Ombudsman Sentil Kebijakan Impor Daging Era Jokowi, Tunjuk Masalah Ini

4 hours ago 4

Jakarta, CNBC Indonesia - Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengkritisi kebijakan impor daging kerbau yang diinisiasi pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo sebelumnya. Menurut dia, kebijakan tersebut sejak awal memiliki tujuan yang kurang tepat dan kini justru menimbulkan distorsi di pasar daging merah.

"Dulu Pak Jokowi yang menginisiasi impor daging kerbau. Mengapa daging kerbau itu diimpor? Karena ingin masyarakat kita ini mampu membeli daging merah. Sehingga daging merah itu harus murah. Nah, kalau menurut saya ini nggak pas," kata Yeka kepada CNBC Indonesia, Selasa (22/4/2025).

Ia menjelaskan, di berbagai negara, daging merah memang merupakan komoditas dengan harga tinggi, sehingga upaya menurunkannya lewat impor dinilai tidak realistis. "Steak itu di mana-mana pasti mahal, di Australia, Jepang, Eropa, Amerika. Jadi tidak bisa dipaksakan murah," lanjutnya.

Yeka juga mempertanyakan alasan penyediaan protein lewat daging merah, sementara masih ada sumber protein lain yang lebih terjangkau. "Kalau tujuannya protein, masih ada telur, ikan, dan ayam yang jauh lebih murah," tegas dia.

Fakta di lapangan menunjukkan, katanya, meski daging kerbau diimpor, masyarakat kelas menengah ke bawah tetap kesulitan menjangkaunya.

"Jatuhnya tetap mahal, masyarakat tetap tidak bisa beli. Tujuan kebijakan itu tidak tercapai," ujarnya.

Akibatnya, pasar daging merah mengalami distorsi. Yeka menyebut, kondisi ini merugikan dua pihak sekaligus, yakni peternak lokal dan konsumen.

"Peternak dirugikan karena kalah bersaing, konsumen dirugikan karena tetap tidak mendapat harga yang layak," kata dia.

Yeka menegaskan, impor daging kerbau sebaiknya diarahkan khusus untuk mendukung industri pengolahan daging, bukan konsumsi rumah tangga. Hal ini penting agar industri dalam negeri dapat bersaing dengan negara lain, seperti Malaysia, yang sudah lebih dulu menggunakan daging kerbau India sebagai bahan baku murah.

"Kalau tidak ada daging kerbau impor, industri pengolahan daging kita akan kalah saing. Sosis dan nugget dari Malaysia jauh lebih murah karena bahan bakunya murah," jelasnya.

Lebih lanjut, Yeka juga menyoroti persoalan efisiensi dalam rantai impor. Harga daging kerbau dari India yang semestinya hanya Rp35.000-Rp45.000 per kilogram (kg), melonjak hingga Rp80.000 bahkan Rp100.000 per kg di tingkat konsumen.

"Ini menunjukkan ada masalah dalam tata niaga. Ada pihak yang bermain," tukasnya.

Oleh karena itu, Yeka mendorong transparansi dalam tata kelola impor. Ia menilai pemerintah tidak perlu lagi menjadi pelaku langsung dalam importasi. Peran tersebut cukup dilakukan oleh swasta, sementara pemerintah bertugas mengawasi dan mengontrol.

"Bulog tidak perlu lagi impor. Serahkan ke swasta yang benar-benar punya industri pengolahan. Pemerintah cukup monitor dan kontrol kuotanya," ujar Yeka.

Namun, ia tetap mengingatkan agar izin impor hanya diberikan kepada pelaku usaha yang benar-benar beroperasi di sektor pengolahan daging, bukan pengusaha "karbitan" yang hanya mencari keuntungan dari kuota.

Yeka menyimpulkan, tujuan utama impor harus diarahkan untuk mendorong efisiensi dan daya saing usaha dalam negeri. "Ujungnya adalah agar tata kelola usaha kita efisien, berdaya saing tinggi, dan masyarakat bisa menjangkau kebutuhan dasarnya, terutama di tengah potensi krisis global," pungkasnya.


(dce)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Prabowo Undang Jokowi Buka Bersama di Istana

Next Article Prabowo: Ada yang Mau Pisahkan Saya dan Jokowi

Read Entire Article
Photo View |