Tak Seperti Malaysia, Negosiasi Tarif Trump RI Alot-Ada Masalah Apa?

4 hours ago 5

Jakarta, CNBC Indonesia - Negosiasi tarif impor yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump atas produk Indonesia masih belum menemui titik akhir. Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso mengakui proses perundingan berjalan alot dan lebih lambat dibandingkan sejumlah negara tetangga, seperti Malaysia dan Kamboja yang sudah lebih dulu mencapai kesepakatan.

"Amerika perundingan belum selesai. Minggu depan perundingan lagi. Nah Malaysia sudah selesai, Kamboja sudah selesai. Tapi kemarin saya benar-benar berbicara dengan Menteri Perdagangan Malaysia, pak Zafrul (Mendag Malaysia Tengku Datuk Seri Utama Zafrul Bin Tengku Abdul Aziz), kita (Indonesia) memang cukup alot. Makanya kita tidak secepat Malaysia. Mudah-mudahan kita (dapat tarif) yang lebih baik," kata Budi di Hutan Kota by Plataran, Jakarta, Selasa (4/11/2025).

Menurutnya, pemerintah Indonesia tidak ingin terburu-buru menandatangani kesepakatan tanpa memastikan posisi tawar yang menguntungkan. Salah satu pembahasan utama adalah usulan tarif nol persen untuk sejumlah komoditas unggulan Indonesia yang tidak diproduksi di AS, seperti kelapa sawit, kakao, dan karet.

"Ya itu kan (tarif 0%) sampai sekarang juga belum dijawab. Namanya berunding juga harus bargaining (tawar-menawar), posisi kita juga harus kuat gitu ya," ujarnya.

Budi menyebut posisi negosiasi Indonesia cukup sensitif, karena nilai ekspor ke AS sangat besar. Indonesia juga berupaya mempertahankan pasar ekspor tersebut agar tidak tergerus akibat adanya kebijakan tarif yang ditetapkan Trump.

"Kita itu pangsa ekspor ke Amerika cukup besar. Jangan sampai ini hilang. Kita mendapatkan tarif 19%. Kalau sekarang belum implementasi sudah naik, harapan kami ketika nanti diterapkan 19% justru akan lebih meningkat," jelasnya.

Kemendag mencatat, pada 2024 AS menjadi negara tujuan ekspor terbesar kedua bagi Indonesia, dengan pangsa pasar mencapai 9,94% atau senilai US$26,3 miliar. Hingga September 2025, ekspor Indonesia ke AS tercatat mencapai US$23,03 miliar, sementara impornya sebesar US$9,55 miliar, menghasilkan surplus perdagangan sebesar US$13,48 miliar.

Lebih lanjut, ia mengatakan, sejumlah negara lain justru dikenakan tarif lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Karena itu, jika AS benar-benar menerapkan kebijakan tarif baru di bawah pemerintahan Trump, maka posisi Indonesia dinilai masih tetap kompetitif.

Ia lantas menepis anggapan lambatnya negosiasi disebabkan oleh government shutdown yang sempat terjadi di AS. Menurutnya, saat ini justru banyak importir AS yang mempercepat pengiriman barang dari Indonesia hingga menumpuk barang, sebelum kebijakan tarif timbal balik diterapkan.

"Sekarang ketika mereka berlomba, kan mereka juga bersaing dengan negara lain dengan tarif yang sama kan, 10% kan baseline-nya. Artinya sama, ya kan sama saja mereka mengimpor dari Indonesia banyak. Nah nanti ketika tarif resiprokal ada itu kan bervariasi, Indonesia juga cenderung lebih rendah kan dibanding yang lain," kata Budi.

Perlu diketahui, Indonesia saat ini masih memperjuangkan tarif nol persen untuk produk-produk yang tidak diproduksi di AS, seperti kelapa sawit, kakao, dan karet. Sebelumnya, Indonesia telah mendapatkan pemotongan tarif dari 32% menjadi 19% setelah pengumuman resmi Presiden AS pada 7 Juli 2025 lalu.


(dce)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Video: AS Minta Negara Mitra Dagang Beri Penawaran Negosiasi Terbaik

Read Entire Article
Photo View |