Jakarta, CNBC Indonesia - Institut Le Rosey di Swiss dikenal sebagai sekolah paling mahal di dunia. Sekolah asrama ini kerap dijuluki The School of Kings atau "Sekolah Raja" karena banyak bangsawan dan keluarga elite global mengirim anak mereka ke sana.
Didirikan pada 1880 oleh Paul-Emile Carnal, sekolah ini berlokasi di Rolle, Swiss, di antara kota Jenewa dan Lausanne. Le Rosey berdiri di atas lahan seluas 28 hektare dengan pemandangan langsung ke Danau Geneva.
Salah satu keunikan sekolah ini adalah sistem moving class, di mana lokasi belajar berpindah sesuai musim. Saat musim semi dan panas, kegiatan belajar dilakukan di kampus utama di Château du Rosey. Saat musim dingin, kegiatan belajar pindah ke kampus musim dingin di Gstaad, kota resor ski eksklusif. Le Rosey menjadi satu-satunya sekolah di dunia dengan sistem belajar seperti ini.
Foto: Institut Le Rosey di Swiss. (Facebook/Institut Le Rosey)
Kelas di Le Rosey dibatasi maksimal hanya 10 siswa untuk menjaga kualitas pengajaran. Bahasa pengantar yang digunakan adalah Inggris dan Prancis, sehingga semua siswa mengikuti kurikulum bilingual. Selain pelajaran akademik, siswa juga mendapat pelajaran etiket bergaya bangsawan. Semisal saat makan mereka wajib duduk tegak dan mengangkat makanan ke mulut, bukan membungkuk ke piring.
Siswa Le Rosey berasal dari lebih dari 50 negara. Untuk menjaga keragaman, sekolah membatasi asal negara siswa maksimal 10% dari total murid. Karena mayoritas murid berasal dari keluarga kelas atas, mereka juga didorong untuk peduli terhadap sesama. Salah satu program sosial yang dijalankan adalah pembangunan sekolah di Afrika, di mana para siswa terlibat langsung dalam prosesnya dan berinteraksi dengan murid lokal.
Le Rosey memiliki deretan alumni terkenal, mulai dari Raja Albert II dari Belgia, Pangeran Rainier dari Monako, hingga Raja Farouk dari Mesir. Sekitar 30% lulusannya berhasil masuk ke universitas papan atas dunia seperti Harvard, MIT, Oxford, dan Cambridge.
Berdasarkan data terakhir, orang tua perlu merogoh kocek sekitar CHF 125.000 per tahun setara hampir Rp2 miliar. Angka itu belum termasuk biaya tambahan untuk kegiatan seperti ski dan ice hockey.
(hsy/hsy)
[Gambas:Video CNBC]