Seperti Tupperware, 6 Perusahaan Raksasa Ini Juga Gulung Tikar

1 day ago 3

Jakarta, CNBC Indonesia - Tupperware resmi menutup bisnisnyadi Indonesia. Penutupan ini merupakan bagian dari strategi global perusahaan.

Mengutip Instagram resmi Tupperware Indonesia, Minggu (13/4/2025), Tupperware telah hadir di Tanah Air selama 33 tahun. "Dengan berat hati, kami mengumumkan bahwa Tupperware Indonesia secara resmi telah menghentikan operasional bisnisnya sejak 31 Januari 2025," tulis @tupperwareid.

Tupperware mengatakan 33 tahun bukan waktu yang singkat untuk menjadi bagian dari rumah tangga di Indonesia. Sebagaimana diketahui Tupperwaresejak era 1990-an menjadi bagian dari dapur, meja makan, hingga bekal anak.

Sebagai informasi, Tupperware global sempat berada di ujung kebangkrutan. Namun kemudian,hakim kebangkrutandi AS menyetujui kesepakatan untuk menyelamatkan perusahaan asal Massachusetts tersebut.

Berdasarkan kesepakatan tersebut, Tupperware akan menjual nama merek dan aset utamanya kepada sekelompok pemberi pinjaman dengan harga US$23,5 juta tunai dan US$63 juta dalam bentuk keringanan utang.

tupperwareFoto: Ist Tupperware.com
tupperware

Tupperware merupakan satu produk yang sudah tak asing di Tanah Air. Namanya tentu tak langka di telinga emak-emak Indonesia yang begitu identik dengan tempat penyimpanan makanan dan minuman.

Tentu saja menjadi primadona, Tupperware dipercaya para ibu rumah tangga karena bahannya yang kokoh, desain yang bagus serta warna yang menarik perhatian. Sayangnya, sepertinya sebentar lagi para emak-emak harus 'patah hati' sebab merek ini terancam bangkrut.

Selain Tupperware, ada juga beberapa perusahaan ternama di Indonesia yang mengalami hal serupa sebelumnya. Apa saja? simak ulasannya.

1. Kosmetik Raksasa, Revlon

Pada Juni 2022 Revlon diketahui mengajukan perlindungan kebangkrutan Bab 11 di Amerika Serikat. Revlon bergulat dengan beban utang dan rantai pasokan yang tersendat.

Perusahaan yang berbasis di New York tersebut berharap menerima US$ 575 juta dalam pembiayaan debitur dari basis pemberi pinjaman yang ada. Biaya ini akan digunakan untuk mendukung operasi sehari-hari.

Untuk diketahui, Revlon merupakan bisnis raksasa pertama yang mengajukan perlindungan kebangkrutan di Amerika Serikat selama pandemi Covid-19.

Namun demikian, terdapat lebih banyak lagi perusahaan ritel di AS yang alami kebangkrutan pada 2020. Angkanya menandai level tertinggi dalam 11 tahun

Perusahaan yang berusia 90 tahun tersebut memiliki utang jangka panjang sebesar US$ 3,31 miliar per 31 Maret, menurut pengajuan sekuritas.

Kebangkrutan ini tentunya membuat 'patah hati' emak-emak pengguna Revlon. Pasalnya, Revlon pernah menjadi perusahaan kosmetik dengan penjualan terbesar kedua dunia setelah Avon pada abad ke-20.

2. 

Giant

Bisnis ritel dengan format hypermarket ini sebenarnya sudah mulai melemah sejak 2015. Pada saat itu, perusahaan memutuskan untuk menutup 75 gerai Giant di sejumlah daerah karena faktor rendahnya penjualan.

Selain itu, manajemen mengaku pelemahan ekonomi dan turunnya daya beli menjadi pendukung diambilnya keputusan tersebut.

Berselang tiga tahun, sejumlah gerai Giant, terutama Giant Expres kembali mengalami nasib serupa.

Dari awalnya berjumlah 166 gerai, terpangkas menjadi 142 gerai. Hal ini berlanjut pada Juli 2019, Giant yang merupakan bagian dari Hero Group ini tutup di sejumlah lokasi.

