Perang Sultan Bank RI Makin Panas: Siapa yang Paling Sadis Cuan-nya?

5 hours ago 4

Jakarta, CNBC Indonesia - Sektor perbankan 'big caps' Indonesia kembali menunjukkan kekuatannya sebagai salah satu pilar utama yang menopang kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

Di tengah dinamika suku bunga acuan yang masih tinggi, para raksasa perbankan nasional bersaing ketat dalam mencatatkan kinerja terbaik, berlomba dalam perolehan laba, efisiensi marjin, dan ekspansi kredit.

Data riset yang diolah menunjukkan gambaran kompetisi yang sangat dinamis di industri ini. Berikut adalah data dari laba bersih, total pemberian kredit, dan juga NIM dari masing-masing perusahaan secara konsolidasi:

Persaingan Ketat di Puncak Laba Bersih

Persaingan untuk merebut takhta laba bersih (net profit) teratas berlangsung sangat ketat. Dua bank raksasa, yakni PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), mencatatkan kinerja yang nyaris berimbang di puncak. Keduanya mencatatkan kinerja impresif dengan perolehan laba masing-masing Rp 45,89 triliun dan Rp 45,15 triliun.

Tidak jauh di belakang, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) juga menunjukkan kinerja solid dengan membukukan laba Rp 34,79 triliun. Ketiga bank ini secara kolektif mendominasi perolehan laba industri perbankan nasional.

Sementara itu, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) mencatatkan laba Rp 18,57 triliun. Angka ini menunjukkan adanya jarak yang cukup signifikan antara tiga bank teratas dengan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI).

Di luar 'Big 4', bank-bank seperti PT Bank CIMB NIaga Tbk (BNGA), PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS), PT Bank OCBC NISP Tbk (NISP), dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk BBTN mencatatkan laba bersih di bawah Rp 7 triliun, yang merefleksikan skala operasional yang berbeda.

Perang Marjin: Kunci Profitabilitas di Era Bunga Mahal

Di tengah era suku bunga tinggi, kemampuan mengelola marjin bunga bersih (Net Interest Margin/NIM) menjadi kunci utama untuk menjaga profitabilitas. Dalam arena ini, BBRI menunjukkan keunggulannya dengan NIM tertinggi mencapai 6,53%.

Marjin yang tebal ini menjadi pendorong utama laba bersihnya yang fantastis, hal ini disokong oleh fokusnya pada segmen Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang memiliki yield pinjaman tinggi.

Pemain lain seperti BBCA juga mencatatkan NIM yang kuat di level 5,76%. Namun, yang menarik perhatian adalah PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS). Sebagai bank syariah, BRIS mampu mencatatkan marjin di level 5,64%, bersaing ketat dengan bank-bank konvensional papan atas dan menunjukkan efisiensi yang tinggi.

Bank-bank lain seperti BMRI (4,59%) dan BNGA (4,00%) mencatatkan NIM yang lebih moderat. Sementara BBNI, BBTN, dan NISP beroperasi dengan marjin yang lebih ramping di bawah 4%, yang menjadi tantangan tersendiri dalam mendongkrak laba di tengah tingginya biaya dana (Cost of Fund).

Kredit Masif Bukan Jaminan Laba Tertinggi

Dari sisi volume bisnis, BMRI adalah raja penyaluran kredit. Bank ini mencatatkan portofolio kredit masif sebesar Rp 1.720,25 triliun, mengukuhkan posisinya sebagai lokomotif utama pembiayaan di segmen korporasi dan wholesale.

BBRI menyusul di posisi kedua dengan penyaluran kredit Rp 1.433,23 triliun, sesuai dengan fokusnya sebagai bank dengan jangkauan terluas.

Namun, data ini memunculkan sebuah wawasan penting bagi industri yaitu besarnya portofolio kredit tidak serta-merta berbanding lurus dengan besarnya laba bersih.

Ini menyoroti pentingnya efisiensi operasional dan kualitas aset. Bank dengan portofolio kredit yang lebih ramping namun mampu menjaga NIM tetap tebal, didukung biaya dana yang efisien dan kualitas kredit (NPL) yang terjaga, terbukti dapat menghasilkan profitabilitas yang sangat kompetitif, bahkan mampu bersaing dengan bank yang memiliki aset kredit jauh lebih besar.

Prospek ke Depan: Era Suku Bunga Turun, Fokus Genjot Kredit

Lanskap makroekonomi telah bergeser. Dengan The Fed dan Bank Indonesia yang telah memulai siklus pelonggaran moneter, tantangan utama perbankan beralih dari mengelola biaya dana (Cost of Fund/CoF) yang mahal menjadi memacu pertumbuhan kredit.

Meredanya tekanan suku bunga akan menurunkan CoF perbankan, namun di sisi lain juga berpotensi menekan yield pinjaman. Di sinilah fokus kebijakan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui akselerasi kredit akan diuji.

Bank-bank kini didorong untuk lebih agresif menyalurkan pembiayaan guna menggerakkan roda perekonomian. Pertarungannya adalah siapa yang paling siap tancap gas.

Bank dengan basis portofolio terbesar seperti BMRI (Rp 1.720,25 T) dan BBRI (Rp 1.433,23 T) memiliki posisi ideal untuk memimpin ekspansi ini, terutama di segmen korporasi dan UMKM yang menjadi motor utama pertumbuhan.

Tantangan baru bagi bank adalah menjaga NIM agar tidak terkompresi terlalu dalam. Dalam siklus suku bunga turun, bank harus berlomba menyalurkan volume kredit baru yang lebih besar untuk mengimbangi yield yang cenderung melandai.

Keberhasilan ke depan tidak lagi diukur hanya dari kemampuan bertahan, tetapi dari seberapa cepat bank dapat mengeksekusi pertumbuhan kredit yang berkualitas untuk menangkap momentum pemulihan ekonomi ini.

-

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(gls/gls)

Read Entire Article
Photo View |