Kudeta! Militer Kuasai Negara, Presiden Ditangkap-Pemilu Dihentikan

3 hours ago 6
Daftar Isi

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketegangan politik di Guinea-Bissau memuncak menjadi perebutan kekuasaan terbuka, ketika militer mengumumkan bahwa mereka telah mengambil "kendali penuh" atas negara Afrika Barat tersebut alias kudeta. Langkah dramatis itu mencakup penangkapan presiden, penutupan seluruh perbatasan, penghentian proses pemilu, hingga penerapan jam malam.

Suara tembakan berat terdengar di sekitar istana kepresidenan pada Rabu (26/11/2025). Menurut saksi AFP, pria-pria berseragam militer terlihat menguasai jalan utama menuju kompleks tersebut sebelum pengumuman resmi disampaikan.

Pada siang hari, Kepala Kantor Militer Kepresidenan, Jenderal Denis N'Canha, menyampaikan pernyataan kepada jurnalis bahwa sebuah komando "yang terdiri dari seluruh matra angkatan bersenjata" kini mengambil alih pemerintahan "hingga pemberitahuan lebih lanjut". Ia membacakan deklarasi itu sambil duduk di meja, dikelilingi para prajurit bersenjata lengkap.

Presiden Ditahan

Militer juga menahan Presiden Umaro Sissoco Embalo, yang berdasarkan hasil awal diperkirakan memenangkan pemilihan presiden yang digelar Minggu lalu. Seorang sumber militer mengatakan kepada AFP bahwa Embalo ditahan di markas besar staf umum dan "diperlakukan dengan baik".

Seorang perwira senior mengonfirmasi penangkapan tersebut dan menyebut bahwa Embalo ditahan bersama "kepala staf dan menteri dalam negeri".

Tokoh oposisi Domingos Simoes Pereira, yang dilarang maju dalam pilpres oleh Mahkamah Agung, juga ditangkap pada hari yang sama, menurut dua sumber dekat dirinya. Karena tidak dapat mencalonkan diri, Pereira sebelumnya menyatakan dukungannya kepada kandidat oposisi Fernando Dias.

Baik Pereira maupun Embalo telah lebih dulu mengklaim kemenangan, sementara hasil resmi sementara dijadwalkan diumumkan pada Kamis.

Guinea-Bissau dikenal sebagai negara dengan rekam jejak kudeta yang panjang. Sejak merdeka, empat kudeta berhasil terjadi dan sejumlah upaya lainnya digagalkan.

Stabilitas politik menjadi isu besar dalam pemilu kali ini, menyusul sejarah gejolak yang tak kunjung usai. Pada Oktober lalu, militer mengaku telah menggagalkan "upaya untuk merusak tatanan konstitusional" dan menangkap beberapa perwira senior.

Dalam pernyataannya, N'Canha mengatakan militer telah menemukan rencana untuk mengacaukan negara tersebut, yang ia klaim melibatkan "penguasa narkoba nasional", termasuk rencana "memasukkan senjata ke dalam negeri untuk mengubah tatanan konstitusi".

Selain menghentikan "seluruh proses elektoral", ia menyebut pihak militer telah menangguhkan "seluruh siaran media", menutup perbatasan "darat, udara, dan laut", serta memberlakukan jam malam wajib.

Menjelang malam, jalan-jalan utama di ibu kota Bissau sepi dan militer terlihat menguasai semua jalur utama.

Guinea-Bissau merupakan salah satu negara termiskin di dunia, dan telah lama menjadi titik transit penting bagi perdagangan narkoba antara Amerika Latin dan Eropa, jaringan yang diperkuat oleh kondisi politik yang tidak stabil.

Pada hari yang sama, kantor Komisi Pemilihan Nasional (CNE) juga diserang pria bersenjata tak dikenal, kata pejabat komunikasi CNE Abdourahmane Djalo kepada AFP.

Reaksi Dunia

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyatakan sedang "mengikuti situasi dengan keprihatinan mendalam", ujar juru bicaranya. Guterres menyerukan kepada semua pihak untuk "menahan diri dan menghormati hukum".

Portugal, bekas penjajah Guinea-Bissau, juga mendesak agar proses pemilu dilanjutkan dan meminta agar "setiap tindakan kekerasan institusional atau sipil" dihindari.

Lebih dari 6.780 personel keamanan, termasuk dari Pasukan Stabilisasi ECOWAS, telah disebar guna mengamankan pemilu dan periode setelahnya. Misi pengamatan dari Uni Afrika, ECOWAS, dan West African Elders Forum mengeluarkan pernyataan bersama yang menyuarakan "keprihatinan mendalam" dan mengecam apa yang mereka sebut sebagai "upaya terang-terangan untuk mengacaukan proses demokrasi".

Pemilu terakhir pada 2019 juga berakhir dengan krisis selama 4 bulan, ketika dua kandidat utama saling mengeklaim kemenangan. Saat itu, Embalo berhadapan dengan Pereira, tokoh dari partai oposisi utama PAIGC, partai yang memimpin perjuangan kemerdekaan dari Portugal pada 1974.

Dalam pemilu kali ini, PAIGC dan Pereira dikeluarkan dari daftar akhir kandidat oleh Mahkamah Agung dengan alasan mereka terlambat mengajukan dokumen pencalonan.

Pada 2023, Embalo membubarkan parlemen, yang dikuasai oposisi, dan sejak itu memerintah dengan dekrit. Oposisi menilai dikeluarkannya PAIGC dari pemilu presiden dan parlemen merupakan bentuk "manipulasi", dan menyatakan bahwa masa jabatan Embalo sebenarnya telah berakhir pada 27 Februari lalu, tepat 5 tahun setelah ia dilantik.

(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]

Read Entire Article
Photo View |