Membangun Daya Saing Produk Perikanan Indonesia dari Hulu ke Hilir

5 hours ago 4

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Jakarta, CNBC Indonesia - Kondisi ekonomi global yang dinamis menjadikan daya saing sektor kelautan dan perikanan Indonesia tidak lagi bisa dibaca secara sederhana melalui angka ekspor semata.

Pasar global hari ini menuntut lebih dari sekadar volume dan harga, tetapi menuntut kepastian mutu, ketertelusuran, keberlanjutan dari produk perikanan, serta kemampuan negara mengelola risiko dan krisis.

Dalam konteks inilah kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sepanjang 2025, khususnya dari dua eselon teknis yang beririsan, Ditjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) dan Badan Pengendalian dan Pengawasan Mutu Hasil Kelautan dan Perikanan (BP2MHKP), harus dibaca sebagai satu kesatuan sistem, bukan entitas yang berdiri sendiri.

Dari sisi pasar, PDSPKP mencatat kinerja yang patut diapresiasi. Hingga Oktober 2025, nilai ekspor produk perikanan Indonesia mencapai USD 5,07 miliar, tumbuh 5,1 persen secara tahunan.

Indonesia tetap menjadi negara net exporter dengan surplus neraca perdagangan USD 4,53 miliar. Komoditas utama seperti udang, tuna-cakalang, cumi-sotong-gurita, dan rumput laut masih menjadi tulang punggung, dengan Amerika Serikat, Tiongkok, ASEAN, Jepang, dan Uni Eropa sebagai pasar tujuan utama. Di tengah perlambatan ekonomi global, capaian ini mencerminkan daya tahan sektor perikanan nasional.

Namun daya saing sejati tidak berhenti di pasar. Ia diuji pada satu hal yang lebih mendasar yakni keberterimaan. Di sinilah BP2MHKP memainkan peran kunci.

Sepanjang 2025, produk perikanan Indonesia tercatat diterima di 147 negara, melampaui target kinerja 140 negara. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan representasi kepercayaan internasional terhadap sistem jaminan mutu Indonesia, mulai dari sertifikasi HACCP, penerapan traceability, penguatan laboratorium terakreditasi, hingga diplomasi kesetaraan sistem mutu dengan negara mitra.

Pengalaman menghadapi kasus kontaminasi Cesium-137 pada produk udang di pasar Amerika Serikat menjadi pelajaran penting. Risiko yang dihadapi saat itu bukan hanya tertahannya ekspor, tetapi juga reputasi Indonesia sebagai pemasok pangan global.
'
Respons negara yang cepat, terukur, dan kredibel, melalui koordinasi lintas kementerian dan lembaga-BAPETEN, BRIN, Bea Cukai-serta komunikasi intensif dengan US FDA, Indonesia berhasil memulihkan kepercayaan pasar global.

Penetapan BP2MHKP sebagai certifying entity oleh US FDA dan kembali berjalannya ekspor udang ke Amerika Serikat menunjukkan bahwa daya saing tidak hanya dibangun dalam situasi normal, tetapi justru diuji dan dibuktikan saat krisis datang.

Di titik inilah irisan antara PDSPKP dan BP2MHKP menjadi sangat nyata. Ekspor tidak akan berkelanjutan tanpa sistem mutu yang kokoh, dan sistem mutu akan kehilangan relevansinya jika tidak mampu mendorong perluasan pasar dan peningkatan nilai tambah. Tantangan terbesar bukan pada kinerja sektoral masing-masing, melainkan pada bagaimana kedua fungsi ini dikunci dalam satu arsitektur kebijakan yang saling menguatkan.

Masih ada pekerjaan rumah yang perlu dibenahi secara jujur. Struktur ekspor perikanan Indonesia masih bertumpu pada komoditas primer dan pasar tradisional.

Program UMKM naik kelas telah berjalan dan memenuhi target secara persentase, namun secara absolut jumlahnya masih terbatas dibanding populasi pelaku usaha perikanan nasional. Pembiayaan KUR sektor kelautan dan perikanan yang mencapai Rp4,7 triliun pada 2025 menunjukkan kemajuan inklusi keuangan, tetapi sebagian besar masih terserap di hulu dan perdagangan, sementara sektor pengolahan bernilai tambah tinggi belum optimal.

Di sisi lain, penguatan sistem mutu juga harus makin inklusif. Standar internasional adalah keniscayaan, tetapi negara harus memastikan bahwa UMKM dan pelaku usaha kecil tidak tertinggal akibat keterbatasan akses, biaya, dan kapasitas. Sertifikasi dan jaminan mutu harus diposisikan sebagai instrumen pemberdayaan, bukan sekadar gerbang seleksi yang memperlebar jurang.

Di sinilah kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menjadi penting sebagai arah bersama. Pemerintah memandang pasar ekspor bukan semata tujuan akhir, melainkan level untuk mendorong transformasi struktural sektor perikanan nasional. Ekspor ke depan tidak boleh lagi didominasi bahan mentah, tetapi harus menjadi motor hilirisasi, inovasi produk, dan penciptaan nilai tambah di dalam negeri.

Trenggono berulang kali menegaskan bahwa penguatan pasar ekspor harus berjalan seiring dengan hilirisasi berbasis kawasan dan komoditas unggulan. Artinya, peningkatan volume ekspor harus diikuti dengan konsistensi produksi, penguatan industri pengolahan, pengembangan produk bernilai tambah, penciptaan lapangan kerja, serta pemerataan manfaat ekonomi hingga ke daerah pesisir.

Bagi Trenggono, pasar global dilihat bukan hanya sebagai pembeli, tetapi sebagai pemicu peningkatan standar, teknologi, dan efisiensi nasional.

Dalam kerangka visi tersebut, PDSPKP berperan membuka dan mengamankan pasar, sementara BP2MHKP memastikan bahwa seluruh proses hilirisasi berjalan dengan standar mutu, keamanan pangan, dan keberlanjutan yang diakui dunia. Hilirisasi tanpa mutu akan kehilangan pasar, mutu tanpa hilirisasi akan kehilangan nilai tambah. Keduanya harus berjalan simultan.

Trenggono menyakini daya saing perikanan Indonesia didefinisikan sebagai sebuah sistem nasional yang terintegrasi dimana menghubungkan pembiayaan, produksi, mutu, logistik, pengolahan, pasar, dan manajemen krisis.

Trenggono mengembangkan dua eselon teknis ini sebagai pilar utama dalam sistem tersebut di KKP. Ketika keduanya bergerak searah, daya saing tidak hanya tercermin di laporan kinerja tahunan, tetapi benar-benar dirasakan oleh pelaku usaha dan diakui oleh pasar global.

Tahun 2025 memberi satu pelajaran penting bagi KKP dimana pasar bisa tumbuh, tetapi tanpa sistem mutu dan hilirisasi yang kuat ia akan rapuh. Sistem mutu bisa kokoh, tetapi tanpa strategi pasar dan nilai tambah ia akan stagnan.

Tugas KKP ke depan adalah memastikan keduanya saling mengunci dalam satu visi besar. Karena pada akhirnya, daya saing bukan soal siapa yang paling cepat menjual, melainkan siapa yang paling konsisten membangun kepercayaan dan nilai bagi bangsa.


(dod/hoi)

Read Entire Article
Photo View |