Adapun dalam situasi pandemi, awal 2023 tiga gerai Giant lanjut dilakukan penutupan. Selain Giant Ekstra di Margo City Depok, dua lainnya yakni Giant Mayasari Plaza dan Giant Kalibata.

Sebelum bergabung di unit bisnis HERO, Giant diketahui merupakan perusahaan asal Malaysia yang didirikan pada 1944 oleh Keluarga Teng. Berkantor pusat di Shah Alam, Selanggor Darul Ehsan, Giant menyediakan berbagai keperluan harian, dari mulai makanan hingga kebutuhan sandang.

Ini tentunya turut membuat kekecewaan para emak-emak di Tanah Air sebab Giant dikenal dengan tempat berbelanja murah.

3. Kodak

Kodak telah berdiri sejak 1892 dan merupakan perintis industri fotografi yang fenomenal. Walau demikian, perusahaan ini resmi dinyatakan pailit sejak tahun 2012 silam.

Kodak tak bisa lagi bersaing dengan kompetitornya yang menawarkan produk digital dengan kemajuan sangat pesat. Kodak tidak pernah berinovasi untuk bisnis yang sangat ketat persaingannya.

Kebangkrutan Kodak ini tentu turut membuat patah hati ibu-ibu yang pada zaman dulu belum memiliki handphone secanggih ini, sehingga dalam mengabadikan momen bersama keluarga tentu memanfaatkan jasa foto dari Kodak.

4. PT Nyoya Meneer

PT Nyonya Meneer juga masuk dalam daftar perusahaan besar yang bangkrut di Indonesia. Hal tersebut sudah dirasakan pasca kerusuhan operasional yang dialami perusahaan sejak 1984 hingga 2000.

Akhirnya perusahaan membuat keputusan dengan menjual asetnya. Sebagai informasi, PT Nyonya Meneer terlilit utang hingga mencapai Rp267 miliar.

Jamu Cap Potret Nyonya Meneer atau PT Nyonya Meneer adalah perusahaan yang memproduksijamu tradisional Jawayang dipelopori oleh Nyonya Meneer. Ia menggunakan keahliannya mengobati berbagai penyakit dengan keahliannya meracik jamu tradisional Jawa. Produknya ini kemudian dijual dan dipasarkan.

5. JD.ID

JD.ID pertama kali beroperasi di Indonesia pada November 2015. JD.ID lahir dari kongsi antara Jingdong (JD.com) dengan firma ekuitas asal Singapura, Provident Capital.

Setelah rentetan PHK dan menutup layanan logistik, JD.ID resmi menutup layanannya memasuki tahun ke-delapan beroperasi di Indonesia. Dalam pengumumannya, layanan akan tutup pada 31 Maret 2023.

JD.com mengumumkan penutupan itu dalam situs resminya. Perusahaan juga menyatakan tidak lagi menerima pesanan per 15 Februari 2023.

6. Sritex
PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) dinyatakan pailit dan tutup operasionalnya per 1 Maret 2025. Pabrik tutup karena Sritex gagal membayar utang.

Bangkrutnya Sritex menjadai kabar sedih karena mereka pernah menjadi salah satu produsen tekstil terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara.

Perusahaan yang telah melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) sejak 17 Juni 2013 ini, mulai mengalami masa suram saat mulai membukukan kerugian pada 2021.

Melihat laporan keuangan Sritex sejak 2012, Sritex mampu konsisten dalam membukukan laba bersih, bahkan di masa Covid-19 Sritex masih mampu membukukan laba bersih sebesar Rp1,18 triliun.

Namun, permasalahan keuangan Sritex dimulai pada masa setelah Covid-19 atau masa recovery pada 2021. Dimana untuk pertama kalinya setelah listing, Sritex membukukan kerugian sebesar Rp15,29 triliun.

Kerugian tersebut disebabkan anjloknya sebesar 32% menjadi Rp12,1 triliun. Beban usaha yang melonjak signifikan pada 2021 menjadi Rp8,09 triliun juga mendorong kerugian Perseroan.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(mae/mae)

Read Entire Article
Photo View |