untuk memastikan evaluasi yang objektif dan transparan.
Salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan adalah prinsip iktikad baik. Debt forgiveness seharusnya hanya diberikan kepada debitur yang dapat membuktikan bahwa mereka telah berusaha secara maksimal untuk memenuhi kewajibannya, tetapi terhambat oleh faktor-faktor di luar kendali mereka.
Misalnya, seorang pengusaha kecil yang bangkrut akibat pandemi Covid-19 atau krisis ekonomi global seharusnya diberikan kesempatan untuk memulihkan usahanya melalui penghapusan utang, asalkan dapat menunjukkan bukti bahwa mereka telah berusaha sebaik mungkin untuk bertahan. Prinsip ini akan mencegah penyalahgunaan sistem oleh debitur yang sengaja menghindari tanggung jawab finansial.
Dengan menerapkan asas debt forgiveness, Indonesia dapat menciptakan sistem kepailitan yang lebih berimbang dan memberikan rasa keadilan bagi seluruh pihak dalam prosesnya. Kebijakan ini tidak hanya akan memberikan kepastian hukum, tetapi juga membuka peluang bagi debitur yang mengalami kesulitan finansial untuk bangkit kembali dan berkontribusi pada perekonomian nasional.
Dalam jangka panjang, debt forgiveness dapat menjadi solusi yang adil dan berdaya guna, asalkan diimplementasikan dengan regulasi yang tepat dan mekanisme pengawasan yang ketat. Dengan demikian, hukum kepailitan Indonesia tidak hanya menjadi alat untuk melindungi kepentingan kreditur, tetapi juga menjadi sarana untuk memulihkan kehidupan ekonomi debitur dan menciptakan stabilitas sosial yang lebih baik.
Penerapan asas debt forgiveness dalam hukum kepailitan Indonesia bukan hanya sekadar wacana, melainkan sebuah kebutuhan yang mendesak untuk menciptakan sistem yang lebih adil, manusiawi, dan berorientasi pada pemulihan ekonomi. Dalam konteks global, debt forgiveness telah terbukti menjadi instrumen yang efektif dalam menangani masalah kebangkrutan, terutama dalam situasi di mana debitur mengalami kesulitan finansial yang tidak terduga.
Namun, untuk dapat mengadopsi konsep ini secara efektif, Indonesia perlu mempertimbangkan beberapa aspek kunci, termasuk kerangka regulasi, mekanisme pengawasan, dan dampak sosial-ekonomi yang lebih luas.
Peran pengadilan niaga akan menjadi menjadi sangat krusial dalam implementasi debt forgiveness. Pengadilan niaga harus memiliki kapasitas dan kewenangan yang memadai untuk mengevaluasi setiap permohonan penghapusan utang secara objektif dan transparan.
Proses evaluasi ini harus mencakup pemeriksaan mendalam terhadap kondisi keuangan debitur, itikad baik, serta potensi pemulihan ekonomi. Dengan demikian, keputusan yang diambil tidak hanya adil bagi debitur, tetapi juga melindungi hak-hak kreditur.
Di sisi lain, perlindungan hak kreditur juga tidak boleh diabaikan. Meskipun debt forgiveness bertujuan untuk memberikan kesempatan kedua kepada debitur, kepentingan kreditur harus tetap dihormati. Misalnya, kreditur dapat diberikan prioritas dalam pembagian hasil likuidasi aset debitur sebelum penghapusan utang dilakukan.
Selain itu, batasan jumlah utang yang dapat dihapuskan juga perlu ditetapkan untuk memastikan bahwa kreditur tidak dirugikan secara tidak proporsional. Dengan demikian, keseimbangan antara kepentingan debitur dan kreditur dapat terjaga.
Dari perspektif ekonomi makro, penerapan debt forgiveness dapat memberikan dampak positif yang signifikan. Pertama, kebijakan ini dapat mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan yang sering kali menjadi dampak dari kebangkrutan. Dengan memberikan kesempatan kepada debitur untuk memulihkan usahanya, lapangan kerja dapat dipertahankan atau bahkan diciptakan kembali.
Kedua, debt forgiveness dapat meningkatkan iklim investasi dengan menciptakan sistem kepailitan yang lebih adil dan transparan. Investor, baik domestik maupun asing, akan merasa lebih aman untuk menanamkan modalnya di Indonesia karena adanya mekanisme yang jelas dalam menangani risiko kebangkrutan.
Namun, tantangan terbesar dalam penerapan debt forgiveness adalah perubahan paradigma dan budaya hukum di Indonesia. Selama ini, hukum kepailitan cenderung dipandang sebagai alat untuk menghukum debitur yang gagal memenuhi kewajibannya, bukan sebagai sarana untuk memulihkan kondisi ekonomi.
Oleh karena itu, sosialisasi dan edukasi mengenai manfaat debt forgiveness perlu dilakukan secara intensif kepada semua pemangku kepentingan, termasuk debitur, kreditur, aparat penegak hukum, dan masyarakat umum. Tanpa pemahaman yang memadai, kebijakan ini berisiko ditolak atau disalahgunakan.
Selain itu, harmonisasi dengan praktik internasional juga perlu menjadi pertimbangan. Indonesia dapat belajar dari pengalaman negara-negara yang telah sukses mengimplementasikan debt forgiveness, seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Inggris. Misalnya, sistem Chapter 7 Bankruptcy di Amerika Serikat menetapkan syarat-syarat yang ketat bagi debitur yang ingin memperoleh pembebasan utang, termasuk batasan jumlah aset dan pendapatan.
Sementara itu, Jerman mengatur mekanisme penghapusan utang yang melibatkan proses rehabilitasi ekonomi debitur selama jangka waktu tertentu. Dengan mengadopsi best practices dari negara-negara tersebut, Indonesia dapat menciptakan sistem debt forgiveness yang sesuai dengan konteks lokal.
Dalam jangka panjang, penerapan debt forgiveness dapat menjadi salah satu pilar penting dalam reformasi hukum kepailitan Indonesia. Kebijakan ini tidak hanya akan memberikan kepastian hukum, tetapi juga menciptakan sistem yang lebih manusiawi dan berorientasi pada pemulihan ekonomi. Dengan regulasi yang tepat dan mekanisme pengawasan yang ketat, debt forgiveness dapat menjadi solusi yang adil dan berdaya guna bagi semua pihak.
Penerapan asas debt forgiveness dalam hukum kepailitan Indonesia adalah sebuah langkah maju yang perlu segera diwujudkan. Dengan menyeimbangkan kepentingan debitur dan kreditur, serta menciptakan mekanisme yang transparan dan berkeadilan, kebijakan ini dapat menjadi solusi untuk mengatasi ketidakpastian hukum dan meningkatkan stabilitas ekonomi.
Namun, keberhasilan implementasinya sangat bergantung pada kesiapan regulasi, kapasitas institusi, dan dukungan dari semua pemangku kepentingan. Jika dilakukan dengan benar, debt forgiveness tidak hanya akan memulihkan kehidupan ekonomi debitur, tetapi juga memperkuat fondasi perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
(miq/miq)