Jakarta, CNBC Indonesia - Industri rokok kembali menjadi sorotan menjelang pengumuman tariff cukai. Industri ini kini menunggu kebijakan tarif di bawah Menteri Keuangan yang baru yakni Purbaya Yudhi Sadewa.
Seperti diketahui, pemerintah biasanya akan mengumumkan kebijakan tarif cukai rokok pada Oktober/November..
Saham di industri rokok kompak melesat setidaknya dalam sepekan terakhir usai sinyal positif dari Purbaya terhadap industri rokok.
Purbaya sempat dibuat terkejut oleh tingginya tarif cukai hasil tembakau (CHT) di Indonesia dengan akumulasi rata-rata kenaikan cukai dalam beberapa tahun terakhir yang mencapai 57%. Tingginya tarif CHT itu ia akui selama ini turut menekan sisi penerimaan negara, sebab saat tarif cukai yang rendah justru pendapatan negara cenderung lebih tinggi.
Namun, ia menekankan, kebijakan tarif CHT yang tinggi selama ini diterapkan pemerintah merupakan langkah untuk mengendalikan konsumsinya, bukan hanya semata untuk mendulang penerimaan cukai.
Kendati begitu, Purbaya merasa ada yang tak bijak dalam mendesain kebijakan CHT selama ini, yakni tidak memikirkan tenaga kerja yang selama ini mencari nafkah. Sebab, mendesain kebijakan CHT untuk menekan konsumsi tapi tidak memberi jaminan lapangan kerja baru bagi para pekerjanya.
Oleh sebab itu, ia memastikan, di bawah kepemimpinannya kebijakan CHT akan lebih seimbang, antara menjaga sisi kesehatan dengan mengendalikan konsumen, tapi tidak mematikan industrinya yang selama ini menjadi tempat lapangan kerja.
Purbaya mengakui, untuk menjaga sisi kesehatan masyarakat, tentu konsumsi rokok harus dibatasi. Namun, tidak melulu dengan kebijakan tarif yang tinggi melalui pengenaan cukai.
Untuk meramu secara kongkrit kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) untuk 2026, Purbaya akan segera meninjau langsung kondisi industrinya dalam waktu dekat.
Selain itu, ia juga memastikan akan terus memberantas peredaran rokok ilegal, termasuk menegaskan kebijakan pelarangan peredaran rokok ilegal secara daring.
Kabar baik ini memberikan efek positif bagi pergerakan saham-saham rokok yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Meskipun harga saham rokok naik signifikan, nyatanya performa kinerja keuangan emiten rokok masih mencatatkan penurunan, hanya PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM) yang masih mencatatkan pertumbuhan pendapatan dan laba bersih di sepanjang semester I 2025 meskipun tipis.
Sebagaimana diketahui, empat emiten tersebut memiliki tier pangsa pasar masing-masing.
Dan perlu diketahui, selain rokok batangan, HMSP juga menghadirkan IQOS yang resmi meluncur pada awal 2023. IQOS merupakan perangkat elektronik yang menggunakan teknologi pemanas tembakau, bukan rokok biasa. Perangkat ini memanaskan batang tembakau khusus (seperti HEETS atau TEREA) pada suhu tertentu tanpa membakarnya, menghasilkan aerosol yang mengandung nikotin dan rasa tembakau asli, bukan asap dan abu seperti rokok. IQOS terus menghadirkan inovasi dengan berbagai varian perangkat, antara lain IQOS ILUMA One, IQOS ILUMA, dan IQOS ILUMA Prime.
Sebagai informasi, Tier 1 merupakan perusahaan besar dengan pangsa pasar nasional dominan, kapasitas produksi lebih dari 10 miliar. Kemudia, Tier 2 merupakan perusahaan menengah, pangsa pasar regional atau nasional terbatas, produksi beberapa miliar batang. Dan Tier 3 merupakan perusahaan kecil dengan volume produksi jauh di bawah Tier 2.
Sementara itu, data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan menunjukkan produksi rokok pada Agustus 2025 yang mencapai 25,5 miliar tersebut anjlok 9,25% dibandingkan Juli tahun ini (month to month/mtm). Produksi tersebut juga melandai 2,07% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year on year/yoy).
Produksi rokok melandai di Agustus setelah mencapai puncak pada Juli 2025. Penurunan produksi rokok di Agustus ini juga berbanding terbalik dengan historisnya di mana biasanya produksi melalui merangkak naik di Agustus.
Secara keseluruhan, produksi rokok Januari-Agustus 2025 mencapai 197 miliar batang atau turun 1,93% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Bila dirunut sejak 2018-2025, produksi rokok Januari-Agustus 2025 adalah yang terendah sejak 2020 atau dalam lima tahun terakhir.
Pada periode tersebut, Indonesia tengah dihantam badai pandemi Covid-19.
Melemahnya produksi rokok ini seharusnya menjadi perhatian karena bisa mencerminkan banyak hal yakni, mulai dari semakin mahalnya rokok, melemahnya daya beli atau beralihnya pembelian rokok legal ke illegal.
Dalam setahun terakhir, downtrading menjadi salah satu isu hangat di industri rokok. Downtrading merujuk pada beralihnya konsumsi rokok murah karena tarif cukai hasil tembakau yang naik terus dari tahun ke tahun.
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(saw/saw)