Naik Gaji Tapi Tak Becus Kerja, Pejabat Didakwa Korupsi-Dihukum Mati

20 hours ago 3

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Prabowo Subianto resmi menaikkan gaji hakim pada Kamis (12/6/2025). Besaran kenaikan bervariasi sesuai golongan dan paling tertinggi mencapai 280%.

Selama 18 tahun, hakim diketahui tidak menerima kenaikan gaji. Padahal perkara yang mereka tangani bernilai triliunan rupiah. Kenaikan gaji diharapkan bisa jadi titik awal pembenahan suatu lembaga. Seperti disampaikan Ketua Komisi Yudisial (KY) Amzulian Rifai, kenaikan gaji berarti tak ada toleransi terhadap praktik penyelewengan. Dapat diartikan, dengan semakin terjaminnya kesejahteraan akan menutup celah korupsi. 

Hanya saja, sejarah membuktikan kenaikan gaji terhadap aparatur negara tak membuat perilaku korupsi ditinggalkan. Korupsi tetap terjadi sekalipun gaji sudah naik berkali-kali lipat. 

Kasus ini pernah terjadi langsung ratusan tahun lalu. Menimpa pejabat tentara bernama J.F.P Filz yang bertugas di Hindia Belanda (kini Indonesia) saat dikuasai Prancis di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811).

Naik Gaji, Tetap Korupsi

Saat diperintahkan Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte (1804-1814) bertugas di Indonesia pada 1808, Daendels mendapat tugas besar. Dia harus mengurusi segudang permasalahan warisan VOC.

Selama tiga abad menguasai Indonesia, VOC hanyalah perusahaan dagang yang tak menjalankan tata kelola negara modern. Birokrasi internal carut-marut. Salah satu dampaknya adalah korupsi yang merajalela hingga berhasil membuat bangkrut perusahaan terbesar sepanjang sejarah itu pada 1799. 

Atas dasar ini, salah satu kebijakan terawal Daendels adalah merombak birokrasi sesuai negara modern. Satu kebijakan terpenting adalah menaikkan gaji para aparatur negara atau birokrat.

Sejarawan Djoko Marihandono dalam risetnya Sentralisme Kekuasaan Pemerintahan Herman Willem Daendels di Jawa 1808-1811 (2005) menyebut, Daendels berharap pemberian gaji tinggi akan memperkecil perilaku korupsi dan memperbaiki kinerja mereka.

Sebab, di masa VOC, para aparatur negara menerima gaji kecil, sehingga harus mencari uang di luar penghasilan bulanan. Alhasil korupsi pun terjadi.

Kenaikan gaji kemudian selaras dengan ancaman hukuman. Daendels tak segan menghukum mati para aparatur negara yang masih tetap korupsi. Namun, guyuran dana besar dan ancaman hukuman mati tak membuat para bawahannya takut. 

Ada juga beberapa orang yang tetap korupsi, seperti dilakukan oleh J.P. Filz. Dalam De teruggave der Oost-Indische koloniën, 1814-1816 (1910) Filz adalah perwira berpangkat kolonel yang pernah bertugas di Ambon. Dia mendapat tugas khusus oleh Daendels untuk menjaga Maluku yang jadi pusat rempah-rempah dunia. 

Jika Maluku jatuh ke tangan musuh, maka sumber penghasilan bakal hilang dan dianggap menyelewengkan uang negara alias korupsi. 

Sayang, tugas khusus ini tak dijalankan dengan baik oleh Filz. Serangan tentara Inggris pada awal 1810 sukses memukul mundur bala tentara Prancis pimpinan Filz. Inggris pun sukses mendapatkan Ambon sebagai penghasil rempah-rempah dunia. 

Daendels lantas terpukul atas kejadian ini.

"Tanpa diduga, pada bulan Mei, berita sedih diterima bahwa Ambon berserta pulau dan seluruh posnya telah jatuh ke tangan Inggris," ungkap riset Geschiedenis van Nederlandsch Indië (1940). 

Akibat tak becus menjaga Ambon sekalipun sudah diberi gaji tinggi, Daendels membawa Filz ke pengadilan. Dia didakwa korupsi atas kerugian negara sebesar 3.000 ringgit akibat tak mampu menyelamatkan rempah-rempah dari negara lain. 

Pengadilan pun akhirnya memutuskan Filz untuk dihukum mati. Pada 10 Juni 1810, perwira menengah itu meregang nyawa usai ditembak algojo. 


(mfa/mfa)
[Gambas:Video CNBC]

Read Entire Article
Photo View |